Oleh Ilhamdi Sulaiman

“Biar rumah gadang runtuh, jangan hati yang ikut lebur,” kata Uwo Kardi suatu sore. Ia tuangkan kopi hitam ke dalam gelas kaca kecil, menguap tipis seperti kenangan yang pelan-pelan menghilang di langit Padang.

Pak Abu masih datang ke Taman Budaya, meski tak ada lagi yang bisa disebut “taman” dan “budaya” di sana. Panggung terbuka seperti kerangka kapal karam, dan studio tari seperti mulut gua yang dibiarkan terbuka: gelap, beraroma lembap dan kehilangan.

Ia berjalan perlahan di bagunan terbengkalai proyek gedung kesenian Taman Budaya. Dulu, kakinya menari randai di situ, bersama Eri Mefri dan alunan saluang yang dipetik tangan Hasan Nawi. Kini, yang tersisa cuma denting dedaunan kering dan suara cengkerik. Tembok panggung berlumut, dipenuhi coretan anak muda dengan berbagai kata-kata cinta dan kalimat kalimat jorok untuk lawan jenisnya.

Taman Budaya sepi. Gedung-gedung retak dari gempa tahun 2000 masih dibiarkan begitu, meski sudah dua dekade lebih berlalu. Yang dibangun adalah hotel rencananya, bukan panggung. Yang diselamatkan adalah laporan, bukan ingatan.

Tapi seni di Padang tak pernah benar-benar mati. Ia cuma pindah tempat. Seperti roh, ia merasuki ruang-ruang lain. Dan salah satu tempatnya adalah Lapau Uwo Kardi.

Setiap sore, selepas Asar, para seniman berkumpul di sana. Di bawah pohon jambu air yang engangan pula berbuah pelepas dahaga. Lapau itu menjadi tempat bertemunya kepala-kepala yang penuh ide dan dada-dada yang sesak karena janji-janji kosong pemangku kuasa.

“Apo kabar, Pak Abu?” ” ” tanya Hasan, menyulut rokok linting memberian si Jefri.

“Masih suka datang ke taman?”

“Masih,” jawab Pak Abu, tersenyum pahit. “Tempat itu tak berubah. Tapi kita yang makin tua.”

Di meja lain, Rizal Tanjung berdiskusi hangat dengan Armen Camuk tentang bentuk baru teater rakyat. “Kita butuh panggung rakyat, bukan panggung proyek,” kata Rizal, sambil tangannya menorehkan sketsa di tisu lapau.

Jhon si pelukis duduk tak jauh, menyusun lukisan kecil di kertas rokok, sementara Zamzami membacakan puisi tentang kota yang lupa pada asalnya. Yeyen Kiram, yang kini lebih banyak berkutat dengan kegiatan sosialnya hanya tertawa kecil.

“Kalau gedung tak dibangun lagi, jangan pula hati ikut rubuh,” ucap Eri Mefri, sambil menyeruput kopi.

Obrolan mereka seperti musik yang hanya mereka pahami nadanya. Lapau itu bukan sekadar tempat minum kopi, tapi satu-satunya panggung yang masih mereka miliki. Di sanalah kritik tajam dilontarkan, puisi dibacakan, dan cita-cita terus dihidupkan meski tak ada yang mendanai, apalagi mendengar.

Suatu hari, seorang jurnalis dari Padang Panjang datang. Muhammad Subhan namanya, kurus dan penuh semangat. Ia ingin membuat dokumenter tentang ruang seni yang ditinggalkan. Ia datang ke Taman Budaya, bertemu Syarifudin dan beberapa lainnya di Lapau Uwo Kardi.

“Kenapa tempat sebesar Taman Budaya dibiarkan rusak begitu saja?” tanyanya polos.

Yeyen Kiram tertawa pahit. “Karena pemerintah kita hanya mencintai seni saat akan dipilih.”

“Karena batu itu tak pernah jadi patung,” tambah Armen.

“Batu?” tanya Subhan.

“Ya. Kita ini batu. Tapi mereka tak pernah mau memahat. Hanya meletakkan, lalu pergi. Kalau sempat bikin foto, baru dipoles sedikit untuk Instagram.”

Dengan gawainya Subhan merekam.

“Tapi seniman-seniman di situ tak peduli kamera. Mereka bicara pada sesama, bukan pada dunia. Dunia seringnya hanya menonton dari jauh, lalu memberi likes dan lupa.” Pak I Tamsin yang sedari tadi diam ikut pula bersuara.

Beberapa minggu kemudian, Eri Mefri dan teman-teman lapau membuat pentas kecil di Taman Budaya. Mereka menamakan kegiatan tersebut dengan FORUM PERJUANGAN SENIMAN Sumatra Barat tanpa izin resmi. Tanpa panggung yang layak. Hanya penerang dan peralatan panggung sederhana di depan Gerbang Masuk Taman Budaya.

Rizal membaca puisi. KPJ memainkan gitar dan gendang dari kaleng bekas. Eri menari di antara tiang-tiang runtuh. Yeyen dan Pudin menyanyikan lagu tua randai. Tak ada yang menonton kecuali mereka sendiri dan beberapa anak muda yang kebetulan lewat.

Tapi gema suara mereka merambat. Lewat rekaman Mas Bambang, video itu viral. Bukan karena bagus, tapi karena jujur.

Keesokan harinya, seorang pejabat budaya menghubungi Pudin.

“Bisa kita diskusi? Pemerintah provinsi tertarik revitalisasi taman itu….”

Tapi Pudin tertawa pelan. “Kami sudah terlalu sering jadi proposal. Biar sekarang, kami jadi akar. Tak butuh dipuji, asal tumbuh. Segala beras yang ada kami masak jadi nasi untuk tuan-tuan makan, tapi ya, jangan keenakanlah, mentang mentang kami tanakkan.”

Tahun ke tahun, Lapau Uwo Kardi malah makin ramai. Bukan hanya seniman, tapi mahasiswa, jurnalis, bahkan tukang ojek yang iseng ikut diskusi.

Di dinding lapau, Zamzami menggantung puisi pendek, “…Gedung bisa roboh, tapi lidah tak bisa dibungkam. Panggung bisa hilang, tapi cerita akan selalu mencari tempat untuk dikabarkan.”

Uwo Kardi hanya geleng kepala tiap malam. Tapi di balik wajah tuanya, ia menyimpan bangga.

“Barangkali lapau inilah taman budaya yang sebenarnya,” kata Syarifudin pada Subhan.

Dan Subhan mengangguk, menulis pelan di bukunya:

Di kota yang melupakan rumah seninya sendiri,
ada satu lapau yang lebih jujur dari bangunan megah.
Tempat para batu hidup dan tetap bicara meski tak jadi patung karena gempa melanda.

(*)

Catatan penutup:

Cerpen ini terinspirasi oleh kenyataan pahit: Taman Budaya Sumatera Barat yang sejak gempa 2009 tak pernah benar-benar pulih, dibiarkan terbengkalai di tengah geliat pembangunan kota. Namun dalam reruntuhan itu, semangat seni tetap menyala—di lapau, di puisi, di tarian, di kepala-kepala keras para seniman Minang yang enggan tunduk. Mereka tak butuh tepuk tangan, hanya ruang untuk jujur.

Ilhamdi Sulaiman, seniman/budayawan, menetap di Jakarta.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Ilhamdi Sulaiman

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan