Bukan Sekadar Tontonan, “Sayap-Sayap Proklamasi” Sebuah Perayaan yang Hidupkan Kembali Sejarah Perjuangan Bung Hatta
Sebuah pertunjukan yang tak hanya menampilkan sejarah, tetapi juga memberikan energi positif yang membangkitkan rasa cinta tanah air.

Laporan Disyadona (Majalah elipsis)
PADANG PANJANG, majalahelipsis.id—Di bawah siraman hujan yang puitis, ratusan penonton berbalut jas hujan warna-warni terpaku menyaksikan sebuah kisah epik yang menghidupkan kembali semangat proklamasi. “Sayap-Sayap Proklamasi”, pertunjukan teater persembahan Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang membawakan perjalan heroik sang proklamator, Bung Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah menggema, menggugah setiap jiwa yang hadir kembali merasakan denyut nadi perjuangan bangsa. Sebuah malam yang penuh emosi, ketika seni dan sejarah berpadu menjadi satu harmoni.
Pertunjukan teater Sayap-Sayap Proklamasi hadir sebagai karya ke-55 dari Komunitas Seni Kuflet, sebuah kelompok seni yang kini usianya telah beranjak 27 tahun dan selalu menyuguhkan pertunjukan menginspirasi. Naskah yang menggugah ini ditulis oleh S. Hasanah Nst., yang berangkat dari riset, berhasil meramu kisah perjuangan Bung Hatta dengan detail dan memikat. Dr. Sulaiman Juned, M.Sn., sang sutradara yang dikenal dengan sentuhan artistiknya, membuat pertunjukan ini menampilkan kolaborasi luar biasa dari berbagai pihak. Pemimpin Produksi, Muhammad Subhan, S.Sos.I., Stage Manager, Fauziah Laili dan Ari juga bekerja keras di balik layar untuk memastikan setiap elemen, dari aktor hingga tata panggung, berjalan dengan mulus.

Pertunjukan teater ini merupakan bagian dari program Bidang Kebudayaan Fasilitasi Teater Kepahlawanan 2024 yang didukung Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Program ini bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat kepahlawanan melalui seni pertunjukan yang inspiratif.
Pertunjukan dan sesi latihan dihadiri Rita Matumona selaku kurator dan tim dari Kementerian kebudayaan RI. Malam pertunjukan digelar pada Kamis, 12 Desember 2024, di Panggung Utama Desa Wisata Kubu Gadang, Padang panjang, Sumatra Barat. Terbuka untuk umum, pertunjukan dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari komunitas seni, akademisi, budayawan, sastrawan, masyarakat dari berbagai usia dan daerah Sumatra Barat.
Tampak hadir Mahatma Muhammad, pendiri dan sutradara Teater Komunitas Seni Nan Tumpah, Padang Pariaman, Andria Catri Tamsin, akademisi dan praktisi sastra Universitas Negeri Padang, sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, ninik mamak, serta masyarakat umum lainnya.

Disambut penerima tamu, para remaja pengelola Desa Wisata Kubu Gadang, para pengunjung masing-masing diberi “suvenir” ponco (jas hujan) plastik berwarna-warni yang sangat bermanfaat saat menonton pertunjukan di bawah guyuran hujan. Pemandangan penonton berjas hujan warna-warni juga menjadi pemandangan unik. Tak ada yang mengeluh, semua penonton terhanyut bersama jalannya setiap cerita yang dipentaskan. Seolah hujan telah menjadi bagian dari latar pertunjukan.
Panggung utama desa wisata tersebut diubah menjadi sebuah ruang dan waktu. Penonton seolah dibawa kembali ke masa lalu, saat nuansa sejarah demikian kental. Bukan hanya jalan ceritanya yang kuat, tetapi juga atmosfer yang dibangun melalui elemen-elemen teater, seperti pencahayaan, bahkan musik, dan tarian yang disuguhkan sebagai bagian cerita.
Gambaran Kota Batavia, sekelumit geliat kehidupan serta rutinitas masa itu yang ditampilkan sebagai latar cerita melalui layar proyektor raksasa (videotron) semakin menguatkan kesan. Beberapa tari-tarian dengan latar budaya Minangkabau dan Eropa di Batavia dan Belanda pada masa penjajahan colonial menyemarakkan dan menghidupkan alur cerita.
Ir. Soekarno yang akrab disapa Bung Karno diperankan oleh Rahmat Pangestu Hidayat berhasil membawakan tokoh Bung Karno dengan luwes.

“Pemeran Bung Karno gagah, berwibawa, dan penuh kharisma. Bahkan intonasi suara dan gaya bicaranya seolah menghadirkan kembali sosok sang proklamator di hadapan kami. Saya serasa sedang menyaksikan Bung Karno yang sebenarnya,” ujar salah seorang penonton dari Kota Payakumbuh dengan penuh kekaguman.
Tak kalah mengesankan, pemeran Bung Hatta, Muhammad Irsyad. Dengan kewibawaan dan kesahajaan yang begitu alami, Irsyad mampu menghidupkan sosok Bung Hatta yang dikenal sebagai putra daerah yang berasal dari keluarga ulama Minangkabau yang sangat cerdas, sederhana, dan bijaksana.
“Ia berhasil menunjukkan penampilan dan karakter Bung Hatta dengan sangat tepat, mencerminkan sosok yang penuh prinsip dan dedikasi untuk kemerdekaan. Dalam setiap dialognya, aura kebijaksanaan dan komitmen Bung Hatta terhadap kemerdekaan begitu terasa,” ungkap penonton lainnya yang terkesan dengan penampilannya.

Rasa haru dan khidmat kembali meluap saat menyaksikan adegan pengibaran bendera pusaka, Sangsaka Merah Putih pertama yang dijahit Ibu Fatmawati. Diiringi lagu kebangsaan “Indonesia Raya” versi pertama Indonesia, suasana semakin syahdu, menyatukan penonton dalam rasa haru yang mendalam.
Pertunjukan ini juga memperlihatkan kekompakan yang luar biasa dari seluruh tim produksi, artistik, dan busana. Semua elemen saling mendukung untuk menciptakan pengalaman teater yang tak terlupakan. Pencahayaan yang pas, kostum yang memperkuat karakter, dan musik yang menyentuh menjadi bagian integral dari kisah yang dihadirkan.
“Tim produksi dan artistik benar-benar bekerja dengan sepenuh hati. Kolaborasi mereka membuat pertunjukan ini sangat berkesan dan memukau,” ujar Ayu K. Ardi, Pemimpin Redaksi Majalah elipsis, yang turut menghadiri pertunjukan ini bersama seluruh anggota keluarganya.
Selepas pertunjukan, para penonton pun memberikan standing ovation dan turut menghambur ke arah panggung utama, bergabung dengan para pemain yang menyanyikan lagu penutup “Hari Merdeka” dengan sangat meriah.
Sebuah pertunjukan yang tak hanya menampilkan sejarah, tetapi juga memberikan energi positif yang membangkitkan rasa cinta tanah air. Komunitas Seni Kuflet berhasil menyajikan sebuah karya seni yang tak terlupakan, menyentuh hati. Mengingatkan kita akan pentingnya menghargai perjuangkan kemerdekaan dan semangat kepahlawanan.
Acara dilanjutkan dengan pemberian plakat penghargaan kepada pihak-pihak yang terlibat dan bekerja dalam pertunjukan ini. Diwakili oleh Pemimpin Redaksi, Ayu K. Ardi, Majalah elipsis menjadi salah satu yang turut menerima plakat penghargaan ini.

“Di bawah rinai hujan, saya menyaksikan sebuah keajaiban. ‘Sayap-Sayap Proklamasi’ bukan sekadar sebuah pertunjukan, tetapi sebuah pengalaman batin yang membangkitkan semangat dan kebanggaan sebagai anak bangsa. Komunitas Seni Kuflet telah menunjukkan kembali sejarah dengan cara yang memikat. Memadukan seni, budaya, dan semangat kepahlawanan dalam satu harmoni. Penghargaan ini adalah simbol kecil dari penghormatan besar atas dedikasi luar biasa mereka. Kami dari Majalah elipsis merasa terhormat menjadi bagian dari perjalanan pertunjukan ini. Semoga karya ini terus dikenang dan membawa semangat proklamasi ke hati setiap generasi,” tutur Ayu yang sangat mengapresiasi pertunjukan ini.
Komunitas Seni Kuflet menunjukkan bahwa seni adalah sarana yang sangat ampuh untuk menghidupkan kembali nilai-nilai sejarah yang menginspirasi generasi muda. “Sayap-Sayap Proklamasi” menjadi bukti bahwa meski di bawah hujan, semangat kemerdekaan tetap menyala, membawa pesan abadi tentang pentingnya menghargai sejarah dan perjuangan bangsa.
Penulis: Disyadona
Editor: Muhammad Subhan
-
Ping-balik: Tagar #KaburAjaDulu dan Cermin Kewarganegaraan Dewi Soekarno - Majalahelipsis.id