Bunda Literasi, Ayo ke Taman Baca

Kehadiran Bunda Literasi di taman bacaan menjadi semangat baru bagi para relawan dan dapat memperkuat upaya peningkatan budaya baca di berbagai pelosok daerah.

Oleh Muhammad Subhan

Bunda Literasi, setelah dilantik dan mengenakan selempang cantik, Bunda hendak ke mana?

Saya menyarankan, ayo ke taman bacaan.

“Lho, ngapain ke taman baca? Ada apa?”

Banyak hal yang dapat Bunda lakukan di sana. Kedatangan Bunda tentu akan disambut dengan sukacita dan senyum semringah para relawan literasi yang mengelola taman-taman bacaan itu.

Untuk itu, Bunda perlu memetakan dulu, di daerah Bunda ada berapa banyak taman bacaan yang tumbuh, termasuk yang sekadar ada, hidup segan mati tak mau.

Bunda dapat meminta data keberadaan taman bacaan itu ke Dinas Pendidikan, Dinas Perpustakaan, atau forum-forum terkait. Nanti, Bunda bersama tim bisa turun melakukan roadshow literasi. Bunda bersilaturahmi ke pengelola taman baca. Bentuk kegiatannya bisa berupa dialog interaktif, temu ramah, atau bincang literasi bersama Bunda Literasi, atau nama lain yang asyik didengar dan dapat ditulis menjadi berita besar.

Mau saja Bunda datang ke taman baca, nilai beritanya sudah sangat besar. Bertambah besar pula hati para pengelola taman bacaan, karena kantong literasi mereka dikunjungi oleh Bunda. Barangkali, selama ini, tak seorang Bunda Literasi pun pernah datang. Eh, tiba-tiba Bunda mau datang, membawa senyum mengembang, wajah cerah, hati lapang, dan juga membawa program yang bisa dikolaborasikan.

Ondeh, akan berbinar-binarlah bola mata relawan literasi di taman-taman bacaan karena Bunda mau singgah, apalagi sampai ke pelosok, ke daerah pinggiran, yang jarang dijamah kunjungan istimewa seperti kunjungan Bunda.

Bunda tentu tahu, taman bacaan adalah salah satu kantong literasi yang menyediakan layanan perpustakaan, baca buku gratis, juga berbagai program pendidikan nonformal. Tujuannya tak lain adalah meningkatkan minat baca masyarakat, menyediakan sarana belajar nonformal, mendukung pemberdayaan warga, menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya, serta mengurangi kesenjangan informasi. Dengan buku dan bahan bacaan yang mudah dijangkau, taman bacaan membuka peluang bagi siapa saja untuk memperoleh pengetahuan, tanpa batasan ekonomi.

Bunda mungkin bertanya, untuk apa taman-taman bacaan itu? Kan sudah ada lembaga-lembaga formal, mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi? Juga ada perpustakaan-perpustakaan daerah dengan gedung-gedung megah?

Benar, Bunda tak salah. Tapi tentu Bunda paham pula, tidak semua anak bernasib baik seperti anak-anak dari keluarga mapan. Meski sudah ada lembaga pendidikan formal, taman bacaan tetap dibutuhkan karena menjangkau semua kalangan tanpa batas usia. Perpustakaan-perpustakaan daerah juga tak semuanya dapat diakses, sebab di daerah tertentu jaraknya sangat jauh. Hadirlah taman-taman bacaan yang memberi akses yang lebih dekat agar buku dapat terjangkau, pun berbagai program transformasinya. Taman bacaan adalah ruang belajar sepanjang hayat bagi siapa saja yang ingin membaca, berdiskusi, atau berkreasi di luar sekolah, bahkan bagi mereka yang sudah lulus atau putus sekolah sekalipun.

Selain menyediakan akses bacaan yang dekat dan santai di lingkungan warga, taman bacaan juga menguatkan peran keluarga melalui kegiatan bercerita, mendongeng misalnya, atau membaca bersama. Dengan berbagai program literasi dan pelatihan keterampilan, taman bacaan membantu menumbuhkan budaya baca, memberdayakan masyarakat, serta menciptakan ruang aman untuk tumbuh bersama di tengah komunitas.

Bunda, gerakan literasi kita masih menghadapi tantangan rendahnya minat baca di tengah maraknya hiburan digital yang lebih menarik perhatian. Di banyak daerah, akses terhadap buku, perpustakaan, dan fasilitas literasi masih belum merata, sehingga kesenjangan informasi masih terasa, terutama di wilayah terpencil.

Selain itu, belum semua keluarga terbiasa menumbuhkan budaya baca di rumah, sementara banyak taman bacaan dan komunitas literasi masih bertahan dengan dukungan yang minim. Di sisi lain, kebiasaan membaca cepat dan dangkal semakin menggeser kemampuan membaca mendalam, kritis, dan reflektif. Padahal, kemampuan ini sangat dibutuhkan di era banjir informasi.

Itulah pentingnya taman bacaan hadir di pelosok-pelosok desa dan kota, Bunda. Ada bagian yang tak terjangkau oleh tangan-tangan pemerintah, oleh relawan taman bacaanlah tangan-tangan itu diperpanjang. Maka, kehadiran Bunda di taman-taman bacaan menjadi “darah segar”, oase yang menguatkan semangat para relawan yang sesungguhnya bekerja ikhlas untuk mendukung kerja-kerja Bunda juga—dalam hal ini, kerja-kerja pemerintah.

Namun nanti, setiba di taman bacaan, Bunda lihat-lihat pulalah bagaimana kondisinya. Apakah rak bukunya masih baik? Apakah buku-bukunya perlu ditambah? Kursi-meja bacanya butuh diperbaiki? Barangkali juga taman bacaan itu butuh listrik dan Wi-Fi. Bunda tidak perlu merogoh isi saku sendiri, cukup hubungkan saja ke relasi-relasi Bunda, melalui perusahaan-perusahaan yang punya kepedulian sosial dari dukungan CSR, atau ke dinas-dinas terkait yang program dan anggarannya dapat dibawa ke taman baca.

Selain itu, mudah-mudahan pula, Bunda bisa membawa apa yang Bunda lihat ke kepala daerah, sehingga lahir regulasi yang kuat untuk mendukung taman-taman bacaan di masyarakat. Bunda bisikkan saja, “Kita butuh Perda Literasi yang dapat menguatkan perpustakaan dan taman bacaan.” Kalau itu terwujud, pasti keren sekali, Bunda. Kinerja Bunda akan dipujikan.

Hari ini tantangan literasi kita dihadapkan dengan berbagai persoalan. Anak-anak lebih suka gawai daripada buku. Orang tua sibuk sendiri. Buku sering kalah dengan alat-alat digital. Dan, kita tak bisa marah-marah saja karena tingkat literasi kita disebut rendah. Kita harus turun tangan. Menyingsingkan lengan baju. Kita harus hadir.

Taman bacaan bukan hanya tentang buku yang menumpuk. Taman bacaan juga tentang percakapan. Tentang kehangatan. Tentang cerita-cerita yang membingkai impian. Tentang relawan yang membisikkan semangat di tengah berbagai masalah yang mereka hadapi.

Relawan taman baca tidak menunggu gaji. Mereka hanya butuh dukungan. Butuh sinergi.

Bunda, bayangkan, jika satu taman bacaan hidup, lalu hidup lagi taman bacaan di kampung sebelah, kemudian tumbuh pula taman bacaan di pinggir desa, di pesisir, di perumahan padat, lalu anak-anak di sana belajar bersama, indah sekali terlihat. Itulah Indonesia yang membaca. Indonesia yang literat.

Di mana-mana kita sering bicara generasi emas. Tapi emas tak akan berkilau kalau tak ditempa. Buku adalah alat tempanya. Relawan taman baca adalah penempanya. Dan, bunda adalah jembatannya.

Maka, jangan lelah datang, Bunda. Dan, jangan hanya datang sekali. Datanglah berkali-kali. Sepanjang masa jabatan Bunda. Tunjukkan bahwa Bunda Literasi bukan sekadar nama di selempang. Tapi benar-benar hadir di lorong dan gang, di pelosok-pelosok, dan tentu, di hati para relawan.

Bolehlah kunjungan Bunda itu disorot lensa kamera. Ajak media meliput. Sebarkan kabar baik. Tulis kisahnya. Ajak siapa saja ikut bergerak. Gerakan literasi tak pernah bisa sendiri.

Bunda, di taman bacaan itu, mungkin Bunda akan melihat anak-anak yang kakinya masih berdebu. Baju mereka tak selalu rapi. Tapi mata mereka bersinar. Sinar itu semoga menyalalah di hati Bunda.

Nanti, pulanglah Bunda ke rumah dinas dengan hati bergetar. Tulislah catatan. Sampaikan pada siapa saja. Bahwa tugas kita menjaga mimpi mereka: anak-anak itu. Bahwa taman bacaan adalah sumur kecil, yang bisa menjadi mata air besar di kemudian hari.

Bunda Literasi, ayo ke taman baca. Turun, sentuh, dengar, dukung. Jadilah lentera. Agar anak-anak tak pernah padam mimpinya. Dan kelak, ketika Bunda sudah tak lagi mengenakan selempang, akan ada yang meneruskan dan mengenang. Karena benih literasi telah tumbuh. Karena senyum Bunda pernah singgah di sana.

Mari, Bunda. Mari hadir. Mari merawat api literasi. Mari kita jaga bersama, agar cahaya pengetahuan tak padam di kampung halaman kita. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan