Oleh Heru Patria

BANJIR besar yang menenggelamkan Kota Jakarta selama sepekan ini benar-benar membuat seluruh kawasan ibu kota menjadi lumpuh di segala lini. Roda kehidupan yang biasanya ramai dipenuhi oleh hiruk pikuk lautan manusia, kini menjadi senyap. Roda ekonomi yang biasanya berputar dengan cepat, terpaksa harus berhenti dan diam di tempat. Lalu-lalang kendaraan yang biasanya padat sudah tak lagi terlihat.

Kesibukan aktivitas kerja warga kota yang biasanya terlihat seperti tak pernah istirahat, sontak diam diempas gelombang banjir yang dahsyat! Dan, gelombang dunia politik yang biasanya panas dan penuh intrik saat ini sirep. Ikut hanyut terseret air yang mengamuk.

Di setiap sudut kota yang terlihat hanyalah jerit tangis dan keluh kesah para pengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan harta bendanya, lantaran tak sanggup menahan amukan kekuatan alam. Barangkali ini memang bencana ekologi yang timbul sebagai akibat tidak adanya sinergi yang harmonis antara alam dan manusia. Di mana bantaran sungai yang seharusnya jadi jalan bagi kelancaran arus air, didesak oleh pendirian rumah-rumah liar. Sehingga, sungai jadi sempit dan terbatas ruang geraknya. Hal itu masih diperparah lagi dengan tidak adanya kesadaran warga Jakarta terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan, dengan seenaknya mereka membuang sampah sembarangan.

Akibatnya, got dan gorong-gorong tersumbat. Sungai yang seharusnya mengalirkan air, justru dipenuhi oleh tumpukan sampah yang berbau anyir. Jadi, bukan salah sungai kalau akhirnya meluap ketika debit air meninggi karena memang sepanjang bantaran sungai dipenuhi rumah berpetak-petak.

Daerah bantaran sungai serta ruang taman hijau yang berfungi sebagai tempat resapan air dan daerah penahan hujan, kini berganti dengan bangunan bertingkat. Tiang pancang dan beton-beton besi ditancapkan. Dengan alasan demi mengikuti kemajuan zaman, pepohonan hijau habis ditebang, dipakai untuk mendirikan mall, tempat hiburan, dan gedung perkantoran bertingkat. Air dan sampah seolah berlomba memenuhi setiap jengkal aliran sungai. Lalat-lalat hijau dengan kaki penuh kotoran dan bangkai, terbang ke sana kemari, menikmati kebebasan untuk menularkan berbagai macam penyakit bagi warga kota.

Semula, banyak juga warga kota yang tak mau mengungsi, bahkan ada yang menolak untuk dievakuasi. Namun, setelah beberapa hari banjir ternyata tak surut juga dan intensitas hujan pun masih tergolong tinggi, akhirnya warga pun mulai sadar diri. Mereka mulai berbondong-bondong menempati posko-posko pengungsian yang telah disiapkan.

Semua pihak bahu-membahu bekerja sama, mengatasi segala permasalahan yang muncul di area pengungsian. Mulai masalah makan, pakaian, sarana kesehatan, bahkan sampai soal kenyamanan. Saking banyaknya populasi pengungsi, segala tempat pun akhirnya ditempati. Mulai dari gedung sekolah, halte, rel kereta api, jalan tol, dan semua tempat yang tidak terjangkau banjir.

Sementara itu, di bawah tempat yang dipakai berteduh oleh para pengungsi, tepatnya di sebuah pipa saluran air, seekor Tikus Got sedang bersembunyi. Setelah tadi malam ia sempat terseret arus dari sebuah selokan. Beruntunglah ia dapat meraih sebuah kawat yang melintang dan akhirnya berhasil masuk ke dalam pipa itu.

Selama menyelamatkan diri di dalam pipa, tak banyak yang bisa dilakukannya. Ia hanya berdiam diri sambil sesekali menyambar makanan yang ikut hanyut. Untunglah ia terbiasa hidup di dalam got yang lembab dan bau. Sehingga, suasana banjir saat itu tak seberapa berpengaruh bagi dirinya.

Suatu saat, ketika Tikus Got itu sedang diam mendekam sambil memandangi genangan air yang belum juga surut, tiba-tiba di antara sampah-sampah yang ikut hanyut, ia melihat ada sesuatu yang bergerak timbul tenggelam. Sejenak lebih diperhatikannya lagi apa yang tampak di matanya itu.

Olala!

Alangkah terkejutnya Tikus Got itu, setelah menyadari bahwa ternyata yang timbul tenggelam itu adalah juga seekor tikus. Tanpa pikir panjang, Tikus Got segera meraih sebuah ranting yang tersangkut di dekatnya. Diulurkannya ranting itu kepada tikus yang sedang terhanyut. Bahkan, mungkin hampir mendekati maut.

“Hai, pegang ranting ini kuat-kuat!” teriak Tikus Got sambil memegang erat-erat ujung ranting itu.
Akibat derasnya air, sesekali Tikus Got itu tampak hampir terseret arus. Namun, ia tetap bertahan. Tetap mempertahankan ranting yang dipegangnya sambil berpegang erat pada belokan pipa yang membengkok.

“Ayo, cepat, raih rantingnya!” teriak Tikus Got lagi.

Tikus yang timbul tenggelam di air itu, berusaha keras meraih ranting yang diulurkan Tikus Got. Mula-mula, ia selalu gagal untuk meraihnya karena kondisi tubuhnya yang sudah lemas. Namun, berkat usahanya yang tak kenal lelah, hap! Ia pun berhasil melompat dan meraih ranting itu dan lantas menggenggamnya erat-erat.

“Bagus! Berpeganganlah yang kuat! Aku akan berusaha menarikmu!” seru Tikus Got lagi dengan penuh semangat.

Tanpa menyahut, tikus itu lebih mempererat pegangannya pada ranting. Dengan sekuat tenaga Tikus Got berusaha menariknya. Tapi mendadak …. Byuurr! Gelombang air yang ditimbulkan oleh sebuah perahu karet yang lewat, menghantam tubuh tikus itu. Pegangannya pun terlepas. Untuk beberapa saat, ia kembali timbul tenggelam di air keruh. Napasnya tampak megap-megap.

“Hep … tolong …! Hep … hup … toloong …!” Teriak tikus itu menyayat hati.

“Bertahanlah! Aku akan menolongmu!” teriak Tikus Got memberi semangat.

Byuurr!!

Dengan cepat Tikus Got melompat ke derasnya air. Berenang sekuat tenaga agar dapat menggapai tikus malang itu. Setelah beberapa saat berjuang keras melawan derasnya arus air, akhirnya Tikus Got berhasil memegang tubuh tikus itu.

“Gerakkan kaki dan tanganmu, agar tubuhmu terus mengambang!” Perintah Tikus Got.

Tanpa menyahut tikus itu terus berusaha menggerak-gerakkan tangan dan kakinya. Sedang Tikus Got berjuang keras mendorong tubuh tikus itu agar bisa segera menepi. Namun, karena tubuh tikus itu gembul, maka Tikus Got tampak kewalahan. Tapi ia tak menyerah. Terus berusaha dengan sekuat tenaganya agar tikus itu bisa selamat.

Hiaat!

Dengan satu dorongan keras yang dihimpun dari sisa-sisa tenaganya, Tikus Got berhasil mendorong tikus itu ke dalam pipa saluran air tempatnya bersembunyi tadi.

“Syukurlah, akhirnya kau selamat,” kata Tikus Got ketika mereka sudah berada di dalam saluran air itu.

“Iya, terima kasih kau telah menolongku. Tapi,” sahut tikus itu sambil menggigil kedinginan.

“Tapi apa?”

“Apa tidak ada tempat yang lebih baik dari ini?” tanya Tikus itu sambil memandang jijik ke selilingnya.

“Memangnya di sini kenapa? Bukankah tempat ini sudah jauh lebih baik daripada kita berada di luar sana?” balik tanya Tikus Got sambil menunjuk ke hamparan air yang sudah merendam seluruh wilayah kota.

“Tapi aku tidak biasa tinggal di tempat seperti ini.” Tikus itu tetap membantah.

“Memang selama ini kau tinggal di mana?” tanya Tikus Got keki melihat ada tikus semanja ini.

“Aku tinggal di sebuah kantor mewah milik seorang pejabat.”

“Oo … jadi kau, Tikus Kantor?”

“Ya.” Tikus Kantor itu mengangguk.

“Pantas kalau begitu.”

“Pantas bagaimana?” Heran Tikus Kantor bertanya.

“Ya pantas, baru menghadapi situasi seperti ini saja, kau sudah mengeluh enggak karuan.”

“Ya maaf, aku belum terbiasa. Kebiasaanku kan tinggal di gedung bertingkat yang ber-AC, full musik, dan lengkap dengan berbagai fasilitas. Kau sendiri tinggal di mana selama ini?” Tikus Kantor balik bertanya.

“Aku tinggal di got, tepat di bawah kantor yang kau tinggali.”

“Pantas kau tampak terbiasa menghadapi kepungan air banjir seperti ini. Sudah terbiasa hidup susah, sih.” sindir Tikus Kantor.

Tikus Got diam saja. Ia tak menanggapi sindiran Tikus Kantor yang bernada menghina tadi. Kini ia hanya memandangi Tikus Kantor itu dengan perasaan heran. Sebab sebagai sesama bangsa tikus, tak sekali pun ia pernah berbuat sombong seperti yang dilakukan Tikus Kantor ini.

Akh!

Mungkin Tikus Kantor itu sudah terkontaminasi oleh gaya hidup orang kantoran. Apalagi kantor yang dihuninya selama ini adalah kantor seorang anggota dewan. Di mana aksi tipu-tipu dan skandal politik sering dilakukan. Dengan dalih demi kepentingan rakyat, mereka sering menentukan kebijakan yang jauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat. Sepak terjangnya tak lebih sebuah sandiwara yang dengan rapi ditutupi topeng berwajah malaikat. Termasuk dalam masalah banjir ini.

Banyak pejabat yang berpura-pura simpati, datang menghampiri para pengungsi dengan membawa bantuan logistik dan obat-obatan, tapi dengan mengenakan baju partai. Tujuannya jelas, untuk menarik simpati karena sebentar lagi pemilu akan diadakan lagi.

Akh!

Sekali lagi Tikus Got mendesah. Diam-diam ia menjadi kawatir dengan keberadaan Tikus Kantor ini. Lantaran dalam dunia manusia, terutama kehidupan seorang pejabat, demi mempertahankan hidup dan kedudukannya, mereka siap menendang siapa saja yang jadi penghalangnya. Saling sikut dan saling jegal seolah sudah tradisi. Bahkan adu jotos dalam sidang pun, pernah terjadi. Lalu bagaimana jika Tikus Kantor ini sudah pula mewarisi sifat pejabat yang rakus? Cenderung menghalalkan segala cara demi mempertahankan kursi jabatannya.

Oh!

Tikus Got semakin ngeri. Semakin ia membayangkan kehidupan manusia yang berstatus pejabat, kekawatiran di hatinya semakin hebat. Ia tahu di dunia manusia yang katanya makhluk berakal dan paling mulia, yang namanya peraturan dibuat justru untuk dilanggar. Buktinya, sudah ada KPK, tapi tindakan korupsi justru kian merajalela. Sudah didirikan BKN, tapi Indonesia malah menjadi ladang emas para pengedar narkoba dari berbagai negara. Sudah ada sertifikasi guru, tapi mutu pendidikan tetap berjalan di tempat. Lalu apa arti semua itu?

“Hai, Tikus Got! Kenapa kau pandangi aku seperti itu, hah?!” hardik Tikus Kantor membuyarkan lamunan Tikus Got.

“Tidak. Tidak ada apa-apa,” sahut Tikus Got berkilah.

“Oya, sudah berapa hari kau tinggal di sini?” tanya Tikus Kantor lagi.

“Tiga hari.”

“Selama itu? Bagaimana cara kau mendapatkan makanan jika kau lapar?”

“Menunggu makanan yang terbawa air dari saluran air yang kita tempati ini.”

“Apa tidak ada cara lain?”

“Kalau kau tidak sabar, kau bisa naik ikuti arah pipa ini, maka kau akan sampai di dapur umum para pengungsi. Di sana banyak makanan. Tinggal kau pilih.”

Sejenak Tikus Kantor memandangi lubang pipa yang tampak gelap dan panjang. Dan belum-belum ia sudah membayangkan betapa sulitnya untuk bisa sampai ke atas.

“Bagaimana kalau sekarang kita ke atas? Aku sudah lapar sekali,” kata Tikus Kantor kemudian.

“Baiklah! Ayo kita berangkat.”

Usai berkata begitu, Tikus Got langsung melompat dan berlari menyusuri lubang pipa yang panjang itu. Sedang Tikus Kantor yang badannya gemuk, berjalan dengan lamban. Sehingga Tikus Got terpaksa sesekali berhenti untuk menanti.

*

MALAM harinya. Tikus Got yang biasa tinggal di tempat kumuh dan berbau, sudah bisa tidur dengan pulas. Sementara sang Tikus Kantor, masih belum bisa memejamkan mata. Suara gemericik air yang terus terdengar membuat dirinya tak bisa merasa tenang. Juga suara gaduh para pengungsi yang tepat berada di atasnya semakin menambah bising di telinganya yang peka. Ditambah lagi hawa dingin yang menusuk memaksa dirinya untuk terus meringkuk menahan kantuk.

“Hai Tikus Got, bangun, dong!” ujar Tikus Kantor sambil menggoyang-goyangkan tubuh Tikus Got.
Sejenak Tikus Got menggeliat, baru kemudian menjawab.

“Ada apa Tikus Kantor?”

“Aku tidak bisa tidur.”

“Kenapa?”

“Di sini lembab dan dingin. Di mana-mana penuh air.”

“Ya, namanya juga lagi banjir,” bantah Tikus Got tanpa mikir.

Tikus Kantor hanya menyeringai.

“Kau ini aneh, deh. Sebagai Tikus Kantor kenapa kau tidak betah tinggal di tempat basah. Padahal, orang kantoran saja malah selalu berharap kerja di tempat yang basah?”

“Hai, Tikus Got! Perlu kau tahu ya, yang dimaksud tempat basah oleh orang kantoran itu bukan tempat yang banyak air kayak begini. Tapi tempat basah itu adalah tempat yang bisa menghasilkan banyak duit. Banyak proyek dan uang ceperan yang jumlahnya lebih besar dari gaji resmi.”

“Kalau begitu, kau juga seperti itu, dong?” Kembali Tikus Kantor tersenyum.

“Hehehe, iya! Apabila tidak ada makanan yang tersisa di kantor, kalau lapar kadang-kadang aku juga makan uang yang ada di laci mereka. Tak peduli itu uang milik siapa?”

Tikus Got merengut. Praduganya tentang Tikus Kantor ternyata tak meleset. Sifat rakus dari manusia barangkali sudah mengkontaminasi otaknya. Sifat liar Tikus Got yang biasanya sering dikejar-kejar manusia ternyata masih kalah brutal oleh sifat Tikus Kantor yang mau mencuri dan memakan uang masyarakat. Iya kalau uang itu milik orang kaya mungkin tak masalah. Akan tetapi. bagaimana jika uang itu milik rakyat miskin? Tentu akan menambah panjang penderitaan mereka.

*

MALAM itu, setelah melakukan perenungan yang panjang tentang perjalanan hidupnya sampai berada di saluran air bersama Tikus Got, sang Tikus Kantor telah mengambil satu keputusan. Bahwa besok pagi, ia harus keluar dari tempat ini. Ia tidak kerasan tinggal di tempat basah. Walau kebiasaannya ia tinggal bersama pejabat yang selalu menginginkan menduduki jabatan basah.

Memang tak ada perbedaan yang signifikan antara Tikus Kantor dengan para pejabat yang biasa menggerogoti uang negara yang kini populer dengan sebutan Tikus Berdasi. Mereka sama-sama suka mencuri. Mereka sama-sama suka sembunyi di balik meja rekan sekerja. Bahkan di dalam lemari dari baja. Satu hal yang jadi pembeda adalah bahwa para Tikus-Tikus Berdasi itu pandai berkilah. Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, mereka gunakan anggaran tak sesuai amanat!

“Hai Tikus Kantor, kenapa kau tampak gelisah begitu?”

“Kenapa kau masih bertanya, Tikus Got? Bukankah sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak kerasan tinggal di sini bersama kamu. Tempatku itu di kantoran bersama Tikus-Tikus Berdasi yang pintar berkilah dan bernegosiasi. Khotbah soal moral, omong keadilan, jadi sarapan sehari-hari. Aksi tipu-tipu, lobi, dan upeti sudah jagonya. Sedang kau, hanya bisa pasrah tinggal di got yang kotor dan pengap. Tak pernah merasakan nikmatnya makan uang rakyat yang sering memusuhi bangsa tikus seperti kita.” Kata Tikus Kantor sambil mencibir kepada Tikus Got.

“Kalau begitu, bagaimana dengan nasib Tikus-Tikus Berdasi? Apa mereka juga dimusuhi oleh manusia?” Tanya Tikus Got dengan wajah bodohnya.

“Sama saja dengan kita. Tikus Berdasi kan hanya istilah untuk menyebut para koruptor. Jadi, mereka juga dimusuhi dan ingin dibasmi oleh rakyat negeri ini. Karena tindakan dan kelakuan mereka yang dianggap kotor.”

“Wah, itu sama artinya dengan pelecehan terhadap bangsa tikus. Bayangkan! Sebagai tikus beneran, belum pernah ada satu pun dari bangsa kita yang berdasi. Apalagi makan duit negara. Tapi mengapa manusia yang merampok duit negara, malah dinamakan Tikus Berdasi?”

“Ya, itulah hidup! Karena kebiasaan mencuri makanan yang dilakukan oleh bangsa tikus, maka nama kita dijadikan istilah bagi pejabat yang ngentit duit negara.”

“Kalau begitu, masih terhormat kita sebagai tikus beneran, daripada manusia yang dijuluki Tikus-Tikus Berdasi, ya?”

“Ya, begitulah kira-kira. Karena itu, aku ingin secepatnya pergi dari tempat ini,” kata Tikus Kantor sinis.

“Maaf, bukannya aku ingin menahanmu, tapi keadaan di luar sana masih bahaya,” cegah Tikus Got.

“Bahaya bagaimana?”

“Manusia masih pada sibuk mengungsi, dan banjir juga masih mengepung kota ini.”

“Aku tak peduli. Pokoknya besok pagi aku harus pergi dari sini,” bantah Tikus Kantor sudah bulat hati. Tak bisa dicegah lagi.

“Ya, sudah, kalau itu maumu. Yang penting aku sudah mengingatkan,” ujar Tikus Got pelan.

*

ESOK harinya, pagi-pagi benar Tikus Got mengantar Tikus Kantor sampai di sudut posko pengungsian. Di mana para korban banjir sudah mulai beraktivitas. Tim SAR dan juga para relawan sudah pula bersiap melaksanakan tugas. Di tengah keramaian itu, Tikus Kantor melihat pejabat yang dijuluki Tikus Berdasi masih dengan bebas melenggang di antara para pengungsi.

“Nah, Tikus Got! Aku pergi dulu. Aku ingin menyusul manusia yang sedang berjalan itu.”

“Memangnya siapa dia?” tanya Tikus Got pula.

“Dialah orang yang tinggal sekantor dengan aku, yang oleh banyak orang disebut sebagai Tikus Berdasi.”

“Baiklah Tikus Kantor. Pergi dan berhati-hatilah.”

“Terima kasih dan selamat tinggal.”

Sambil berkata begitu Tikus Kantor berlari dengan mengendap-endap di antara kaki-kaki manusia yang melangkah ke sana-ke mari. Namun sayang, sebelum Tikus Kantor berhasil mendekati si orang Tikus Berdasi, seorang anak kecil keburu melihat keberadaannya. Spontan, anak kecil itu pun berteriak lantang.

“Tikuus! Ada tikuuus!”

Panik! Tikus Kantor tak sempat berlari. Dengan wajah pucat pasi, ia bingung mencari tempat sembunyi. Apalagi ketika melihat orang-orang sudah pada membawa pentungan, Tikus Kantor pun berlari hendak menyelamatkan diri. Tapi malang! Di daerah sekitar ia berada, sebagian besar masih terendam banjir. Sedang Tikus Kantor takut dengan air. Karena tak banyak ruang gerak yang bisa ia buat untuk sembunyi, maka ia pun terus berlari sambil menghindari pukulan-pukulan yang mengarah ke tubuhnya.

Mula-mula dengan lincah Tikus Kantor masih berhasil menghindar. Namun, ketika langkahnya tiba di sudut bangunan yang di sekitarnya masih banyak air menggenang, tak bisa lagi ia bernapas dengan tenang. Tiba-tiba …. Bleeg! Sepatu bersol tebal yang dipakai pejabat yang dikenal sebagai Tikus Berdasi, mendarat tepat di punggung Tikus Kantor.

Croott!

Darah Tikus Kantor muncrat. Membasahi sudut lantai di mana kini tubuhnya sudah tak berbentuk lagi. Perut dan kepalanya pecah. Bersimbah darah. Lalu dengan menggunakan sebuah potongan seng berkarat, seseorang mengangkat tubuh Tikus Kantor dan dilemparkannya ke tengah-tengah banjir yang masih deras mengalir.

Ooh!

Tikus Got yang menyaksikan semua itu dari tempat persembunyiannya ngeri dan menutup mata. Sebagai sesama tikus, mau tak mau, darahnya berdesir juga. Apalagi ketika melihat tubuh Tikus Kantor yang hanyut terbawa arus banjir dengan darah yang terus mengalir.

Kini pandangan Tikus Got beralih ke pejabat si Tikus Berdasi, yang dengan senyum bangganya menatap ke jalan raya yang kini berubah jadi sungai. Geram hati Tikus Got tak terkira, melihat senyum licik si Tikus Berdasi. Dalam pemikiran Tikus Got, harusnya Tikus Berdasi lah yang layak mati dengan cara tragis seperti tadi karena Tikus Berdasi lebih banyak memakan duit negara yang berarti lebih banyak menciptakan kesengsaraan bagi rakyatnya.

Kalau Tikus Kantor yang hanya sedikit ngutil duit negara bisa mati dengan cara demikian keji, harusnya Tikus Berdasi dibuat lebih menderita lagi. Jangan Cuma dipenjara, tapi berikan hukuman yang bisa menimbulkan efek jera. Kalau pengadilan resmi tak dapat membasmi para Tikus Berdasi, biarlah masyarakat yang mengadili. Dengan caranya sendiri. Kesal dengan apa yang terjadi pada Tikus Kantor, Tikus Got kembali bersembunyi untuk menjauhi Tikus-Tikus Berdasi yang semakin beranak pinak di negeri ini. Sementara di atas sana, di sebuah negeri yang berstatus demokrasi orang-orang yang dijuluki tikus kantor dan tikus berdasi justru semakin merajalela menggerogoti kekayaan negeri ini tanpa peduli nasip para jelata yang semakin mengenaskan hati.

Semua membentuk sebuah balada hitam yang paling kelam. []

Heru Patria adalah nama pena dari Heru Waluyo seorang novelis yang gemar menulis cerpen dan puisi. Selain termuat dalam 50 lebih antologi bersama, karya puisi dan cerpennya telah dimuat di berbagai media cetak dan online. Selain menulis karya dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis karya berbahasa Jawa seperti gurit, cerita cerkak, dan wacan bocah yang juga sudah dimuat di majalah Panjebar Semangat, Majalah Jayabaya, majalah Djaka Lodang, majalah Kinasih, serta Harian Solopos. Pendiri Paguyuban Swara Sastra Jawa ini profil dan giat literasinya telah dimuat di Radar Tulungagung, Kawentar Radar Blitar, Blitar Terkini, Literanesia, serta rubrik Sosok di Harian Kompas. Buku puisinya yang berjudul Orasi Anak Negeri mendapatkan penghargaan sebagai Buku Sastra Tak Terlewatkan Tahun 2024 dari Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia. Peraih Anugerah Sutasoma 2024 ini juga memperoleh berbagai penghargaan.

Lukisan ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Heru Patria

Editor: Nurhayati

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan