Oleh Polancho S. Achri

1.

ADEGAN ini terjadi di depan rumah, ketika hari menjelang siang. Tampak Pak Amat yang sedang menyiapkan sepasang sangkar untuk dua ekor burung branjangan; tampak Pon, anak Pak Amat, yang tengah menemani, dan ingin bertanya kepada bapaknya itu tentang kejadian pagi tadi ketika sedang di pasar burung.

“Pak.”

Pak Amat berdehem; mengiyakan, sambil tetap menyiapkan sangkar.

“Saat di depan sangkar besar penuh burung branjangan, Bapak berdiri lama; menghabiskan banyak rokok, memang apa yang Bapak lihat?”

Pak Amat pun menoleh dan tersenyum, lantas berkata,

“Yang Bapak lihat dari burung-burung branjangan itu suaranya.”

“Suaranya? Apa bisa, Pak?”

“Bisa, Pon.”

Pon mengingat-ingat kembali kejadian pagi tadi; lantas berkata, “Tapi, Pak, Pon tidak melihat apa-apa. Pon hanya melihat branjangan yang terbang-hinggap ke sana kemari di dalam sangkar yang besar itu.”

“Pon harus memperhatikan,” ucap Pak Amat sambil memasukkan seekor branjangan, “dan bukan hanya sekadar melihat. Pon mesti teliti.”

Pon seketika memperhatikan burung branjangan yang baru saja dimasukkan, yang kini terbang hinggap di tiang yang di atasnya ada batu.

“Kalau Pon perhatikan,” tambah Pak Amat menjelaskan, “ada yang berkicau sangat pelan, dan yang seperti itu memiliki suara yang bagus, atau setidaknya bisa dilatih agar bagus.”

Pon terdiam, berusaha paham, dan kembali memperhatikan apa yang Pak Amat kerjakan. Saat hanyut memandang, Pon pun teringat sesuatu!

“Pak, apa burung dekat dengan malaikat?”

Pak Amat teduh menatap, dan lantas berucap, “Apa karena mereka sama-sama memiliki sayap?” Pon mengangguk malu-malu.

“Begitukah yang tertulis di buku yang kemarin Pon pinjam di perpustakaan?”

“Iya, Pak.” Pon pun terdiam sejenak kembali, dan menyadari sesuatu lagi.

“Pak, kalau Bapak bisa bahasa burung, berarti Bapak bisa bahasa malaikat?”

“Walah-walah. Sudahlah, Pon,” ucap Pak Amat lembut. “Sekarang, ambilkan Bapak air buat mengisi minum branjangan.”

“Ya, Pak,” jawab Pon sembari bersegera menggenapi permintaan bapaknya.

Pak Amat memasukkan seekor branjangan lagi; dan memandangi dua ekor burung branjangan yang baru saja dimasukkannya ke dalam sangkar. Lalu, pandang matanya menjadi jauh, menjadi begitu jauh—Pak Amat pun berkata, entah kepada siapa, mungkin kepada diri sendirinya.

“Burung itu lebih dekat dengan manusia, dibanding dengan malaikat. Sebab manusia makan-minum, tidur, dan kawin; sebab manusia berupaya menjauhi derita, berharap bebas, dan bisa berbahagia; sedang malaikat tidak melakukan itu semua. Kesamaan di antara mereka hanya sebatas sayap. Itu pun, sepertinya, hanya kian memperjelas bahwa burung lebih dekat dengan manusia.”

Pon keluar dari rumah, keluar sambil membawa gayung berisi penuh air. Menyadari itu, Pak Amat pun terlempar kembali dari semacam jauh, dari suatu yang menolak genap ditempuh.

“Ini, Pak,” ucap Pon sambil menyerahkan gayung penuh air itu.

“Ya,” jawab Pak Amat. “Terima kasih.”

Pak Amat mengisikan air ke tempat minum, mengisikan makan ke tempat makan. Dan Pon, dengan begitu terpukaunya, mengamati. Setelah genap, Pak Amat pun masuk ke rumah; berkata mau berganti pakaian dan mau menjemput Bu Amat.

Pon masih memandangi burung-burung itu.

2.

Adegan ini terjadi ketika malam, di ruangan dalam kontrakan keluarga Pak Amat, di sebuah ruangan yang tak terlalu besar, dan dengan pencahayaan yang temaram. Di situ, tampak Pon menyiapkan buku-buku pelajaran untuk sekolah esok pagi, dan merampungkan PR yang diberi gurunya; tampak Bu Amat menemaninya, melipat pakaian yang siang tadi dijemur dan telah kering. Pon, yang telah selesai menyiapkan buku dan merampungkan PR, berkata pada ibunya:

“Bu, kenapa manusia tak punya sayap?”

“Memang, kalau Pon punya, mau buat apa?”

“Pon akan terbang, Bu, dan akan menjemput Kartika pulang.”

Mendengar itu, Bu Amat pun terdiam sesaat; ada sesuatu yang menyesakkan dadanya; matanya berkaca-kaca, dan hendak meneteskan air mata, tapi begitu kuat ditahannya. Dan Pon masih terbawa pada “sayap” dan Kartika, adik perempuannya yang telah tiada.

Bu Amat pun bercerita tentang bintang.

“Apakah Pon tahu, kalau bintang-bintang adalah kunang-kunang?”

“Kunang-kunang?”

“Ya. Bintang-bintang adalah kunang-kunang yang terbang terlalu tinggi; dan malangnya, mereka tidak tahu jalan kembali ke bumi.”

“Benar begitu, Bu?”

Pon kembali mengingat-ingat; dan setelah ingat berucap, “Pon pernah baca di buku, kalau dengan melihat bintang, banyak petualang mampu menemukan jalan pulang; dan karena bintanglah malam menjadi terang.” Selepas berkata demikian, Pon terdiam seketika, memahami sesuatu.

“Apa Kartika sudah menjadi bintang?”

“Akan diteranginya malam-malam kita, Pon.” Hening seketika.

“Apakah Kartika masih mengenali kita? Masih mengenali Pon, Bu?”

“Ibu yakin masih, Pon,” ucap Bu Amat. “Asal Pon tetap tersenyum. Bintang, Pon tahu, meski mendung sekalipun, tetap di sana, tetap ada walau tak terlihat oleh mata.”

“Pon masih ingat, Bu, masih sangat-sangat ingat. Kartika—” Pon mengangkat tangan kanannya ke atas, ke arah langit! Dilakukannya hal demikian seolah hendak meraih sesuatu. Bayang tangannya menutupi wajah, tapi matanya yang berkaca-kaca tampak begitu kemilau. Dan hening seluruh ruangan.

“Kartika,” ucap Pon berupaya kuat melanjutkan, “sering melakukan hal ini saat malam tiba, Bu, dan setelah terdiam begitu lama, Kartika akan bertanya, ‘Mas, apa bintang-bintang hidupnya berkelompok?’ dan akan Pon jawab, ‘Mungkin saja, Dik.’ Lalu, Kartika akan tersenyum lebar, tersenyum begitu manis. Sangat senang. Meski sebenarnya, Pon tahu, Bu, tahu kalau bintang-bintang itu berjarak sangat-sangat jauh, satu dengan yang lain. Apa Kartika kesepian, Bu?” Bu Amat segera memeluk Pon.

“Saat itu,” ucap Pon melanjutkan lagi dengan perlahan, “Kartika juga pernah bertanya pada Pon, ‘Kenapa bintang-bintang bersinar, Mas?’ dan Pon pun akan menjawab, ‘Sebab di bumi, ada gadis manis yang senang melihat bintang bersinar.’ Dan Kartika juga senang sekali bertanya, ‘Mas, selain melihatnya, apa yang bisa kita lakukan?’ dan Pon pun menjawab, ‘Kita bisa menghitungnya. Dan kamu pun akan menghitungnya sampai terlelap—lalu akan digendong Ibu dan Bapak.’”

Bu Amat pun kian erat memeluk, Pon pun perlahan hanyut pada hangat pelukan.

Bu Amat mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kompas kecil!

“Ini buat Pon,” ucap Bu Amat lembut sembari memberikan itu kompas.

Pon menerima, memandanginya cukup lama, lantas berkata,

“Kompas? Untuk Pon?”

“Agar Pon tidak tersesat saat berada di luar angkasa nanti.” Pon amatlah senang mendapati hal demikian, dan begitu lekas mengucap terima kasih berulang.

Akan tetapi, Pon lekas teringat kembali pada sesuatu. “Tapi, Bu, bukankah di luar angkasa tidak ada arah?”

“Di luar angkasa memang tidak ada arah, Pon, kalau tidak mengenal diri.”

“Mengenal diri?”

“Ya,” ucap Bu Amat. “Dengan mengenal diri, maka manusia akan tahu mana atas, mana bawah. Mana kanan, mana kiri. Mana depan, mana belakang.”

“Kalau Pon tidak bisa mengenal diri bagaimana, Bu?”

“Anggaplah ini jimat dari Ibu,” ucap Bu Amat. “Lihatlah, dan Pon akan ingat.” Pon pun memandangi kompasnya. “Terima kasih, Bu.”

“Sama-sama. Dan segera pulang setelah menemukan apa yang Pon cari.”

“Bu,” berkata Pon penuh pengharapan, “Apa dengan memiliki sepasang sayap manusia akan menjadi malaikat?”

“Sepasang sayap, atau bahkan lebih, tidak akan membuat manusia menjadi malaikat, Pon.”

“Syukurlah kalau begitu,” ucap Pon begitu lega, “Pon ingin menjadi manusia dan tetap menjadi manusia.”

Pon pun membantu Bu Amat menyimpan pakaian ke almari. Terdengar semakin jelas suara kucing yang saling sahut-menyahut. Seekor berbunyi nuuun(g) dan seekor lagi berbunyi wauuuw silih berganti! Dan makin lama makin riuh, makin gaduh. Terdengar suara sangkar terjatuh.

Bruuuk!!!

Pon dan Bu Amat tersentak, mengarahkan pandang ke depan lantas segera menilik ke luar rumah, ke depan rumah.

“Branjangan Bapak, Bu.”

3.

Adegan ini terjadi di depan rumah—seperti adegan awal. Di sana, tampak Pak Amat sedang memperbaiki sangkar. Setelah memperbaiki, dicantolkannya kembali pada cantolan depan rumah, pada cantolan yang dekat pintu masuk. Pon keluar dari rumah sambil berusaha bersiul.

“Sudah bisa?” tanya Pak Amat.

“Masih belum, Pak, padahal sudah hampir seminggu.”

Pon terdiam sejenak, memperhatikan sangkar di dekat pintu, lantas berkata,

“Kenapa pintunya dibuka, Pak?”

“Siapa tahu branjangannya mau kembali,” jawab Pak Amat.

“Memang bisa kembali, Pak?”

“Sering kali bisa.”

“Bukannya burung lebih suka hidup bebas?” tanya Pon tertarik.

“Tidak semua yang disangkar itu tidak bebas, Pon, begitu juga sebaliknya.”

“Bisa begitu, ya, Pak?” ucap Pon, lugu. Pon jadi bingung.

“Kebebasan memang membingungkan; tapi itu berkait hal yang ada di dalam sini,” ucap Pak Amat sambil menunjuk dadanya. “Bukan hanya yang tampak dan fisik saja, Pon.”

Pon pun tersenyum, berusaha paham.

“Kalau Pon tahu, langit pun sebenarnya adalah sangkar; sangkar yang sangat besar.”

“Iya, juga, ya, Pak.” Pon masih terpukau pada sangkar branjangan dengan pintu terbuka itu; dan Pak Amat pun duduk di sebuah bangku yang tak terlalu panjang—hendak menyulut rokoknya.

“Pak, Pon main dulu, ya?”

“Ya, hati-hati.”

Pon mencium tangan Pak Amat, lantas berjalan pergi. Pak Amat pun mengikuti langkah anaknya; dan selepas jauh dari pandangan, genaplah dinyalakan rokoknya. Pandang matanya melihat kejauhan, menatap langit yang kebiruan terang dengan tipis gemawan.

4.

Adegan ini terjadi di ruang tengah kontrakan ketika malam, dan hujan turun dengan begitu derasnya. Tampak Pon berjongkok di sudut ruangan, mengamati buku yang diletakkannya sendiri di depannya. Air hujan membasahi buku itu melalui atap yang bocor. Ada cukup banyak ember dan panci yang diletakkan di bawah atap ruangan itu—untuk mewadahi air yang bocor.

Bu Amat keluar dari dapur, membawa panci dan meletakkannya di tempat bocor; dan kala menengok ke arah Pon, bingung sebab mendapati apa yang tengah dikerjakan oleh anak lelakinya.

“Sedang apa, Pon?” tanya Bu Amat.

Pon bangkit dari jongkoknya, mengambil bukunya, dan berkata,

“Mengerjakan PR, Bu.”

Bu Amat kian bingung dan kembali bertanya,

“Memang PR-nya apa?”

“Sebelum pulang, Bu Guru memberi tugas membuat puisi hujan.”

Bu Amat terdiam, memperhatikan anaknya—Pon mengamati bukunya, dan merasa belum maksimal, dan diletakkannya kembali buku itu di sudut kamar yang atapnya bocor tipis; dan Bu Amat masih saja terdiam memandangi anaknya.

Dari luar terdengar hujan begitu deras, dan terdengar pula suara sangkar-sangkar yang bergoyang bertubrukan. Sebuah angin kencang berembus; terdengar suara sangkar-sangkar berjatuhan! Pon dan Bu Amat bangkit, bergegas ke depan: hendak mengetahui apa yang terjadi. Namun, pintu sudah dibuka, dan tampak Pak Amat memakai jas hujan. Pak Amat membuka tudung jas hujannya, dan tampak wajahnya yang menyimpan kesedihan.

5.

Adegan ini terjadi di kala siang berawan, di depan rumah kontrakan. Tampak Pak Amat kembali memperbaiki sangkar-sangkar burung yang rusak—karena semalam jatuh. Dan setiap rampung sebuah, dicantolkannya kembali sangkar-sangkar itu di tempat semula. Saat kurang sebuah Pak Amat memperbaiki, Bu Amat keluar dari rumah: hendak menyampaikan sesuatu.

Bu Amat ingin menyampaikan sesuatu, tapi ada hal lain yang mengganjal hatinya, ada suatu perasaan yang tak nyaman, yang menahan ungkapan. Pak Amat yang menangkap itu segera menghentikan pekerjaan, dan lebih dulu mengajukan pertanyaan.

“Ada apa, Bu?”

Melihat sangkar yang tengah dibenahi, Bu Amat terdiam sejenak; dan lantas berkata,

“Semoga saja lekas kembali.”

Hening! Mata keduanya bertatapan begitu dalam, saling menyelam, seolah paham, dan mungkin memang paham, ada hal-hal yang sulit untuk diungkapkan.

“Bapak tahu, Bu,” ucap Pak Amat mendahului lagi—Pak Amat menengok ke belakang, ke rumah, rumah yang sangat sederhana dan miring ke belakang.

“Rumah ini,” ucap Pak Amat melanjutkan, “juga hanya kontrakan, dan sebentar lagi jatuh masa tempo pembayaran.”

“Bapak juga tahu, Bu, kalau jualan mainan anak-anak yang Ibu jual sedang tak benar-benar lancar, dan tempat cukur rambut Bapak juga tidak terlalu ramai. Juga, burung branjangan yang niatnya jadi tabungan malah lepas dan terbang.”

“Ibu tahu, Pak. Ibu juga tak ingin menambah pikiran Bapak.” Bu Amat ingin berkata lagi, tapi tak kuasa; dan digantinya dengan sebuah senyuman—yang getir terasa.

Pak Amat mencantolkan kembali sangkar sebuah, lantas berkata lembut,

“Pasti ada jalan, Bu, pasti ada jalan. Kita mesti yakin, bukan?”

Bu Amat berusaha kuat untuk mengiyakan.

Bu Amat pun teringat tentang nyekar!

“Oh, iya, Pak. Besok, kita nyekar Bapak-Ibu, Mamak-Bapak, juga Kartika, ya, Pak.”

“Iya, Bu,” jawab Pak Amat sambil meminta istrinya duduk di sampingnya. “Nanti, kalau sudah pulang sekolah, Pon akan Bapak minta beli kembang di Mbah Ruwah.”

6.

Adegan ini terjadi di depan rumah, ketika hari cerah dan berawan. Tampak pintu rumah tertutup. Keluarga Pak Amat sedang pergi berziarah. Suasana sepi dan hanya terdengar kicau burung peliharaan Pak Amat yang masih tersisa.

Setelah cukup lama terasa hening, tampak seorang perempuan memakai pakaian gelap dan wajah yang tertutup-terselempang kain datang membawa sebuah keranjang. Dipandangnya keranjang itu dengan cukup lama, lantas diletakkannya perlahan di depan pintu kontrakan Pak Amat. Perempuan itu melihat sekeliling; dan tetap mendapati sepi. Lalu, dimasukannya sebuah amplop tebal ke dalam keranjang. Perempuan itu ragu untuk pergi. Betapa lama ia terdiam dan kembalilah ia duduk bersimpuh, mendekatkan diri ke keranjang itu.

“Mungkin aku memang tak pantas disebut sebagai ibu,” ucap perempuan itu. “Namun, semoga kau nantinya mendapati seorang perempuan yang begitu mencintai, bahkan melebihiku, Nak.”

Tangisnya pecah! Sepasang tangannya lekas menahan suara—tak ingin bayi di dalam keranjang itu menangis pula.

“Aku tahu, bahwa aku tak berhak untuk meminta, bahkan tak berhak untuk meminta maaf darimu, Nak,” ucap perempuan itu lagi sambil terisak. “Namun begitu, aku tetap berharap semoga kau tak mendapati nasib yang rumit sepertiku.”

Ia pun pergi, dan tampak tangisnya jatuh ke tanah, ke jalanan kampung yang ada di tengah kota.

Hening—

Bayi itu terlelap.

Sesaat kemudian, terdengar langkah keluarga Pak Amat. Pon berjalan di depan; dan matanya yang tajam lekas mendapati ada sesuatu di depan rumahnya. Ia pun berjalan lebih cepat; lekas mendekati keranjang itu. Pak Amat dan Bu Amat yang menyadari, segera turut berjalan lebih kencang.

Mereka terkejut pada apa yang mereka temukan! Pon terpukau; Pon masih saja memandangi keranjang berisi bayi itu; sedang Pak Amat dan Bu Amat melihat sekeliling, dan tak mendapati apa-apa, tak mendapati siapa-siapa, selain rumah lain yang sepi sebab penghuninya pergi berlibur. Setelahnya, Pak Amat dan Bu Amat pun saling pandang.

Pon berkata memecah hening.

“Pak, Bu, lihat, di dalam keranjang, ada surat dan sebuah amplop.”

Pak Amat mengambil surat tersebut, dan membacanya, dan setelah selesai, menyerahkannya pada Bu Amat. Pak Amat membuka amplop yang ternyata isinya uang, uang yang cukup untuk membayar uang sewa beberapa bulan ke depan, dan kebutuhan itu bayi perempuan; dan diserahkannya amplop itu ke Bu Amat.

Pon menggendong bayi itu; dirasa hangat dari tangan mungil itu menggapai-menggenggam jarinya. Dan berkata Pon kepada orang tuanya.

“Pak, Bu, Pon yakin, kalau bayi perempuan ini adalah Kartika yang lahir kembali. Jadi, bolehkah kita merawatnya. Pak, Bu?”

Bu Amat memandang Pak Amat, dan ditangkapnya isyarat: tidak mengapa. Bu Amat pun berkata pada Pon.

“Bintang jatuh memang menjadi tanda bagi impian dan kini, impian Pon terwujud: Kartika pulang.”

Pon tersenyum—senang.

“Iya, Bu.”

Pon memandang Pak Amat.

“Pak, mungkin burung-burung branjangan yang terlepas itu terbang ke surga, menunjukkan jalan pulang pada Kartika dan meyakinkan Kartika bahwa di sinilah rumahnya.”

“Iya, Pon, Pon memang pandai, ucap Pak Amat sembari mengelus kepala Pon lembut. Ayo, masuk dulu; cuci tangan dan kaki, ‘kan habis dari nyekar.”

“Oh, iya, Pon, akan dinamai siapa bayi mungil ini?”

“Pon yang namai?” Pon memandang bayi mungil yang digendongnya dan melihat wajah kedua orang tuanya, dan mendapati persetujuan. Maka Pon pun menamainya.

“Kalau begitu, akan Pon namai adik Pon ini dengan nama: Sinta.” []

(2016—2022)

Polanco S. Achri. Lahir dan tinggal di Yogyakarta. Ia adalah penulis cerita, naskah pertunjukan, dan esai seni rupa. Selain menulis, ia sempat menjadi aktor dan sutradara untuk beberapa produksi kecil teater kampus; produser dan sutradara untuk beberapa film dokumenter bersama siswanya ketika mengajar di sebuah SMK. Ia juga terkadang mengurasi pameran seni. Kini ia tengah menempuh studi lanjutan di kampus utara Yogya.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Polancho S. Achri

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan