Oleh Yuditeha

ADRIAN memandang langit malam dari jendela laboratorium Institut Astronomi Eropa. Cahaya bintang yang berjuta-juta tahun melintasi ruang dan waktu berkilauan dalam keheningan yang sunyi. Di tangannya, secangkir kopi mulai dingin, namun pikirannya terlalu sibuk untuk peduli.

“Kamu terlalu lama menatap bintang, Adrian. Bisa-bisa kita melewatkan hal penting di sini,” tegur Nadine sambil tersenyum tipis. Nadine adalah astrofisikawan senior dari Jerman, terkenal dengan ketepatan perhitungannya. Baginya, mengukur umur galaksi melalui isotop tertentu—seperti uranium dan thorium—di Bima Sakti, adalah pendekatan paling akurat yang tersedia.

Adrian memutar bola mata, berpaling untuk menatap Nadine. “Aku tidak bilang metodenya buruk, tapi data baru ini.” Ia melirik ke layar komputer di sebelahnya, deretan angka dan grafik yang hampir membuatnya pusing. “Bintang-bintang tertua yang kita ukur menunjukkan usia yang lebih muda dari yang dihitung dengan isotop.”

Di sudut lain ruangan, seseorang memperhatikan percakapan mereka dengan tatapan penuh minat. Dr. Elara Tannhauser, seorang fisikawan teoretis terkenal yang baru bergabung dalam proyek mereka, terlihat memegang clipboard, sesekali mencatat sesuatu. Senyuman halusnya nyaris tak terbaca.

“Oh, teknik isotop selalu diperdebatkan.” Elara menyela, dengan suaranya yang lembut namun penuh makna. “Tapi aku pikir kalian berdua terlalu berfokus pada data yang mungkin bukan bagian dari gambaran besar.” Ia menatap Adrian dengan pandangan penuh keyakinan, seperti sedang menyimpan ide yang tak terkatakan.

Adrian tersenyum sopan. “Kami hanya ingin tahu yang terbaik, Elara. Sains itu bukan sekadar angka, tapi menemukan cara untuk memahami dunia ini.”

Elara hanya mengangguk samar. Memahami bukan lagi tujuannya. Ia menginginkan kekuatan untuk mengendalikan alam semesta.

Selama beberapa minggu berikutnya, ketiga ilmuwan tersebut bekerja keras, berusaha memahami perbedaan antara teknik isotop dan pengukuran bintang. Adrian bersikeras bahwa bintang tertua lebih relevan, sementara Nadine tetap pada keyakinannya bahwa isotop di Bima Sakti memberi perkiraan usia alam semesta yang lebih akurat. Elara, sementara itu, tetap memperhatikan dengan saksama, diam-diam mencatat setiap perdebatan dan perkembangan yang terjadi.

Di tengah perdebatan itu, data baru tiba dari teleskop ruang angkasa Hubble. Data tersebut menunjukkan hasil mengejutkan, menurut teknik isotop, alam semesta berusia sekitar 14,5 miliar tahun. Namun, beberapa bintang tertua yang Adrian teliti menunjukkan usia sekitar 11,5 miliar tahun, angka yang jauh lebih muda.

“Jika ini benar, maka ada sesuatu yang kita lewatkan. Sesuatu yang tidak kita pahami,” bisik Nadine, wajahnya muram.

Adrian menatap layar dengan kebingungan yang mulai berubah menjadi kekaguman. “Mungkin kita sedang mengukur sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita duga.”

Elara memperhatikan percakapan itu dengan minat tersembunyi. Di balik senyumannya, sebuah rencana mulai terbentuk. Malam itu, ketika Adrian dan Nadine pergi untuk istirahat, Elara kembali ke laboratorium dan menyalakan komputer mereka. Dia dengan cepat menyalin data ke dalam flash drive, lalu mengaktifkan program yang ia ciptakan sendiri, algoritma rahasia yang ia beri nama Entropi Absolut. Algoritma itu dapat menciptakan keretakan pada konstanta alam semesta, yang jika diaplikasikan pada skala besar, mampu mempercepat proses entropi hingga mencapai kehancuran total.

Sambil menunggu data selesai diunduh, Elara teringat mengapa ia memutuskan untuk melakukan ini. Dalam pandangannya, alam semesta adalah sebuah kesalahan kosmik. Sebagai fisikawan yang terlalu sering menyaksikan kekacauan yang tak terelakkan, ia percaya bahwa alam semesta seharusnya dihancurkan lebih cepat dari siklus alami. Ia telah menunggu waktu yang tepat, dan data Adrian serta Nadine menjadi kepingan terakhir dari rencana gilanya. Setelah semua data berhasil diunduh, Elara pergi tanpa meninggalkan jejak.

Esok harinya, Nadine dan Adrian menemukan perubahan aneh pada data mereka. Ada hasil perhitungan yang tidak mereka masukkan. Nadine mulai menelusuri perubahan itu dan segera menyadari adanya jejak kode asing dalam sistem. Saat itulah mereka sadar bahwa seseorang telah mencoba meretas program mereka dan mencuri data. “Ini tidak mungkin terjadi begitu saja,” ujar Adrian, wajahnya tegang.

“Kita harus cari tahu siapa yang melakukannya. Data ini terlalu penting dan berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah,” tambah Nadine.

Beberapa jam kemudian, mereka menemukan bukti yang mengarah ke satu orang: Dr. Elara Tannhauser. Nadine dan Adrian terkejut, sulit percaya bahwa kolega mereka sendiri memiliki niat tersembunyi. Mereka memutuskan untuk menghadapi Elara.

Ketika mereka menemui Elara di ruangannya, ia hanya tertawa pelan, wajahnya tenang dan angkuh. “Ah, kalian akhirnya menyadari juga, ya?”

“Kenapa kau lakukan ini, Elara?” tanya Nadine dengan nada dingin.

Elara tersenyum tipis. “Kalian berdua terlalu sentimental tentang alam semesta ini. Alam semesta ini penuh dengan kekacauan dan penderitaan, dan aku hanya ingin mempercepat kehancurannya, memberi akhir yang pantas.”

“Kau ingin menghancurkan alam semesta?” Adrian menatap Elara dengan wajah tak percaya.

Elara menatap mereka dengan dingin, seperti sedang berbicara dengan anak kecil yang naif. “Alam semesta ini seharusnya tidak ada sejak awal. Kalian tidak melihatnya, tapi data yang kalian miliki sudah cukup untuk membuka jalan. Dengan algoritma yang sudah aku sisipkan dalam data kalian, aku bisa menciptakan ketidakseimbangan kosmik. Entropi yang tak terbendung.”

Nadine menggigil mendengar kata-kata Elara. “Apa kau tahu apa yang kau katakan? Itu gila!”

“Tidak,” jawab Elara, suaranya bergetar penuh keyakinan. “Ini takdir.”

Adrian dan Nadine segera menghubungi pihak keamanan dan membatalkan akses Elara ke sistem. Namun, kerusakan sudah terjadi. Algoritma Entropi Absolut yang Elara sisipkan dalam data mereka telah tertanam di sistem utama, siap aktif dalam beberapa jam.

Adrian dan Nadine bekerja dengan panik, berusaha menonaktifkan program tersebut. Namun, algoritma Elara sudah mengunci banyak sistem inti mereka, membuatnya sulit untuk dihapus. Waktu terus berjalan, dan jika mereka gagal menghentikannya, proses entropi buatan itu akan memulai serangkaian kehancuran dalam skala yang sulit dibayangkan.

“Aku akan memutus jaringan utama,” ujar Adrian, tangannya gemetar. “Kita bisa memotong sistem dari sumber data agar algoritma tidak menginfeksi lebih jauh.”

Nadine mengangguk, berusaha keras menjaga ketenangan. Mereka menyusun rencana darurat, berusaha meretas kembali kode Elara untuk mencegah malapetaka. Dalam keheningan yang menegangkan, mereka bekerja bersama, mencoba mengalahkan hitungan mundur yang ada di layar.

Satu jam kemudian, dengan peluh dan kepanikan yang terpancar di wajah keduanya, mereka akhirnya berhasil menonaktifkan algoritma. Mereka menarik napas lega, namun ketakutan akan keinginan gelap Elara masih menghantui mereka.

Saat mereka bersiap untuk mengunci semua file dan pergi, notifikasi baru muncul di layar: “Indikasi bahwa data ini belum lengkap. Apakah perhitungan umur alam semesta lebih dari 20 miliar tahun?” Kode Elara masih menyisakan jejak, membuka data yang menyiratkan usia alam semesta yang bahkan lebih tua dari perkiraan awal mereka.

Nadine menggeleng pelan, seolah tak percaya pada apa yang ia lihat. “Jadi, ini adalah alasan Elara ingin menghancurkan segalanya? Untuk apa?”

Adrian tersenyum masam. “Mungkin ia hanya ingin menjadi penguasa bagi misteri ini. Atau, mungkin alam semesta terlalu besar untuk kita pahami sepenuhnya.”

Di luar ruangan, Elara diamankan oleh petugas keamanan. Ia tersenyum, seolah tak menyesali tindakannya. “Kalian bisa menutup kunci hari ini,” ucapnya sebelum dibawa pergi, “tapi alam semesta akan hancur dengan atau tanpa bantuanku. Aku hanya mencoba mempercepat apa yang tak terelakkan.”

Nadine dan Adrian saling berpandangan, akhirnya menyadari bahwa mungkin benar, di tengah bintang-bintang yang berkelip, manusia hanya berperan sebagai saksi, menyaksikan rahasia alam semesta yang tetap tersembunyi.

Di bawah bintang yang bersinar tenang, Adrian dan Nadine akhirnya menyadari bahwa di balik ilmu pengetahuan selalu ada tanggung jawab besar. Adrian bilang, bahwa sains tidak hanya membawa pengetahuan, tapi juga mengharuskan mereka untuk menjaga keseimbangan dunia. Nadine menyepakati pendapat Ardian sembari menambahkan, meski begitu alam semesta bukan sesuatu yang perlu dihancurkan lebih awal. []

Yuditeha, penulis yang tinggal di Karanganyar. IG: @yuditeha2

Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Yuditeha

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan