Buruh
Hari Buruh adalah momen refleksi atas martabat manusia dalam kerja. Di tengah dunia yang terus berubah, buruh tetap butuh perlindungan, solidaritas, dan keadilan.

Oleh Muhammad Subhan
KITA semua adalah buruh. Buruh bagi negara. Buruh bagi keluarga. Buruh bagi impian.
Buruh bagi mesin ekonomi. Buruh bagi kata-kata yang tak kunjung selesai. Buruh bagi harapan yang tak pernah padam.
Seorang petani yang menyemai benih pagi-pagi sekali, dia buruh. Seorang guru yang mengajar dengan gaji kecil, dia buruh. Seorang pengemudi ojek daring yang menembus hujan, dia buruh.
Seorang bidan desa yang berjaga di malam sunyi, dia buruh. Seorang teknisi komputer yang sibuk memperbaiki jaringan, dia buruh. Seorang seniman yang mengguratkan luka di kanvas, dia pun buruh.
Buruh bukan hanya mereka yang bekerja di pabrik. Buruh adalah setiap manusia yang menukar waktu dan tenaga demi hidup yang layak.
Karena kerja, sejatinya, adalah bentuk cinta manusia kepada kehidupan.
Hari ini, 1 Mei. Hari Buruh. Bukan sekadar hari libur nasional. Bukan pula hari hening tanpa makna.
Ia adalah hari untuk mengingat. Untuk merenung.
Untuk bertanya: sudahkah kita adil terhadap mereka yang membuat dunia terus bergerak?
Buruh bukan roda. Mereka bukan angka statistik. Mereka manusia.
Dengan rasa. Dengan keluarga. Dengan luka yang sering tersembunyi di balik senyum. Dengan peluh yang tak pernah dianggap mewah.
Di dunia yang makin canggih ini, buruh tetap memikul beban yang sama: Upah rendah. Jam kerja panjang. Tidak selalu ada jaminan sosial. Tidak ada tempat berkeluh-kesah.
Sebagian dipaksa lembur demi sesuap nasi. Sebagian dipecat karena pabrik berpindah ke negeri yang lebih murah. Sebagian menganggur karena mesin menggantikan keterampilan mereka.
Buruh hanya ingin dihargai. Mereka hanya ingin didengar. Mereka tidak meminta istana. Mereka hanya ingin rumah kecil yang hangat dan anak-anak yang bisa sekolah tanpa utang.
Namun, sering kali, suara mereka lenyap di tengah bisingnya kekuasaan. Suara buruh perempuan, buruh migran, buruh informal, tenggelam dalam bisu yang panjang.
Siapa yang mendengar jerit dalam diam?
Buruh era digital hidup dalam ketidakpastian baru. Mereka bekerja tanpa kantor. Tanpa kontrak yang jelas. Tanpa cuti. Tanpa jaminan.
Mereka mengejar pesanan. Klik demi klik. Rating demi rating. Dalam sunyi yang disamarkan algoritma.
Gig economy menjanjikan kebebasan, tapi melupakan kepastian. Platform jadi raja. Data jadi majikan.
Kita bekerja untuk sistem yang tak bisa kita sentuh, tak bisa kita ajak bicara.
Pekerjaan fleksibel? Ya. Tapi fleksibel untuk siapa? Fleksibel untuk platform. Bukan untuk buruh.
Apa arti kerja jika tanpa jaminan? Apa arti kerja jika tanpa masa depan?
Hari Buruh adalah panggilan. Bagi negara untuk hadir, bukan sekadar mengatur. Bagi pengusaha untuk bijak, bukan hanya mengejar laba. Bagi masyarakat untuk peduli, bukan hanya menikmati hasil.
Kita perlu hukum yang melindungi semua bentuk kerja. Tak hanya kerja formal, tapi juga kerja digital. Kita perlu jaminan sosial bagi mereka yang bekerja sendiri. Yang bergantung pada kuota. Yang bergantung pada sinyal.
Kita perlu kebijakan-kebijakan yang mendukung buruh. Yang lentur. Yang inklusif. Yang tak hanya berbicara soal pemilik pabrik, tapi juga soal nasib para pekerja pabrik.
Kita perlu pendidikan yang selaras. Yang membekali buruh dengan keterampilan masa kini. Yang membantu mereka bertahan dalam perubahan.
Kita perlu solidaritas. Solidaritas yang tak dibatasi sektor, wilayah, atau jenis kerja. Karena sejatinya, luka buruh di satu tempat adalah luka kita bersama.
Buruh bukan hanya penggerak ekonomi. Mereka adalah pilar peradaban. Tanpa mereka, tak ada jalan, tak ada rumah, tak ada listrik, tak ada aplikasi yang bisa kita unduh.
Buruh adalah napas dunia.
Dan, dunia yang adil adalah dunia yang tidak membiarkan napas itu tercekat karena beban yang terlalu berat.
Hari Buruh bukan milik mereka yang turun ke jalan saja. Ia milik semua yang bekerja. Yang memberi hidup pada hidup kita.
Karena kerja bukan hanya soal penghasilan. Kerja adalah tentang martabat.
Dan bila martabat itu dilukai, maka perlawanan adalah bentuk cinta. Cinta pada sesama. Cinta pada keadilan. Cinta pada kemanusiaan.
Buruh tak butuh belas kasihan. Mereka butuh keadilan. Buruh tak menuntut dihormati dengan upacara. Mereka hanya ingin hidup tanpa ketakutan.
Ketakutan akan dipecat. Ketakutan tak bisa bayar kontrakan. Ketakutan tak mampu membeli susu anak yang menunggu di rumah dengan air mata.
Kita semua buruh.
Di dunia yang bergerak cepat, jangan biarkan mereka tertinggal.
Buruh bukan sisa masa lalu. Mereka adalah denyut masa depan.
Dan Hari Buruh adalah pengingat bahwa peradaban yang baik, adalah peradaban yang tahu caranya menghormati peluh.
Karena dari peluh itu, roti di meja kita berasal. Dari peluh itu, masa depan berdiri. Dan, dari peluh itu, dunia belajar arti kemanusiaan. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah