Oleh Muhamad Dupi

DI SEBUAH desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah padi hijau, tinggal seorang anak bernama Shofy. Dia adalah putra dari Bapak Joko, seorang petani padi yang pekerja keras. Sejak kecil, Shofy memiliki cita-cita yang besar: ingin menjadi dokter. Setiap kali melihat dokter yang datang ke desanya untuk memberikan pemeriksaan kesehatan, hatinya bergetar. Dia ingin memberikan harapan bagi mereka yang sakit, seperti dokter itu.

Sahabat terbaiknya, Satya, juga memiliki impian yang tak kalah besar. Dia bercita-cita menjadi guru untuk mendidik anak-anak di desanya agar tidak terjebak dalam kemiskinan. Setiap sore, mereka duduk di bawah pohon mangga besar di dekat rumah Shofy, mendiskusikan harapan dan mimpi mereka.

“Suatu hari, kita akan pergi ke kota, Shofy. Kita akan kuliah, dan kembali untuk membantu desa ini,” kata Satya dengan penuh semangat, matanya berbinar saat membayangkan masa depan.

“Iya, Satya. Kita harus berjuang keras,” balas Shofy, penuh keyakinan.

Namun, hidup tidak selalu mudah. Musim panen kali ini membawa kesulitan. Cuaca buruk menggangu hasil panen Bapak Joko. Sawah mereka hanya menghasilkan sedikit padi, dan kesulitan finansial mulai menghimpit keluarga Shofy. Suatu sore, setelah bekerja di sawah, Shofy mendapati ayahnya duduk termenung di teras rumah.

“Ayah, kenapa?” tanya Shofy cemas.

“Padi kita tidak bisa dipanen dengan baik, Nak. Kita harus memikirkan biaya untuk sekolahmu. Mungkin kamu harus membantu ayah lebih banyak di sawah,” jawab Bapak Joko, wajahnya penuh kelelahan.

Shofy merasa terjebak antara tanggung jawab dan impiannya. Di sisi lain, Satya juga mengalami masalah yang lebih berat. Ayahnya sakit parah, dan biaya pengobatan menguras tabungan keluarga. Suatu malam, saat mereka belajar bersama, Satya mengungkapkan kekecewaannya.

“Aku tidak tahu harus bagaimana, Shofy. Biaya pengobatan ayahku sangat mahal. Mungkin aku harus berhenti sekolah dan bekerja,” katanya, suaranya bergetar.

“Jangan, Satya! Kita harus mencari cara. Kita tidak bisa menyerah pada impian kita,” kata Shofy, berusaha menenangkan sahabatnya.

Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk mengadakan acara bakti sosial di sekolah untuk mengumpulkan dana pendidikan bagi teman-teman yang kurang mampu, termasuk biaya pengobatan ayah Satya. Mereka meminta izin kepada kepala sekolah dan mulai mempersiapkan acara. Dengan penuh semangat, mereka mulai mengumpulkan sumbangan dari warga desa. Di tengah persiapan, mereka bertemu dengan seorang dokter muda bernama Dr. Aria yang sedang melakukan pengabdian masyarakat. Dr. Aria mendengarkan cerita Shofy dan Satya dengan penuh perhatian.

“Kalian berdua luar biasa. Pendidikan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Teruslah berjuang, dan jangan pernah menyerah,” kata Dr. Aria, memberi semangat kepada mereka.

Acara bakti sosial pun berlangsung meriah. Warga desa datang berbondong-bondong, dan hasilnya melebihi harapan mereka. Saat Shofy melihat uang yang terkumpul, semangatnya semakin membara.

“Ini semua untuk kita dan masa depan kita, Satya!” serunya.

Setelah acara tersebut, Shofy bertekad untuk mendaftar ke program beasiswa yang diadakan oleh sekolah. Namun, saat memberitahu ayahnya, Bapak Joko tampak ragu.

“Anakku, kita butuh kamu di sawah. Bagaimana jika kamu gagal?” Bapak Joko mengkhawatirkan masa depan Shofy.

“Ayah, aku tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Ini adalah peluang untuk masa depan kita,” jawab Shofy, suaranya tegas.

Konflik batin pun terjadi. Shofy merasa tertekan antara impian dan tanggung jawab. Namun, dengan dorongan dari Satya, dia memutuskan untuk mendaftar.

Hari ujian akhir pun tiba. Shofy belajar keras di bawah sinar lampu minyak, sementara Satya selalu ada untuk mendukungnya. Mereka menghabiskan waktu belajar bersama di sawah, memanfaatkan setiap momen yang ada.

Saat hasil ujian diumumkan, Shofy dengan cemas membuka pengumuman itu. Hatinya melompat ketika melihat namanya tertera sebagai penerima beasiswa ke sekolah kedokteran di kota. Namun, saat menoleh ke Satya, dia melihat sahabatnya terdiam, wajahnya pucat.

“Aku gagal, Shofy. Semua impian kita hancur,” kata Satya, air mata mengalir di pipinya.

“Tidak, Satya. Ini belum berakhir. Kamu masih bisa melanjutkan pendidikanmu. Kita akan mencari cara bersama-sama,” kata Shofy berusaha menenangkan sahabatnya.

Namun, perpisahan pun tak terhindarkan. Shofy harus meninggalkan desa dan keluarganya untuk mengejar impiannya. Di kota, kehidupan terasa sangat berbeda. Dia merasa kesepian dan terasing, merindukan desa dan sahabatnya.

Suatu hari, ketika Shofy sedang belajar di perpustakaan, dia mendapatkan telepon dari Ibu Nani. “Shofy, ada berita buruk. Ayah Satya mengalami komplikasi penyakit dan butuh biaya untuk pengobatan,” kata Ibu Nani dengan suara bergetar.

Shofy merasa terpanggil untuk membantu. Tanpa ragu, dia segera kembali ke desa. Bersama teman-teman sekolahnya, mereka mengadakan penggalangan dana untuk biaya pengobatan ayah Satya.

“Shofy, kamu sudah melakukan banyak untukku. Aku merasa tidak pantas,” kata Satya dengan penuh rasa terima kasih.

“Tidak, Satya. Kita sahabat. Kita harus saling mendukung. Jika kamu berjuang, aku akan berjuang bersamamu,” jawab Shofy, menepuk bahu sahabatnya.

Saat penggalangan dana berhasil, Satya terharu. Dia bertekad untuk melanjutkan pendidikan dan tidak menyerah pada mimpinya.

“Aku akan terus berjuang, Shofy. Aku ingin menjadi guru dan membantu anak-anak di desa kita,” ujar Satya, matanya berkilau.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Shofy kembali ke desa dan membuka klinik kesehatan, memberikan layanan kesehatan gratis kepada masyarakat. Bersama Satya, mereka mengajarkan anak-anak desa tentang pentingnya pendidikan dan kesehatan. Bapak Joko dan Ibu Nani menatap bangga melihat anak-anak mereka yang telah berhasil menggapai impian dan membantu masyarakat. “Kami bangga padamu, Shofy. Kamu telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan tekad, impian bisa menjadi kenyataan,” kata Bapak Joko sambil tersenyum.

Dengan semangat dan kerja keras, Shofy dan Satya menjadi harapan baru bagi desa mereka. Mereka tidak hanya mengejar impian mereka, tetapi juga membantu masyarakat agar mereka pun bisa bermimpi lebih tinggi. Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bersinar, Shofy dan Satya duduk di bawah pohon mangga yang sama, mengingat semua perjalanan yang telah mereka lalui.
“Kita telah melalui banyak hal, ya?” kata Shofy.

“Benar, tetapi ini baru permulaan. Kita akan terus berjuang,” jawab Satya dengan penuh keyakinan.

Dan dengan tekad yang kuat, mereka berdua memandang masa depan, siap untuk melangkah lebih jauh dan menciptakan perubahan yang lebih baik bagi desa mereka. []

Muhamad Dupi, adalah seorang mahasiswa dengan minat utama dalam menulis puisi, cerpen, artikel non-fiksi dan melukis. Ia memiliki minat menulis. Selain itu, juga suka membaca buku-buku inspiratif dan menjelajahi ide-ide baru untuk karya-karyanya.

Penulis: Muhammad Dupi

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan