Buah dari Puasa adalah Ikhlas
Keikhlasan dalam puasa akan membentuk karakter yang lebih jujur, amanah, dan tulus dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Oleh Fatatik Maulidiyah
IBADAH puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang mendalam bagi seorang mukmin. Di dalamnya, terkandung pelajaran tentang kejujuran, amanah, serta pengendalian diri yang membentuk karakter seseorang.
Seorang yang berpuasa dengan benar tidak hanya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan secara lahiriah, tetapi juga menjaga hati dan pikirannya dari keburukan. Kejujuran menjadi nilai yang terasah melalui puasa, karena seseorang bisa saja berpura-pura berpuasa di hadapan orang lain, tetapi sejatinya hanya dirinya dan Allah yang mengetahui kesungguhan niatnya. Demikian pula sikap amanah, di mana puasa mengajarkan untuk bertanggung jawab dalam menjaga ibadah meskipun tidak ada yang mengawasi.
Dari sinilah puasa membentuk pribadi yang memiliki integritas tinggi, menjadikannya lebih jujur dan dapat dipercaya dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu nilai utama yang diajarkan dalam ibadah puasa adalah tentang sikap ikhlas. Ibadah ini bersifat tersembunyi, berbeda dengan shalat yang gerakannya dapat terlihat, atau zakat dan haji yang memiliki aspek sosial yang nyata.
Orang lain mungkin tidak akan tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa atau hanya sekadar menampakkan diri sebagai orang yang berpuasa. Hal ini menjadikan puasa sebagai bentuk ibadah yang sangat bergantung pada hubungan pribadi seorang hamba dengan Allah.
Keikhlasan menjadi fondasi utama agar puasa tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa agama yang murni adalah yang dijalankan dengan niat hanya untuk-Nya, tanpa ada kepentingan duniawi atau keinginan untuk dipuji oleh sesama manusia.
Disebutkan dalam QS. Az Zumar ayat 3: “Ingatlah, bagi Allah agama yang murni.”
Keikhlasan juga memiliki ciri khas yang tampak dalam perilaku seseorang. Seorang yang ikhlas tidak mudah terganggu oleh pujian maupun celaan. Ia tidak menjadikan amalnya sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan dari manusia, tetapi semata-mata sebagai wujud penghambaan kepada Allah.
Keikhlasan juga terlihat dari cara seseorang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa berharap balasan langsung dari manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang ikhlas akan tetap berbuat baik meskipun tidak ada yang melihat, tetap bekerja keras meskipun tidak mendapatkan penghargaan, dan tetap membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam konteks puasa, keikhlasan ini semakin diuji. Ketika seseorang mulai merasa berat menjalankan ibadah, merasa kecewa karena tidak diapresiasi, atau mulai membandingkan amalnya dengan orang lain, di situlah keikhlasan sedang diuji.
Seperti yang dikatakan oleh Dzun Nun al-Mishri, ada tiga tanda keikhlasan: tidak membedakan antara pujian dan celaan, tidak mengandalkan amalnya sebagai penentu nasibnya, serta menyerahkan pahala sepenuhnya kepada Allah di akhirat. Dengan kata lain, seorang yang ikhlas tidak akan mengukur ibadahnya dengan standar duniawi, tetapi dengan harapan akan rida-Nya.
Puasa menjadi ladang latihan yang sangat baik untuk menumbuhkan keikhlasan dalam diri. Ketika seseorang mampu berpuasa tanpa merasa perlu dipuji, tanpa merasa terbebani oleh pandangan orang lain, dan tetap menjalankannya dengan penuh kesungguhan, maka ia telah mencapai salah satu puncak spiritual dalam ibadahnya. Keikhlasan dalam puasa akan melahirkan keikhlasan dalam aspek kehidupan lainnya, seperti dalam bekerja, berinteraksi dengan sesama, serta dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.
Dengan demikian, puasa tidak hanya menjadi ibadah tahunan, tetapi menjadi proses pembentukan karakter yang lebih jujur, amanah, dan ikhlas dalam menjalani kehidupan.
Cukup sederhana mendeteksi keikhlasan dalam diri kita. Apakah kita menuntut atas amal kita, melupakan kebaikan kita pada orang lain, atau masihkah muncul rasa sakit hati atas kebaikan-kebaikan yang telah kita berikan pada orang lain? Wallahua’lam. []
Fatatik Maulidiyah, Guru Al-Qur’an Hadis dan Ilmu Tafsir di MAN 2 Mojokerto.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Fatatik Maulidiyah
Editor: Muhammad Subhan