Beban Berat Bunda Literasi

Bunda Literasi bukan sekadar gelar, tapi amanah besar yang harus dijalankan dengan visi, aksi, dan keteladanan.

Oleh Muhammad Subhan

Esai saya tentang “Bunda Literasi” mendapat banyak komentar. Dua di antaranya paling menarik, yaitu dari Tokoh Literasi Makassar yang juga penerima Penghargaan Tertinggi Nugra Jasadharma Pustaloka Perpustakaan Nasional RI, Bachtiar Adnan Kusuma, serta wartawan senior Sumatera Barat, Firdaus Abie.

Dua komentar dari tokoh ini memantik ketertarikan saya untuk menulis respons, sebagai bentuk menghidupkan ruang diskusi, agar gagasan tak terputus dan berkemungkinan berkembang dalam dialektika lain yang lebih menarik. Tujuan utamanya tak lain: bagaimana gerakan literasi tidak sekadar menjadi keriuhan instan, tetapi benar-benar berdampak.

Saya kutip komentar Bachtiar Adnan Kusuma yang ditulis di grup WhatsApp Forum Nasional Penggerak Perpustakaan. Saya salin secara utuh sebagai berikut:

“Bunda Literasi tak sekadar ke TBM, Bunda Literasi wajib ke komunitas baca, komunitas literasi, komunitas PAUD, perpustakaan desa dan kelurahan, serta perpustakaan berbasis masyarakat.

Bunda Literasi juga wajib ke satuan PAUD, satuan pendidikan dasar SD dan SMP.

Bunda Literasi, sebelum mengajak hobi literasi, terlebih dahulu dirinya harus hobi literasi. Biar tak sekadar pseudo-literasi.

Masalahnya, kita terjebak panggung formal. Membentuk Bunda Literasi, tapi mereka tidak tahu mau apa dan ke mana. Karena itu perlunya satuan gerak dan langkah, ‘grand design’ aksi Bunda Literasi secara kolosal. Perlu ada petunjuk teknis, biar mereka tidak bingung: mau ke mana dan untuk apa?

Saya telah membuat Grand Design Bunda Baca Maros sebelum dikukuhkan 10 Januari 2022 dan dipresentasikan di depan para kepala OPD, camat, lurah, kepala desa, bupati, serta DPRD. Supaya mereka tahu visi dan misi Bunda Literasi.

Tapi kata kuncinya: Bunda Literasi butuh tim pendamping—sebagai tim yang memberikan arah dan petunjuk. Sebaiknya, profil Bunda Literasi juga harus ideal. Jangan-jangan mereka menilai atribut Bunda Literasi hanya sebagai jabatan formal, padahal itu status tak absolut yang melekat karena posisi sebagai istri pejabat.

Bunda Literasi bukan jabatan, melainkan status nonformal yang diharapkan bisa digugu, dicontoh, dan diikuti masyarakat.”

Komentar Kanda Bachtiar Adnan Kusuma ini menarik. “Menampar” sekaligus menyemangati. Kita memang kerap terjebak pada seremoni. Selempang Bunda Literasi dikenakan dengan penuh hormat, disaksikan para pejabat, tapi setelah lampu sorot padam, panggung menjadi sunyi, gerakan tak jelas ke mana.

Ajakan saya kepada Bunda Literasi yang baru dilantik agar datang ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) bukanlah satu-satunya program, melainkan salah satu langkah awal. Mudah-mudahan, setelah membangun gerakan bersama dengan para pegiat taman bacaan, semangat Bunda Literasi kian tumbuh. Kemudian, Bunda kita ini beranjak ke kantong-kantong literasi lainnya: komunitas baca, PAUD, sekolah dasar, hingga perpustakaan-perpustakaan kecil yang kerap nyaris mati suri di sudut kampung dan kota. Tentu, ada denyut literasi yang butuh disentuh oleh tangan seorang Bunda Literasi yang bukan hanya datang berkunjung, tapi juga menyalakan keteladanan.

Namun, kita juga perlu jujur: banyak Bunda Literasi yang dilantik tidak dibekali visi kerja yang jelas. Mereka bingung harus mulai dari mana, padahal panggungnya begitu luas. ‘Grand design’ penting, tetapi bagaimana dengan gerakan nyata sehari-hari? Jangan sampai ‘grand design’ hanya menjadi laporan indah di rak kantor, sementara buku-buku di pelosok tak pernah disentuh pembacanya, dan Bunda Literasi tak pernah “turun gunung”.

Saya sangat mendukung gagasan perlunya tim pendamping. Tapi tim ini harus diisi oleh orang-orang yang benar-benar paham lapangan, mengerti literasi, bukan sekadar tim pujian, sorak sorai di bawah gemerlap kamera, atau tim swafoto sehabis acara. Mereka harus berani menuntun, bahkan mengingatkan secara kritis jika Bunda Literasi mulai kehilangan arah.

Satu hal yang juga sering luput adalah soal keteladanan. Seperti yang dikatakan Kanda Bachtiar: Bunda Literasi harus lebih dulu menumbuhkan kebiasaan membaca dalam dirinya. Jangan sampai status Bunda Literasi hanya menjadi tempelan simbolik karena posisi sebagai istri pejabat. Tanpa teladan, gelar Bunda Literasi akan redup bersama berakhirnya masa jabatan.

Kita pun harus berani bertanya: sudahkah kita membuka ruang evaluasi? Sudahkah ada keberanian menilai apakah program Bunda Literasi benar-benar berdampak, atau hanya memperindah laporan? Jangan-jangan masyarakat pun hanya melihatnya sekilas di baliho atau media, tanpa merasakan kehadiran nyata.

Saya sejalan dengan pikiran Kanda Bachtiar: literasi tak butuh panggung semu. Literasi butuh tangan-tangan yang rela kotor menyusuri lorong kampung, menghidupkan buku di rumah warga, dan menularkan cinta baca dari hati. Kalau Bunda Literasi sanggup melakukan itu, maka statusnya tak sekadar selempang, tetapi benar-benar menjadi suluh penerang yang menghidupkan harapan masa depan.

Saya kutip pula komentar wartawan senior Sumatera Barat, Firdaus Abie, yang membagikan pesannya di halaman fanspage saya. Komentar itu saya tulis utuh juga di sini:

“Bunda Literasi sudah berat di beban. Bukan beban buku yang bertumpuk. Bukan beban berapa buku yang harus dibaca. Bunda Literasi adalah ‘beban yang ditonggokkan’ kepada istri kepala daerah dengan segudang harapan dan impian, sementara beliau juga punya segudang beban lain. Menjadi pemimpin atau jadi ketua berbagai organisasi wanita di daerah yang dipimpin suaminya. Kalau saja mereka terlibat dalam 8 organisasi (mungkin jauh lebih banyak dari itu), maka tak cukup waktu dalam sepekan, menyilau agak sekali. Tapi begitulah… Begitulah…”

Sebagai wartawan, komentar Firdaus Abie sangat jujur. Membuka mata kita tentang apa yang sering luput dilihat: bahwa selempang “Bunda Literasi” memang bukan hanya simbol, tetapi tumpukan beban yang kerap tak terbaca oleh mata publik. Beban itu bukan sekadar soal angka buku, tapi beban moril—dan politis—yang menempel di pundak istri kepala daerah, di antara tanggung jawab domestik, publik, dan simbolik lainnya.

Namun, di sinilah letak persoalan yang lebih dalam. Jika jabatan “Bunda Literasi” hanya dijadikan gelar tempelan, maka sesungguhnya yang kita rawat bukan literasi, melainkan seremoni. Apa yang kita dapat dari pelantikan Bunda Literasi, jika setelah itu ia justru sibuk dalam banyak organisasi tanpa arah gerak yang terukur?

Kita sering memuja gelar, melupakan kerja substansial. Momen pelantikan Bunda Literasi selalu ramai dengan pidato, baliho, karangan bunga, foto-foto cantik dengan selempang. Tapi bagaimana dampaknya? Apakah taman bacaan makin banyak tumbuh? Apakah pustaka desa makin hidup? Apakah anak-anak di sudut kampung mendapat buku bacaan bermutu? Apakah kantong-kantong literasi benar-benar dikunjungi? Atau semua berhenti di tepuk tangan seremoni belaka?

Memang, istri kepala daerah tak mungkin mengurus semua sendiri. Tapi di sinilah letak tantangan sekaligus peluang. Bunda Literasi harus cerdas membagi peran, merangkul orang-orang yang mau bekerja dalam senyap, membina komunitas baca, mendukung TBM yang selama ini berjalan sendiri dengan biaya sendiri. Ia butuh tim kerja sungguh-sungguh, bukan sekadar barisan tukang rapat dan pencatat absen.

Beban Bunda Literasi seharusnya disusun agar membumi: menyentuh pustakawan, pegiat baca, guru-guru PAUD, hingga orang tua di rumah. Di banyak tempat, saya melihat Bunda Literasi yang sungguh bekerja—meski waktu mereka terbatas, mereka hadir di taman bacaan, mendengar persoalan pegiat, memfasilitasi buku, dan membuka akses lintas sektor.

Kalau memang jabatan ini hanya jadi beban seremonial, kita harus berani jujur: rombak mekanismenya. Tak harus istri kepala daerah yang jadi Bunda Literasi, kalau ia tak punya ruang gerak. Mengapa tidak dialihkan ke orang-orang yang punya ‘passion’ literasi? Ke aktivis, guru senior, atau pustakawan teladan? Kenapa gelar harus melekat di istri pejabat, jika dampaknya justru membebani dan tak produktif?

Ini waktunya kita mengoreksi arah. Bunda Literasi harus menjadi simpul penggerak, bukan beban tambahan. Ia harus jadi inspirasi, bukan pajangan. Ia harus berjejaring dengan orang-orang yang mau berjuang di lapangan. Beban berat bisa dipikul bersama kalau bahu yang menopang banyak dan tulus.

Maka, PR kita bersama bukan menumpuk harapan di pundak Bunda Literasi, tapi membangun ekosistem literasi yang nyata. Kita butuh lebih banyak “Ibu” yang merawat gerakan ini, menanam minat baca di rumah, di surau, di pos ronda, di pelosok kampung. Dan “Ibu” ini bukan soal gelar, tapi soal hati, waktu, dan keberanian menghidupkan cahaya di tengah gelapnya minat baca. Begitulah seharusnya. Begitulah harapnya. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan