Bumi
Bumi butuh kasih sayang, bukan perusakan. Dengan cinta dan damai, kita bisa menyelamatkan dunia.

Oleh Muhammad Subhan
BUMI bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah napas, peluh, dan denyut nadi semesta. Tempat pertama manusia menangis. Tempat pertama manusia berdoa.
Jika Nabi Adam tak terbujuk rayu, barangkali kaki kita tak akan menyentuh debu. Surga tetap jadi rumah. Khuldi tetap di pohonnya.
Tapi Iblis pandai menyulam bisik. Siti Hawa tergelitik. Adam tergoda. Buah terlarang itu tergigit juga. Tuhan murka. Mereka jatuh, kita pun lahir dari kejatuhan.
Adam di Timur. Hawa di Barat. Keduanya mendekam dalam sepi. Sunyi. Sendiri. Di tanah asing bernama Bumi. Setelah lelah berjuang mencari, mereka bertemu di Jabal Rahmah—bukit kasih sayang yang masih menyimpan jejak air mata.
Tapi kasih tak selalu menjadi warisan. Buah cinta Adam dan Hawa, Qabil, membunuh adiknya Habil. Alasannya, persembahan Qabil ditolak Tuhan. Pengurbanan Habil diterima. Qabil murka. Dendam. Darah pertama pun menetes di tanah.
Sejak itu, Bumi belajar menahan luka. Belajar diam saat dijarah. Belajar sabar saat terbakar.
Seiring pergantian masa dan pertukaran waktu, Bumi terus menua. Disakiti berulang kali. Pohon-pohon di tubuhnya ditebangi. Laut dan sungainya ditambang. Dirusak. Isi perutnya dikeruk dalam-dalam.
Air mata hutan tak pernah terdengar. Tangis sungai hanya jadi riak. Tangis laut jadi ombak.
Telah tampak kerusakan. Di darat dan laut. Karena ulah tangan manusia. Kitab Suci Al-Quran mengingatkan itu.
Bukan hanya tangan—juga keserakahan, keangkuhan, dan ketamakan.
Angin kehilangan arah. Air kehilangan kejernihan. Tanah kehilangan kesuburannya. Hewan kehilangan rumah. Manusia kehilangan hati.
Padahal Bumi adalah titipan. Bukan milik. Bukan warisan pribadi. Ia harus dijaga. Bukan dirusak. Ia harus disayangi. Bukan dihancurkan oleh keserakahan.
Kasih sayang adalah fitrah. Sayangilah yang di bumi—agar langit pun sayang padamu. Demikian kata Nabi saw. Ajaran ini tak pernah basi. Tapi sering dilupakan.
Bumi bukan benda mati. Ia hidup. Ia bernapas. Ia mengadu. Ia menggigil dalam polusi. Ia menangis saat dilanda bencana.
Kita, sebagai makhluk penghuni Bumi, harus kembali. Kembali pada akal sehat. Kembali pada nurani. Bertindak kecil dapat menyelamatkan Bumi: Mematikan lampu. Menanam pohon. Memilah sampah. Mengurangi plastik. Menolak rakus. Mencintai dengan tulus.
Karena dari hal-hal kecil itu, lahir penyelamatan besar. Karena Bumi hanya satu. Dan kita tidak punya cadangan planet. Ke Mars? Belum ada manusia yang berhasil bermukim di sana.
Kita tahu, Bumi tak hanya rusak oleh sampah dan racun. Ia juga remuk oleh perang. Oleh kebencian. Oleh dendam yang disulut tanpa belas kasihan.
Perang tak pernah membawa cahaya. Yang tertinggal hanya abu, puing, dan duka mendalam.
Bom membelah bumi. Peluru menembus tubuh dan hati.
Rumah-rumah hangus. Anak-anak kehilangan pelukan dan kasih sayang. Air mata menjadi telaga darah.
Bumi menderita bukan hanya oleh limbah dan logam berat, tapi juga oleh dendam kesumat dan kebencian yang diwariskan. Perang melukai tanah, mencemari sungai dengan darah, menghancurkan hutan dan ladang.
Tanpa kasih sayang, dunia akan gelap. Tanpa empati, manusia akan saling melukai. Padahal, kita ini saudara dalam debu yang sama. Lahir dari tanah yang sama. Satu napas dengan daun. Satu aliran dengan sungai.
Kasih sayang adalah akar kehidupan. Ia mencegah tangan menggenggam senjata. Ia membimbing hati untuk memilih damai. Ia menyelamatkan Bumi dari kehancuran akibat amarah dan ego.
Jika manusia saling menyayangi, ia akan memilih merangkul daripada memukul. Memperbaiki, bukan menghancurkan. Memaafkan, bukan membalas.
Dan, dengan itu, usia Bumi akan panjang.
Langit akan tetap biru. Anak cucu kita akan bermain di taman yang teduh, senyum merekah, berlari di padang yang hijau, dan hidup di dunia yang lebih manusiawi.
Karena kita mewariskan damai, bukan luka.
Hari Bumi yang diperingati setiap 22 April bukan sekadar tanggal. Ia seruan. Ia pengingat. Ia panggilan nurani.
Ia adalah cara semesta meminta tolong—tanpa suara, tapi mengguncang.
Kita pernah diusir dari surga, jangan sampai bumi ini jadi neraka karena ulah kita.
Di Hari Bumi ini, mari berjanji. Pada tanah. Pada air. Pada langit. Dan pada anak-anak kita: Bumi akan tetap hijau. Akan tetap biru. Akan tetap layak ditempati. Karena kita belajar menyayangi. Dengan sepenuh hati. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah