Oleh Bambang Widiatmoko
/1/
BENCANA yang menimpa berbagai daerah di Indonesia dan negara lain menimbulkan kesadaran bagi penyair untuk menuliskannya dalam bentuk puisi. Dengan tidak melihat apakah penyairnya terlibat langsung atau tidak dalam peristiwa kebencanaan itu, puisi-puisi mereka tetap menarik untuk dibaca.
Antologi puisi Negeri Bencana (Egypt van Andalas, 2024: 161 hlm) berisi puisi-puisi 100 penyair Indonesia, menampilkan keberagaman puisi yang sebelumnya dipilih melalui kurasi yang sangat ketat. Dewan kurator yang terdiri atas Riri Satria, Sulaiman Juned, dan Muhammad Subhan dalam catatannya menjelaskan, “Penerbitan buku ini didorong rasa keprihatinan melihat banyaknya bencana alam yang terjadi di Indonesia beberapa dekade terakhir, seperti tsunami, erupsi gunung api, banjir bandang, galodo, tanah longsor, angin putting beliung, dan lainnya.
/2/
Bencana tsunami menarik beberapa penyair untuk menuliskannya dalam bentuk puisi, di antaranya Din Saja dengan judul “Aku Tsunami Aceh” berikut: badai tsunami itu telah menghempaskan aku/ dalam kedalaman makna/ yang tak mampu kuterjemahkan// diriku terombang-ambing kebimbangan,/ terseret-seret arus ketakutan,/ terhempas-hempas dalam ketakberdayaan// di pusaran arus teramat dahsyat/ aku berkaca pada diriku/ yang terdampar dalam perut ikan keserakahanku// dalam kegelapan yang hitam/ aku menemukan kegelisahanku/ Tuhan, bebaskan aku dari kezaliman/ dari ketamakan dari kelalaian/ dari terpaan tsunami yang dahsyat ini/ kutemukan kesadaran yang hilang// (hlm. 41).
Puisi dengan tema apa pun tentunya tetap menampilkan metafora. Dahsyatnya tsunami Aceh membuat penyairnya terhempas dalam kedalaman makna dan tak keberdayaan. “Tuhan, bebaskan aku dari kezaliman” untuk mengingatkan pada kekuatan alam tempat kehidupan manusia.
Demikianlah sejatinya puisi ditulis untuk menemukan inti persoalan dan cara memandang serta menyikapi kebencanaan tersebut.
Dalam memandang bencana sebagai musibah tentunya bisa tidak merujuk pada bencana tertentu, seperti tsunami, gempa bumi, banjir bandang, dan sebagainya. Dheni Kurnia dalam puisinya “Musibah Engkau” menuliskan langsung menukik ke intinya dalam kutipan: Asal ruh dari tanah/ Asal api dari cahaya/ Asal kilat dari arasy/ Baliklah ke pelukan hari/ Seiring datangnya waktu/ Menunggu dijemputnya nyawa/ Bertemu zat yang satu/ Di rumah jiwa sesungguhnya/….// Musibah engkau dari tanah/maka baliklah ke tanah/ Asal engkau dari api/ Maka baliklah ke api/ Asal engkau dari cayaha/ Maka baliklah ke pusat cahaya/ Waktu engkau adalah mukjizat/ Bencana hari menunggu malaikat// (hlm. 34-35).
Sikap religiusitas berhasil dihadirkan Dheni Kurnia dalam menyikapi datangnya musibah bencana. Dalam puisi ini jelas sekali Dheni tak perlu menunjukkan jenis bencana tertentu. Dalam puisinya kematian disikapinya sebagai jalan menuju kekekalan: Ruh engkau balik ke rumah/ Alam engkau tanpa gairah/ Dunia engkau tinggal sejengkal/ jiwa engkau menuju kekal//.
Sikap serupa juga berhasil dihadirkan Salman Yoga S dalam puisinya “Tanah Kopi” berikut ini:
Tanpa menyebut tahun
Seorang penyair mendendangkan Redines
Satu kampung kopi di tanah Gayo
Hilang dari peta gelas ditimbun tanah.
Banjir bandang yang menyapu deru
Tanah mengalir seperti air
Berjalan seperti waktu
Menyapu usia dan benda
Hingga tersisa cerita dari dendangan syair didong
Alun renta Ceh Toet yang melegenda.
Di sini Tuhan juga mengingatkan
Melalui batang pohon yang tumbang
Akar yang merenggang
Dan tanah yang mengurai pilu.
(Hlm. 110)
Selain tiga puisi di atas yang penuh kedalaman makna, dibangun dengan imaji dan metafora serta sublimasi dan kejenernihan bahasa serta menampilkan karakteristik tersendiri, masih banyak puisi yang lain. Di antaranya “Tanah Luka” Andi Jamaludin, “Membaca Sebuah Haru Yogya: 27 Mei 2006” Budhi Setyawan, “Bulan Kabiraan dan Tuhan yang Purnama” Bustan Basir Maras, “Orang-orang Mengais Sisa Kebahagiaan” Isbedy Stiawan ZS, “Surat dari Blang Mancung” L.K. Ara, dan “Konsesi” Toto ST Radik.

Menulis puisi berdasarkan tema tertentu dapat menjebak penulisnya mengabaikan unsur-unsur dalam bangunan puisinya. Karya sastra khususnya puisi merupakan kompleksitas yang tersusun melalui antara lain struktur, tema, dan amanat. Dalam struktur dapat diamati majas, citraan, dan pilihan kata.
Tidak mengherankan pula ada beberapa penyair yang menulis puisi layaknya sebuah reportase ketika melihat adanya peristiwa atau mengalami datangnya musibah bencana. Kesan stereotipe muncul saat membaca puisi, misalnya “Gempa Bantul 2006” karya Ari Basuki dalam kutipan: tiba-tiba bumi berguncang/ terdengar jerit-jerit melengking/ dan tubuh-tubuh bergelimpangan/ gempa hanya berlangsung 57 detik//.
Atau dalam puisi “Banjir Bandang di Jagong Jeget” karya Ibrahim Sembiring Meliala dalam kutipan: banjir bandang di Jagong Jenget/ akibatkan jembatan antardesa terputus/ sungai-sungai tercemar lumpur/ puluhan hektar kebun kopi dan sawah luluh lantak/ sarana dan pipa air bersih hanyut dibawa air/ orang-orang mengungsi ke rumah keluarga dan kerabatnya// (hlm. 59).
Kesan reportase pun muncul apalagi dengan tambahan catatan kaki “Bantul = sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” pada puisi Ari Basuki. “Jagong Jeget adalah Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh” pada puisi Ibrahim Sembiring Meliala.
Sementara Putra Gara dalam puisinya “SMONG” merasa tidak perlu menambahkan catatan kaki meski SMONG adalah salah satu bentuk kearifan lokal dalam mitigasi bencana.
Sebagai penutup saya kutip dua puisi dengan pola penulisan yang nyaris serupa:
Lalu,
Ribuan kubik air mata
Membanjiri hatiku
(hlm. 14)
Maka,
Merapi bagai malaikat pencabut nyawa wajahnya garang
(hlm. 78)
Dalam tata letak perlu sedikit dikritisi bahwa gelar bukan merupakan bagian dalam sistem alfabetis isi buku. Misalnya nama H. Shobir Poer tentunya ada dalam urutan nama “s” dan bukan “h”.
/3/
Kehadiran antologi puisi Negeri Bencana telah memberikan warna baru dalam kesusastraan Indonesia. Melalui puisi-puisi yang terdapat dalam antologi ini kita memahami bahwa persoalanan bencana berdampak besar dan menjadikan keprihatinan serta kewaspadaan bagi kita bersama.
Puisi-puisi dalam antologi puisi ini tidak hanya menuliskan tentang gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan tsunami yang merupakan bencana kebumian disebabkan oleh faktor alam. Ada juga penyair yang menuliskan puisi tentang bencana yang diakibatkan oleh manusia dengan judul “PETI Mati Warisan Nenek Moyang” karya Alhendra Dy: Untuk apa engkau wariskan kepada kami hektaran lahan/ yang telah menjadi bubur/ lebur diporak porandakan/ eskavator dan dinamit, sedang dahulunya adalah/ hamparan sawah dan perkebunan yang menghijau//.
Masyarakat yang berada di daerah pesisir memiliki kearifan lokal yang berbeda dengan masyarakat pedalaman dan pegunungan, seperti yang ditulis Putra Gara dalam puisi SMONG. Sebab lingkungan alamnya berbeda maka pengetahuan tentang mitigasi bencana juga berbeda. Perbedaan-perbedaan itulah yang dapat kita nikmati dalam bentuk puisi di antologi puisi Negeri Bencana. []
Bambang Widiatmoko, penyair, menerima penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek atas dedikasi 40 tahun berkarya dalam bidang kesastraan.
Penulis: Bambang Widiatmoko
Editor: Ayu K. Ardi
-
Ping-balik: Tagar #KaburAjaDulu dan Cermin Kewarganegaraan Dewi Soekarno - Majalahelipsis.id