Baper
Menulis itu seni bertahan. Seorang penulis harus setangguh baja. Tidak sensitif atau mudah tersinggung.

Oleh Muhammad Subhan
BAPER. Kata ini masuk KBBI, artinya ‘berlebihan atau terlalu sensitif dalam menanggapi suatu hal’.
Akronim ini merupakan kependekan dari (ter)bawa perasaan. Disingkat baper. Sederhana. Tapi dampaknya bisa luar biasa.
Baper sering dihubungkan dengan anak muda. Orang dewasa juga bisa baper. Bahkan, penulis yang sudah bertahun-tahun berkarya pun bisa terkena sindrom ini.
Naskah ditolak media, langsung baper. Komentar pedas dari editor, hati remuk. Kritikan pembaca, dunia terasa runtuh.
Padahal, menulis itu seni bertahan.
Seorang penulis harus setangguh baja. Harus siap ditolak berkali-kali. Harus siap direvisi tanpa henti.
Dan, harus siap dikritik tanpa ampun. Jika tidak, lebih baik berhenti menulis.
Media punya standar. Tidak semua naskah cocok. Bisa jadi kurang menarik. Bisa jadi tidak relevan.
Bisa juga memang sedang tidak ada “slot”. Atau terindikasi AI. Terindikasi, bukan tentu benar. Juga, itu bukan serangan pribadi. Bukan penghinaan. Hanya proses seleksi.
Penulis yang baper cenderung mencari alasan.
“Editor tidak paham karyaku.”
“Media itu pilih kasih.”
“Pembaca zaman sekarang seleranya buruk.”
“Redaktur media itu goblok!”
Semua tumpah ruah. Serbasalah. Di matanya, semua tampak jahat. Padahal, bisa jadi karyanya sendiri yang belum cukup baik. Atau memang tidak menarik.
Penulis sejati tidak mudah baper. Ia menulis, menulis, dan terus menulis.
Ia memperbaiki naskah, bukan meratapi nasib.
Ia mencari peluang lain, bukan menyalahkan keadaan. Ia belajar dari kritik, bukan menolak kenyataan.
Baper adalah musuh kreativitas. Baper membuat tulisan terhenti di tengah jalan.
Baper membuat pena terasa berat. Baper membuat ide-ide hebat mati sebelum sempat berkembang.
Sungguh, sayang sekali.
Seorang penulis legendaris pernah ditolak ratusan kali sebelum akhirnya sukses. Tapi ia tidak baper. Ia tetap menulis. Kini, bukunya laris di seluruh dunia. Tidak usah disebut nama, nanti promosi gratis. Harus bayar. Iklan.
Tapi melihat para penulis besar itu, tak salah. Mereka menulis karena cinta, bukan sekadar ingin dipuji.
Mereka menulis karena tidak bisa berhenti, bukan karena ingin terkenal.
Mereka menerima kritik dengan dada lapang, lalu menajamkan pena lebih dalam.
Tak ada yang benar-benar gagal dalam menulis, kecuali mereka yang berhenti.
Seorang editor bukan musuh. Ia justru sahabat yang ingin karya lebih baik.
Pembaca yang kritis bukan lawan. Mereka adalah cermin kejujuran bagi penulis.
Jika semua pujian, kapan ada ruang untuk tumbuh?
Jadi, mau jadi penulis? Jangan baper!
Mau naskah dimuat? Jangan baper!
Mau sukses? Jangan baper!
Tapi jika tetap ingin baper, pastikan satu hal: Jangan baper saat membaca esai ini.
Sebab, kalau masih baper, mungkin menulis bukan jalan hidup Anda. Atau mungkin, sebenarnya, Anda hanya ingin mengeluh, bukan menulis. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi diolah tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah