Bertahan

Menulis adalah cara menyembuhkan luka batin dengan kata-kata. Dalam setiap paragraf, penulis merawat dirinya agar tetap waras dan utuh.

Oleh Muhammad Subhan

TIDAK mudah bertahan. Apalagi sebagai penulis. Dunia bergerak cepat. Kata-kata sering kalah oleh gambar dan suara. Menulis jadi sunyi. Tak selalu dibaca. Tak selalu dihargai.

Tak heran, banyak penulis pemula berhenti di tengah jalan. Bukan karena tak berbakat. Tapi karena tak didukung orang-orang terdekat.

Orang tua diam. Pasangan acuh. Anak-anak tak peduli.

“Jadi penulis?”

“Oh, bukumu sudah terbit ya? Sip.”

“Enggak salah kamu nulis-nulis begitu? Ada dapat duit?”

Dingin. Sekaku itu sambutannya.

Tak berhenti di sana. Bukumu terbit. Tapi di rak toko, ia cuma numpang lewat.

Tak semua buku dari penerbit langsung laku keras. Ia harus bersaing dengan ribuan buku lain. Harus menonjol. Harus cantik kover dan isinya. Harus dikenal.

Penulis-penulis yang sudah punya nama, apa pun yang mereka tulis, ditunggu. Populer dulu, laku kemudian. Meski kenyataannya tidak selalu begitu. Di balik layar tak ada yang tahu.

Tapi kamu? Siapa yang kenal? Baru satu buku, semangatmu sudah patah. Mentalmu runtuh.

Cengeng. Mudah menyerah. Simpan sakit hati dalam diam. Jerawatan pula.

Lalu tiba-tiba kamu undur diri. Menghilang dari dunia menulis.

Kenapa begitu?

Mungkin niatmu salah. Tanya lagi ke dalam hati: Kenapa aku menulis? Mau tenar? Mau disebut sastrawan? Mau kaya dari royalti?

Kalau iya, kamu harus tobat. Niatmu salah. Menulis bukan jalan cepat jadi kaya.

Penulis besar tak lahir semalam. Mereka jatuh bangun. Terkadang menahan lapar. Terkadang dihina. Terkadang diancam.

Tapi tetap menulis. Karena bagi mereka, menulis adalah berbagi. Memberi manfaat. Mengajak berpikir.

Kalau itu juga niatmu, kamu di jalan yang benar.

Kamu menulis bukan untuk disanjung. Bukan untuk dibela. Tapi untuk berbagi. Dan karena itu, kamu akan terus menulis.

Walau dikritik. Walau difitnah. Walau tidak ada yang baca. Kamu tetap menulis.

Apa hasilnya? Kamu menjadi tahan banting. Konsisten. Tidak mudah goyah.

Lama-lama kamu dikenal. Setidaknya oleh mereka yang menyukai tulisanmu. Tak perlu semua orang. Setiap penulis akan punya pembacanya sendiri.

Lalu, bagaimana kalau keluargamu tetap dingin? Tak mau membantu mempromosikan bukumu?

Santai saja. Kamu bisa lakukan sendiri.

Anggap bukumu seperti bayi. Ia lahir dari rahimmu sebagai penulis.

Kalau dia lahir jelek, kamu rawat. Edit ulang. Perbaiki. Sempurnakan.

Tak ada karya yang sempurna. Tapi kamu bisa mendekatinya.

Setelah itu? Promosikan di media sosial. Selain itu, buat kartu nama. Pasang nama, nomor WA, dan kover bukumu. Bagikan ke teman. Ke tetangga. Ke orang yang baru kamu kenal.

“Saya penulis buku ini. Semoga berkenan.”

Malu? Jangan. Kalau kamu malu promosikan bukumu sendiri, siapa lagi?

Bikin acara peluncuran. Kalau penerbit mayor, ajak mereka kerja sama. Minta stok 50-100 eksemplar. Lobi baik-baik. Kalau perlu, royaltimu dipotong.

Kalau tidak bisa? Cari sponsor. Kalau tidak bisa juga? Pakailah jurus: “minta tolong baik-baik.” Pasti ada saja orang mau menolong.

Undang pejabat saat peluncuran. Semakin tinggi jabatannya, semakin besar beritanya. Undang media. Undang sastrawan.

Minta mereka bedah buku kamu. Beri ulasan. Kalau bisa, yang membangun. Jangan hanya kritik. Kalau isi buruk semua dibeberkan, siapa yang mau beli?

Lalu, titipkan bukumu di toko kecil. Atau di kedai fotokopian kampus. Yang ramai mahasiswa.

Bikin banner digital. Posting tiap hari. Kutip isi bukumu. Satu-dua kalimat saja. Biar orang penasaran.

Kalau suka jalan-jalan, ajak bukumu ikut. Foto dengan latar wisata. Posting lagi. Buku dan kamu. Di mana-mana.

Minta teman-teman yang cakep foto bareng bukumu. Posting. Tulis caption lucu. Tag teman-teman.

Bikin blog. Kumpulkan tulisan-tulisan yang mengulas bukumu. Repost ke medsos.

Semakin banyak yang tahu, semakin besar kemungkinan bukumu dikenal. Kalau kamu diam, orang pun tak tahu kamu punya buku.

Intinya: Penulis adalah pemasar. Kata-katamu adalah daganganmu.

Kalau niatnya jualan buku, kenali pasar. Kenali pembaca. Lobi. Rayu. Bujuk.

Dan setelah itu terus menulis.

Tak perlu semua orang suka. Cukup satu orang yang tersentuh. Itu sudah cukup.

Jangan menyerah. Terus rawat bayimu: bukumu.

Banyak orang yang berhenti. Jangan jadi salah satunya. Bertahanlah.

Sebab dunia ini butuh cerita. Dan kamu punya cerita itu. Tinggal kamu bagikan dengan cara-cara bahagia.

Mudah, bukan? Mudah. Asal kamu mau melakukannya. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan