Bercerita

Bercerita adalah kebutuhan dasar manusia untuk berbagi rasa dan merawat ingatan. Lewat cerita, manusia menyembuhkan diri, membangun harapan, dan menjaga kemanusiaannya.

Oleh Muhammad Subhan

BERCERITA adalah kebutuhan dasar manusia. Sejak dulu, sejak zaman purba, orang suka bercerita. Di tepi api unggun, di tengah hutan, di puncak gunung.

Cerita berpindah dari mulut ke mulut. Dari generasi ke generasi. Dari satu malam ke malam berikutnya. Ada cerita 1001 Malam.

Tradisi lisan lahir jauh sebelum tulisan ditemukan. Tradisi ini hidup, bergerak, bertumbuh bersama manusia.

Melalui cerita, manusia merawat ingatan. Melalui cerita, manusia berbagi rasa.

Sejak kecil, saya juga sering mendengar cerita. Terutama dari Ibu. Cerita yang paling berkesan adalah tentang kakek dan nenek saya. Mereka berasal dari Kajai, sebuah kampung di Pasaman Barat. Di kaki Gunung Talamau.

Kakek dan nenek saya merantau ke Medan. Berjalan kaki. Berhari-hari lamanya. Meneroka rimba belantara. Rimbo Panti, namanya.

Di tengah rimba itu, mereka bertemu bermacam makhluk. Hantu-hantu. Cindaku. Makhluk jadi-jadian. Tapi, kata ibu saya, Kakek seorang pandeka. Pendekar kampung yang tidak takut apa pun.

Apa yang tampak di mata batinnya, tidak menggoyahkan langkah. Begitu juga nenek saya, istri yang setia dan tabah.

Dengan tekad dan keberanian, mereka menembus rimba. Menahan takut. Menahan dingin malam.

Akhirnya mereka tiba di Medan. Di tanah baru itu, mereka mulai hidup dari nol. Mencari peruntungan. Membangun harapan.

Cerita itu selalu melekat dalam ingatan saya. Menjadi semacam obor kecil di dalam hati. Bahwa keberanian dan harapan adalah kunci.

Di Nusantara, tradisi lisan berkembang megah. Setiap daerah punya caranya sendiri dalam bercerita.

Di Ranah Minang, lahir kaba, dendang, randai. Kaba seperti Cindua Mato, Anggun Nan Tongga, menjadi bukti. Orang-orang Minang tidak hanya bercerita, tetapi menari, bernyanyi, berpantun.

Semua itu lahir dari hasrat untuk berbagi dan mengikat rasa.

Di Aceh, ada hikayat yang dibacakan dengan suara lirih di malam sunyi. Di Jawa, ada wayang dan macapat. Di Kalimantan, ada pantun dan nyanyian tradisional Dayak. Di Maluku, ada saniri, kisah-kisah leluhur yang diwariskan. Di Papua, dongeng suku-suku mengalir bersama angin pegunungan.

Semuanya adalah upaya manusia menahan waktu agar tak melupakan mereka.

Bercerita bukan hanya tentang fakta. Cerita bisa dipercaya, atau sekadar hiburan semata. Ada cerita yang mengandung kebenaran. Ada pula yang hanya ingin mengajak kita tersenyum.

Terkadang, antara kebenaran dan rekaan, jaraknya tipis sekali. Tapi tidak mengapa. Yang penting, cerita menghidupkan rasa.

Dari satu cerita lahir kabar-kabar baru. Dari satu kabar berkembanglah dongeng, legenda, mitos.

Kita belajar tentang kehidupan bukan hanya dari pengalaman, tapi juga dari cerita yang dibagikan orang lain.

Bercerita adalah cara manusia menumpahkan beban. Ketika kata-kata keluar, rasa yang mengganjal ikut terurai.

Bercerita mengurangi stres. Bercerita membuat hati lebih lapang. Orang yang memendam cerita, lama-lama bisa sesak napasnya.

Tapi, bercerita saja tidak cukup. Harus ada pendengar. Pendengar yang sabar. Pendengar yang tidak buru-buru menyela. Pendengar yang rela mendengar cerita yang sama berkali-kali. Meskipun membosankan. Meskipun berulang-ulang.

Karena kadang, yang dibutuhkan bukan nasihat. Bukan solusi. Cukup telinga yang mau mendengar dan hati yang mau menerima.

Bercerita menguatkan kesehatan mental. Cerita membuka jalan ke dalam diri sendiri.

Cerita mengurai luka. Cerita membangun kembali harapan yang pernah hancur.

Melalui bercerita, kita menemukan bahwa kita tidak sendirian. Ada orang lain yang peduli. Ada hati lain yang mau berbagi tempat untuk rasa kita.

Di zaman yang serbacepat ini, orang makin jarang bercerita. Mereka sibuk dengan layar. Sibuk dengan gawai. Sibuk mengejar waktu yang seperti selalu kurang.

Padahal, bercerita tidak membutuhkan apa-apa. Cukup kehadiran. Cukup perhatian. Cukup secangkir kopi, teh, atau susu, dan waktu yang tak diburu-buru.

Tanggal 27 April diperingati sebagai Hari Bercerita Nasional. Hari yang mengajak kita berhenti sejenak. Mendengarkan cerita anak-anak kita. Mendengarkan cerita orang tua kita. Mendengarkan cerita kawan lama yang diam-diam masih merindukan kita.

Hari ini, kita diajak untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mau hadir untuk orang lain.

Bercerita adalah merawat imajinasi. Bercerita adalah menghidupkan kembali bagian-bagian diri yang sering kita abaikan.

Selamat Hari Bercerita Nasional. Selamat menjadi pendengar yang baik. Mari bercerita. Mari mendengarkan.

Ya, seperti dulu, bercerita di bawah langit yang penuh bintang. Seperti dulu, bercerita di tepi api unggun yang hangat. Sebab sesungguhnya, yang kita cari bukan jawaban, tapi kebersamaan. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan