Benarkah Buku Sastra Susah Laku?
Buku sastra, khususnya puisi, memang sulit laku bukan hanya karena masalah distribusi, tetapi juga karena lemahnya tradisi membaca.
Oleh Muhammad Subhan
MENARIK membaca komentar panjang dari penyair Tan Lioe Ie merespons esai saya berjudul “Festival Sastra untuk Siapa?” (Majalahelipsis.id, 17 September 2025) di kolom komentar laman Facebook pianis dan komponis Ananda Sukarlan. Esai itu terinspirasi dari kritik Ananda Sukarlan yang mengikuti sebuah pertemuan penyair baru-baru ini di Jakarta.
Tan Lioe Ie dengan lugas menyampaikan kenyataan pahit: buku puisi, bahkan yang ditulis penyair besar sekalipun, memang jarang laku. Pengalaman pribadinya di dalam dan luar negeri menunjukkan apresiasi publik terhadap performance puisi kerap meriah, namun tidak berbanding lurus dengan penjualan buku.
Fenomena ini, sebut Tan Lioe Ie, juga terjadi pada nama besar seperti Rendra atau bahkan Pramoedya Ananta Toer. Karya mereka dikenal luas, tetapi seberapa jauh publik benar-benar membeli buku-bukunya?
Ananda Sukarlan pun menimpali komentar Tan Lioe Ie: “Jangan salah ngerti, ya. Bukannya bikin karya seni untuk menyenangkan publik, loh. Karya seninya tetep berkualitas, tapi harus ngerti cara memperkenalkannya ke publik.”
Komentar Ananda ini menekankan perbedaan mendasar: menjaga kualitas adalah keharusan, tetapi strategi memperkenalkan karya kepada publik juga menjadi bagian yang tak kalah penting.
Pertanyaannya: benarkah buku sastra khususnya puisi sulit laku?
Jawaban singkatnya: ya!
Tetapi adalah fakta bukan hanya puisi. Buku jenis apa pun pada era digital sekarang ini menghadapi tantangan dan persoalan yang sama mirisnya. Budaya baca perlahan tergeser oleh budaya visual dan instan. Buku sastra laku sedikit, buku ilmiah pun nasibnya sama. Buku motivasi, agama, atau novel populer barangkali lebih menjanjikan, namun tetap menghadapi badai yang berat.
Di sinilah pentingnya strategi alih wahana. Sastra tidak bisa hanya hidup di ruang buku cetak. Ia perlu diperkenalkan melalui bentuk-bentuk lain: film, teater, musikalisasi, seni pertunjukan lintas disiplin, hingga kanal digital. Dengan begitu, karya sastra bisa merambah lintas segmen masyarakat. Seperti yang ditunjukkan penyair Tan Lioe Ie lewat “puisi pertunjukan”, sastra bisa menemukan jalannya untuk hadir di ruang publik yang lebih luas.
Namun, alih wahana saja juga tidak cukup. Diperlukan strategi marketing yang serius dan kerja bertungkus lumus.
Penerbitan tidak boleh berhenti pada karya cetak lalu pasrah menunggu pembaca datang. Diperlukan keterampilan promosi: membangun branding penulis, memanfaatkan media sosial, menggandeng komunitas, hingga menyesuaikan format buku agar lebih ramah pembaca muda.
Perpustakaan, sekolah, dan festival sastra pun perlu memperluas cara kerja: tidak sekadar menjadi ruang eksklusif para sastrawan, melainkan menjadi ruang bersama di mana publik merasa memiliki.
Festival sastra jangan terjebak hanya menjadi ajang temu para sastrawan. Ia perlu memberi ruang interaksi yang nyata dengan masyarakat luas.
Bayangkan, sebuah festival sastra yang bukan hanya menghadirkan pembacaan puisi, tetapi juga diskusi atau peluncuran buku, ada juga kelas kreatif, pertunjukan musikalisasi puisi, film pendek berbasis cerpen, hingga book market dengan strategi harga terjangkau. Lokasinya juga tidak hanya di hotel, tetapi juga bermukim di rumah-rumah penduduk. Dengan begitu, festival sastra akan tetap diminati dan tidak hanya bergema di lingkaran kecil atau di atas menara gading sastrawan.
Namun, dari paparan panjang Tan Lioe Ie, kita menemukan kenyataan yang lebih kompleks: persoalan buku sastra, khususnya puisi, bukan hanya soal distribusi, strategi marketing, atau alih wahana. Ada jurang yang lebih dalam antara “apresiasi performa” dan “apresiasi teks”. Publik bisa terpukau dengan atraksi seni pertunjukan puisi, bahkan merasa terhibur, tetapi tidak otomatis tertarik untuk membawa pulang teks puisinya dalam bentuk buku. Artinya, yang dikonsumsi bukanlah kualitas karya, melainkan hiburan instan dari performa.
Di titik inilah kritik Tan Lioe Ie menjadi penting: kita tidak bisa sekadar berharap bahwa dengan memperluas panggung, otomatis publik akan mencintai buku. Sebaliknya, kita harus berani bertanya: apakah masyarakat kita memang sudah memiliki tradisi membaca yang kuat? Apakah pendidikan sastra di sekolah benar-benar menumbuhkan kegemaran membaca, bukan sekadar kewajiban menghafal nama pengarang dan judul karya?
Jika jawabannya negatif, maka tak heran sastra tetap berputar dalam lingkaran sempit, sementara performa yang dikemas meriah lebih mudah diterima.
Tan Lioe Ie juga mengingatkan bahwa bahkan nama besar seperti Rendra atau Pramoedya tidak otomatis laris bukunya di pasaran. Ini memperlihatkan satu hal mendasar: popularitas seorang sastrawan di ruang publik tidak selalu berbanding lurus dengan kultur pembacaan. Masyarakat bisa tahu nama, bisa mengenali wajah, bahkan pernah menyaksikan performanya, tetapi tidak merasa perlu membaca karyanya.
Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya posisi buku di hadapan budaya populer yang lebih visual, lebih cepat, dan lebih menghibur.
Di sisi lain, pernyataan Tan Lioe Ie tentang “realistis dan tidak hanyut dalam mimpi ideal” layak didiskusikan. Memang benar, kita harus realistis melihat kondisi minimnya pembaca sastra, tetapi jika berhenti pada realisme semata, sastra bisa kehilangan fungsinya sebagai penggerak imajinasi, harapan, dan perubahan. Alih-alih menyerah pada kenyataan bahwa buku puisi tidak laku, kita justru perlu menjadikan kenyataan itu sebagai pemantik untuk membangun ekosistem literasi yang lebih sehat: dari pendidikan, komunitas, hingga dukungan negara terhadap perbukuan.
Dengan kata lain, pengalaman pahit yang dibagikan Tan Lioe Ie bukan alasan untuk pesimis, melainkan cermin agar kita jujur pada problem nyata bahwa sastra tidak cukup hanya hadir di panggung, tidak cukup hanya menunggu di rak toko buku, dan tidak cukup hanya mengandalkan nama besar. Sastra harus bergerak menjemput pembacanya—baik melalui pendidikan, media digital, maupun inovasi distribusi.
Tanpa itu, buku sastra akan tetap menjadi gaung kecil yang hanya didengar segelintir orang, betapapun meriah performanya di panggung.
Kenyataan bahwa buku puisi sulit laku seharusnya juga tidak membuat penulis patah arang. Justru di situlah tantangan yang harus dijawab: bagaimana menjaga kualitas karya sambil mencari jalan-jalan kreatif agar karya itu sampai ke publik.
Buku cetak mungkin tidak lagi menjadi satu-satunya medium utama, tetapi ia tetap bernilai dan harus dipertahankan dengan strategi distribusi yang relevan dengan zaman.
Maka, saya sepakat atas komentar Ananda Sukarlan: karya sastra tetap harus berkualitas, tetapi kuncinya ada pada cara memperkenalkannya.
Di tengah derasnya arus digital, sastra tidak boleh menjadi eksklusif, tidak boleh hanya “seni untuk seni”, melainkan juga harus berani masuk ke ruang-ruang publik dengan bahasa yang lebih ramah tanpa kehilangan kedalaman.
Buku sastra sulit laku jika hanya dibiarkan berjalan sendiri, tetapi jika disokong oleh kreativitas alih wahana, strategi marketing yang kreatif, dan festival yang benar-benar merangkul publik, buku sastra masih punya harapan untuk bertahan.
Sastra tidak seharusnya terkurung di menara gading, jauh dari denyut kehidupan sehari-hari. Ia mesti hadir sebagai detak yang nyata dalam nadi masyarakat, menyapa dan menyentuh, bukan hanya segelintir kalangan. Sebab yang kita saksikan hari ini, terutama di kalangan generasi muda, sastrawan kian asing, seolah nama dan karya mereka tak lagi dikenali. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah











