Oleh Ilhamdi Sulaiman
SETELAH bercerai, Bu Mira kembali ke agama asalnya. Entah mengapa, ia begitu mudah berpindah keyakinan, seolah hanya berganti tujuan di halte Transjakarta.
Bu Mira berasal dari Jawa Barat dan sejak kecil menganut agama mayoritas di negeri ini. Namun, ketika menikah puluhan tahun lalu dengan seorang pemuda Protestan, ia mengikuti agama suaminya sesuai kesepakatan bersama.
Andreanus, mantan suaminya, adalah pria pekerja keras. Ia merantau dari kampung halamannya di Tarutung ke kota besar dan sukses sebagai wiraswasta. Bermodalkan semangat dan tekad, ia memulai usaha tambal ban kaki lima di Tebet. Dua tahun kemudian, usahanya berkembang, dan lima tahun setelahnya, ia sudah memiliki beberapa kios dan mempekerjakan delapan orang dari kampungnya.
Nama Andreanus harum di desanya. Orang tua di kampung berharap anak-anak mereka bisa mengikuti jejaknya merantau dan sukses seperti dia.
Dari pernikahan mereka, Andreanus dan Bu Mira dikaruniai tiga anak perempuan. Mungkin ini yang menjadi alasan perpisahan mereka. Sebagai pria Batak, Andreanus mendambakan anak laki-laki sebagai pewaris marganya.
Keinginan ini semakin kuat hingga ia mulai mencari wanita lain yang bisa memberikannya keturunan laki-laki. Keluarganya di kampung pun mendukung. Mereka mencarikan calon istri baru baginya.
Ketegangan dalam rumah tangga pun meningkat. Andreanus sering pulang larut malam tanpa alasan yang jelas. Kecurigaan Bu Mira semakin besar. Ia mulai mencari tahu keberadaan suaminya, mendatangi rumah keluarga mantan suaminya, bahkan berkeliling ke beberapa lapo tuak, tapi hasilnya nihil.
Sampai akhirnya, ia menghadap suaminya langsung.
“Dari mana, Bang?” tanyanya suatu malam.
“Bisnis,” jawab Andreanus singkat.
Jawaban yang dingin dan tanpa penjelasan membuat emosi Bu Mira meledak. Perdebatan pun pecah. Suara mereka meninggi, hingga anak bungsu mereka terbangun dan berdiri di ambang pintu, menatap kedua orang tuanya dengan mata bingung.
Pertengkaran itu langsung terhenti. Andreanus menghela napas panjang, lalu melangkah keluar, menyalakan mobil, dan pergi. Seminggu berlalu, ia tak juga kembali.
Siang itu, saat Bu Mira sedang memasak, bel berbunyi. Ia membuka pintu dan mendapati seorang pria muda berdiri di sana—salah satu karyawan Andreanus, yang juga sepupu mantan suaminya.
“Aku mengantarkan surat dari Abang, Kak. Diminta tanda tangan, lalu aku bawa kembali,” kata pria itu, menyerahkan amplop cokelat.
Bu Mira mengambilnya dengan dahi berkerut. “Surat apa ini?”
“Gak tahu, Kak. Aku cuma disuruh antar.”
Dengan tangan gemetar, Bu Mira membuka amplop dan membaca isinya. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan emosi. Tanpa pikir panjang, ia merobek-robek surat itu, meremasnya, lalu berlari masuk ke dalam kamar.
Pria yang mengantar surat hanya bisa berdiri canggung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia menunggu, berharap Bu Mira keluar dan memberikan jawaban. Namun, jam demi jam berlalu tanpa tanda-tanda kehadirannya.
Akhirnya, dengan kebingungan yang sama besarnya, ia memutuskan pergi. Kembali ke tempat kerjanya.
Sejak peristiwa kepergian suaminya, Bu Mira dan surat perceraian yang dibawa anak buahnya, Bu Mira sudah tidak peduli lagi. Ia sudah asyik dengan dirinya, dengan dunia yang ia tekuni ketika masih remaja dahulu. Ia menatap layar laptopnya yang menyala. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja, seolah mencari kata-kata yang pas untuk cerita terbarunya. Ia melanjutkan hobi yang pernah ditinggalkannya: menulis cerita fiksi.
Malam itu, Bu Mira kembali ke dunia imajinasi yang ia ciptakan. Ia sedang menulis sebuah cerpen tentang seorang pria yang tersesat di dunia misterius, di mana setiap sudutnya menyimpan rahasia yang belum terpecahkan. Namun, baru beberapa paragraf ia tulis, suara dari luar rumah membuatnya tersadar. Ia menoleh ke jendela, melihat bayangan seseorang di depan pagar.
Dengan sedikit ragu, Bu Mira berjalan ke pintu dan membukanya. Di depan rumahnya berdiri seorang pria.
Bu Mira terdiam sejenak. Ada sesuatu yang aneh pada pria itu. Matanya, seperti seseorang yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
“Pergilah sebelum anak-anak melihatmu.”
Bu Mira menutup pintu dan asyik kembali dengan laptopnya.
Kejadian malam itu sama persis dengan cerpen yang sedang ia buat saat ini. []
19 Ramadan 1446
Ilhamdi Sulaiman, prosais, penyair, aktor, menetap di Jakarta.
Penulis: Ilhamdi Sulaiman
Editor: Muhammad Subhan