Bulan Terang di Kubu Gadang
Di desa wisata ini, kebersamaan, budaya, dan warisan Minangkabau dijaga agar tak punah.
Oleh Muhammad Subhan
TADI malam saya singgah di Kubu Gadang. Minum teh telur.
Kebetulan, beberapa kali sahabat saya, Yuliza Zen, mengundang. Ada sejumlah kegiatan.
Beberapa kali kesempatan gagal. Kesibukan merantai kaki. Pikiran penuh tumpukan pekerjaan.
Tapi malam tadi, waktu luang datang. Langit Kubu Gadang terang sekali. Bulan bulat menggantung di langit. Malam sejuk. Angin semilir menampar pipi.
Di tengah lapangan yang dikelilingi sawah di Kubu Gadang, dan cahaya lampu remang, suara anak-anak muda bersahut-sahutan. Tertawa. Bercanda. Berlatih.
Saya memandang bulan. Bulan yang pernah kita sapa di masa kecil. Bulan yang selalu ada di puisi-puisi. Di bawah cahaya bulan yang bulat penuh, cahaya lain menyala. Cahaya semangat yang membara.
Malam itu, remaja Kubu Gadang membentuk lingkaran. Mereka bersiap berlatih Randai. Randai adalah seni tradisi Minangkabau. Ada drama di dalamnya. Ada tari. Musik. Sastra. Semua melebur dalam satu lingkaran gerak yang lincah. Randai terinspirasi dari gerak silat.
Formasi lingkaran menandakan kebersamaan. Ya, kebersamaan itu mahal. Apalagi hari ini. Anak-anak muda lebih senang gadget. Mereka betah rebahan di rumah. Bermain gim sampai pagi.
Tapi di Kubu Gadang, hal itu dilawan. Di desa ini, remaja dan pemuda dirangkul. Mereka diajak kembali ke akar tradisi. Ke kesenian nenek moyang. Randai adalah nadi Minangkabau. Kalau tidak diwariskan, kesenian tradisi ini bisa punah.
Tentu, orang-orang tua yang mahir, satu per satu pergi. Mereka wafat. Kalau tak diwarisi, tak ada lagi yang bermain seni tradisi itu. Tinggal nama. Tinggal sebutan saja.
Kini, di Kubu Gadang, Randai dihidupkan. Angku Sati, salah seorang tetua adat, berdiri di tengah lingkaran. Dia menjadi suluh di kegelapan. Dia menggerakkan.
Latihan pemanasan dimulai. Gerakan kecil. Peregangan tangan dan kaki. Suara aba-aba Angku Sati menggema. Para pemain Randai menuruti. Wajah mereka serius. Tak ada yang main-main. Semua hening. Seperti malam yang hening.
Usai pemanasan, naskah Randai dibacakan. Dini, pemudi yang juga pegiat Desa Wisata Kubu Gadang, mendendangkan naskah. Suaranya menggema. Dada saya bergetar. Saya mengingat masa kecil di surau. Saya ingat petuah mamak di kampung. Saya ingat bunyi saluang di telinga. Tapi, malam itu tak ada saluang.
Yuliza Zen berdiri di samping saya. Ia tersenyum. Ia bahagia.
Ia pemudi Kubu Gadang yang tangguh. Sejak awal, ia punya mimpi. Kubu Gadang harus jadi desa wisata. Tapi bukan hanya wisata. Bukan hanya datang, swafoto, lalu pulang. Kubu Gadang harus bernyawa dengan segala potensinya, termasuk menghidupkan kembali seni tradisi.
Selama ini, Kubu Gadang dikenal dengan Silek Lanyah. Bersilat di dalam lumpur. Itu keren sekali.
Malam itu, suara tepukan di ‘sarawa galembong’ sahut-menyahut. Menghentak. Menggetarkan. Para remaja semakin mahir bermain Randai.
Yuliza Zen bercerita. Setiap malam pukul delapan hingga sepuluh, remaja dan pemuda telah berkumpul di balai desa. Kebetulan saat ini momen liburan sekolah. Namun, tentu, tak hanya mengisi waktu libur, juga direncanakan terus berlatih di malam-malam berikutnya.
Potret demikian mewarnai suasana kampung. Ada semangat kekeluargaan. Ada gotong-royong. Saya terharu. Di kota besar, sulit begini. Orang sibuk sendiri. Orang menutup pintu. Di Kubu Gadang, pintu hati terbuka. Semua orang saudara.
Saya ingat delapan tahun lalu. 2015 atau 2016. Saya bersama kawan-kawan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang menggagas Petang Puisi Kubu Gadang. Sebuah festival baca puisi. Kami undang penyair se-Sumatera. Ramai datang. Kami baca puisi di tengah sawah. Kami makan bajamba.
Setelah itu, Kubu Gadang tumbuh sejauh ini. Kini, ada homestay. Ada paket edukasi. Ada pelatihan budaya. Ada festival. Kubu Gadang mendunia. Dari Padang Panjang ke mancanegara. Orang datang berombongan. Sekolah, komunitas, keluarga. Mereka belajar. Mereka menikmati. Mereka pulang membawa cerita.
Padang Panjang diuntungkan. Kota kecil ini tidak banyak objek wisata. Tapi Kubu Gadang adalah mercusuar. Orang mengenal Padang Panjang. Orang datang. Ekonomi berputar. Budaya terjaga.
Kota ini asyik. Tiga pasak bumi Minangkabau menjaga Padang Panjang: Tandikek, Marapi, dan Singgalang. Udara dingin menembus jaket. Tapi hati tetap hangat. Apalagi kalau di meja ada segelas teh telur.
Hari ini, Kubu Gadang tak hanya membangun wisata, tetapi juga menanamkan warisan leluhur di jiwa. Dan di sinilah, generasi baru Minangkabau belajar pulang pada akar tradisinya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Foto: Remaja Kubu Gadang melakukan pemanasan menjelang Latihan Randai, salah satu seni tradisi Minangkabau. Di langit bulan bersinar terang. (Foto: Muhammad Subhan)
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah











