Buku

Layar digital bisa redup, file bisa hilang, tapi lembaran kertas akan selalu ada untuk disentuh, diingat, dan diwariskan.

Oleh Muhammad Subhan

BUKU adalah jendela dunia, kata orang-orang dahulu. Kini, orang-orang baru berkata, dunia ada di genggaman tangan.

Buku mulai kehilangan takhtanya, digeser oleh layar-layar digital yang terang benderang.

Kata-kata yang dulu dicetak, kini sekadar kilasan pixel yang bisa muncul dan hilang seketika.

Praktis? Memang!

Tapi ada yang menguap, lenyap, dan tak tergantikan.

Dahulu, buku adalah barang mewah. Berlembar-lembar papirus digulung, ditulis dengan tangan.

Lalu, datanglah mesin cetak Gutenberg, melahirkan revolusi.

Buku meluas, berlipat ganda, mencerdaskan bangsa. Kemudian era digital tiba.

Buku mulai dikemas dalam format e-book, siap diakses dengan satu sentuhan jari.

Orang-orang bergembira, dunia terasa lebih ringan.

Tapi, apakah benar dunia menjadi lebih baik?

Teknologi memang tak bisa ditolak. Semua serbapraktis dan instan.

Tapi ingat, segala yang instan sering kali kehilangan rohnya.

Membaca buku di layar tidak sama dengan menelusuri lembaran kertas.

Ada yang hilang: sentuhan, aroma, ketahanan, dan kenangan. Mata lelah menatap layar, baterai habis di saat genting, file error atau terhapus tanpa jejak.

Sekali ponsel mati, semua ikut lenyap.

Buku cetak tidak seperti itu. Ia tetap ada, meski lampu padam, meski dunia berguncang.

Buku cetak adalah artefak budaya. Ia bisa dipegang, diraba, dihirup aromanya.

Halaman-halamannya menciptakan keterikatan yang tak tergantikan.

Pernahkah kita mencium aroma buku baru?

Ada sesuatu yang menenangkan.

Pernahkah kita menemukan catatan kecil di tepi halaman buku lama?

Ada sejarah yang terukir.

Buku tidak hanya menyimpan pengetahuan, tapi juga kenangan.

Kini, toko buku satu per satu gulung tikar. Buku dicetak dalam jumlah terbatas, sementara e-book makin merajai pasar.

Orang malas membawa buku tebal, mereka lebih suka menggulir layar.

Tapi bisakah e-book diberikan sebagai warisan?

Bisakah sebuah file PDF menggantikan makna sebuah buku yang tersimpan rapi di rak keluarga?

Buku cetak adalah warisan intelektual. Ia bisa diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebuah buku yang pernah disentuh oleh seorang kakek, bisa ditemukan oleh cucunya berpuluh tahun kemudian.

Sebuah catatan di margin halaman bisa menjadi pesan lintas zaman.

Seorang penulis sejati tidak hanya menulis untuk hari ini, tapi juga untuk masa depan.

Ia mendokumentasikan pemikirannya dalam buku, bukan sekadar dalam folder yang bisa hilang dalam satu klik.

Sejarah membuktikan, buku cetak bertahan lebih lama daripada teknologi.

Naskah kuno tetap bisa dibaca meski berusia ratusan tahun.

Sementara itu, berapa banyak file digital yang tak bisa lagi dibuka karena formatnya telah usang?

Aktivitas membaca buku cetak harus lebih dimarakkan. Bukan berarti menolak teknologi, tapi menyeimbangkannya.

Buku cetak memberi pengalaman berbeda. Ia melatih kesabaran, mengasah fokus, dan memberikan jeda dari hiruk-pikuk dunia digital.

Ada manfaat psikologi yang tak tergantikan. Buku memberikan ruang untuk merenung, tanpa gangguan notifikasi dan iklan yang tiba-tiba menyela.

Buku juga memiliki nilai sentimental yang tidak bisa ditandingi.

Sebuah buku hadiah dari seorang sahabat lebih bermakna daripada sekadar file yang dikirim lewat surel.

Buku bisa ditandatangani oleh penulisnya, menjadi barang koleksi, menjadi saksi perjalanan seseorang.

Ia bisa dikembalikan, dipinjamkan, dan disimpan sebagai kenangan yang abadi.

Kita harus terus mencetak buku. Kita harus terus membaca buku.

Sebab, buku adalah peradaban yang tak boleh punah.

Jika dunia digital lumpuh, buku cetak tetap akan ada. Ia tak membutuhkan daya baterai, tak terkena virus, tak akan hilang hanya karena satu tombol tertekan.

Jangan biarkan buku menjadi sekadar artefak masa lalu. Selama masih ada tangan yang mau membalik halaman, selama masih ada mata yang ingin membaca kata-kata, buku akan terus hidup.

Kita harus tetap menulis, tetap mencetak, tetap membaca.

Sebab, buku bukan hanya sekadar benda. Buku adalah perlawanan terhadap lupa. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kercerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar
  1. Menurut saya ..buku adalah sebuah karya dr sang penulis ..yg tidak bisa dibeli dengan harga murah ..sebuah karya hasil pemikiran dr sang penulis ..merupakan sebuah karya cipta dan ini harus dihargai dan buku nya pun harus ..tetap kita baca dan dikenang selalu.karena lembaran pada tiap2 buku .itu sangat bernilai

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan