Bullying
Sebuah ejekan kecil bisa tumbuh menjadi luka yang tak terlihat namun perihnya tak terobati.

Oleh Muhammad Subhan
BULLYING atau perundungan sering kali dimulai dari sebuah ejekan.
Dan, saya pernah menjadi korban bullying. Bukan dipukul. Bukan ditendang. Tapi hati saya seperti diremuk-remukkan. Dengan kata-kata. Dengan tawa yang menusuk. Dengan panggilan yang bukan nama saya.
Suatu hari, saya sakit. Orang tua menulis surat izin. Surat dititipkan pada seorang teman. Ia meletakkannya di meja guru. Namun, sebelum dibaca guru, surat itu telah jadi konsumsi umum.
Teman-teman di kelas membacanya. Mereka tertawa. Menyebut nama ayah saya—karena di kertas surat itu tertera tanda tangan dan nama ayah saya. Sejak itu, saya dipanggil dengan nama ayah. Meski tidak sering.
Menurut mereka, itu candaan. Biasa saja. Lucu-lucuan. Tapi bagi saya—itu adalah luka. Luka yang tak berdarah. Namun, membekas di dalam dada.
Saya merasa malu. Merasa kecil. Seakan-akan tak punya identitas sendiri.
Kenapa harus nama ayah? Kenapa bukan nama saya?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perundungan adalah: “Proses, cara, perbuatan merundung atau menyakiti orang lain secara terus-menerus, baik secara fisik, verbal, maupun psikologis.”
Dan saya, saat itu, sedang dirundung. Dibuat merasa tak berharga. Tanpa tamparan. Tapi penuh tekanan.
Saya diam. Menahan. Merasa hancur pelan-pelan. Tak tahu harus cerita ke siapa. Takut dikira lebay. Takut malah ditertawakan lebih keras.
Yang merundung bukan satu orang. Tapi rombongan kecil. Seperti tradisi. Menyebut nama orang tua teman lain juga. Seolah sudah menjadi budaya gelap di sekolah. Ejekan. Julukan. Dan semua itu dianggap hiburan.
Ada teman lain yang senasib. Ada yang dicemooh karena bentuk tubuh. Ada yang disindir karena warna kulit. Ada yang ditertawakan karena logat bicara.
Lucunya, yang merundung adalah teman sendiri. Yang duduk di sebelah. Yang pernah tertawa bersama. Tapi berubah jadi pisau tanpa gagang.
Zaman berubah. Sekarang surat izin bisa dikirim via WhatsApp. Lebih pribadi. Lebih aman. Namun, masih ada guru yang meminta surat fisik. Entah karena aturan, entah karena tradisi. Entah karena ketinggalan zaman.
Padahal, surat itu cukup dibaca guru saja. Agar tak ada lagi yang membaca nama ayah dan menjadikannya bahan ejekan. Bahan luka yang tertanam di benak anak-anak.
Tak salah menyebut nama ayah atau ibu seseorang. Tapi sebutlah dengan baik, dengan sopan. Karena nama adalah doa. Apalagi yang disebut usianya lebih tua.
Bullying adalah kekerasan. Ia tak harus pakai tinju. Cukup dengan ucapan. Cukup dengan tatapan. Cukup dengan tawa yang tidak tulus. Cukup dengan tidak memanggil nama seseorang dengan benar. Ia bisa menghancurkan kepercayaan diri. Ia bisa meracuni masa depan.
Korban bullying bisa menjadi pendiam. Bisa takut berteman. Bisa merasa tidak berharga. Dan yang lebih mengerikan—bisa kehilangan semangat hidup.
Ada yang kemudian depresi. Ada yang cemas terus-menerus. Ada yang sulit tidur. Ada yang ingin membalas. Ada pula yang ingin mengakhiri semuanya.
Perundungan bukan hal sepele. Ia bisa mematikan dari dalam. Dan jika kita tidak peduli, kita mungkin sedang ikut menjadi pelakunya. Diam juga bisa menjadi bagian dari kejahatan.
Sekolah harus aman. Harus menjadi rumah kedua. Bukan tempat di mana seorang anak ketakutan masuk kelas. Bukan tempat di mana tawa jadi teror.
Kita semua punya tanggung jawab. Guru, murid, orang tua, masyarakat.
Edukasi harus dimulai sejak dini. Ajarkan anak untuk memahami perasaan orang lain. Ajarkan empati. Ajarkan bahwa setiap manusia berhak dihargai.
Buat peraturan tegas. Tindak pelaku dengan bijak. Lakukan pendekatan preventif. Bukan sekadar menghukum, tapi juga mendidik. Agar mereka paham bahwa menyakiti orang lain bukanlah bentuk kekuatan.
Libatkan orang tua. Ajak mereka hadir dalam pendidikan karakter. Jangan hanya menyerahkan semua pada sekolah. Karakter anak dibentuk bersama.
Saya kini sudah dewasa. Tapi ingatan puluhan tahun lampau itu masih membekas. Meski saat masuk Pramuka, luka itu sembuh. Pramuka membentuk mental saya untuk menjadi lebih berani dan percaya diri.
Hari ini, saya menulis ini sebagai pengingat. Agar kita lebih peka. Agar anak-anak lain tak harus mengalami hal yang sama. Agar setiap nama dipanggil dengan hormat. Dengan kasih. Dengan manusiawi.
Karena sesungguhnya, satu ejekan bisa menjadi awal dari penderitaan panjang. Dan satu kebaikan bisa menyelamatkan hidup seseorang.
Selamat Hari Anti-Bullying Sedunia, 4 Mei 2025. Semoga esok lebih lembut bagi setiap anak. Semoga sekolah tetap menjadi tempat tumbuh, bukan tempat runtuh. Pun begitu, semoga lingkungan kita sehat, tak ada perundungan, dalam bentuk apa pun.
Dan, semoga setiap dari kita—guru, orang tua, teman, dan siapa pun—mau menjadi pelindung bagi yang lemah, penyambung suara yang bungkam, serta pelita bagi hati yang redup. Karena dunia yang ramah dimulai dari keberanian untuk peduli dan tak tinggal diam. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah