Bahaya Apatisme Literasi

Apatisme literasi membuat generasi muda mudah termakan hoaks. Literasi yang luas menuntun kita jadi masyarakat kritis dan bijak.

Oleh Muhammad Subhan

TADI malam saya memenuhi undangan AIESEC in UPNVJ, sebuah komunitas anak muda di Jakarta. Peserta diskusi semuanya mahasiswa, se-Indonesia.

Saya diminta bicara soal apatisme literasi dan pentingnya memahami literasi media. Dan, saya menceritakan apa adanya. Bahwa apatisme literasi benar-benar nyata. Bahwa literasi bukan sekadar baca tulis. Bahwa generasi muda harus melek literasi digital. Bukan sekadar aktif di media sosial. Bukan sekadar membagikan postingan. Tapi juga harus mau memeriksa kebenaran dari sebuah konten yang ditemukan.

Saya selalu bahagia bila bertemu anak-anak muda. Terutama yang masih mau membaca. Masih mau mencari tahu. Masih mau belajar memilah informasi. Mereka menjadi oase di tengah kemarau minat baca. Mereka adalah penolak apatisme literasi.

Tapi saya juga tahu. Banyak anak muda yang malas membuka buku. Malas mencari sumber. Malas berdiskusi. Sekadar menerima. Apa yang terlihat di ponsel langsung dipercaya. Berita hoaks menyebar tanpa disaring. Opini manipulatif gampang memecah belah.

Saya katakan, apatisme literasi punya tanda-tanda. Tanda-tanda itu, mereka yang tidak suka membaca. Mereka yang malas melakukan verifikasi. Mereka yang pasif dalam diskusi. Mereka yang cepat termakan hoaks.

Mengapa bisa apatis? Ada banyak sebab. Ada budaya belajar yang lemah. Ada dominasi hiburan instan. Ada lingkungan yang kurang mendukung. Buku kalah dari gawai. Diskusi kalah dari gosip. Enggan menggali lebih dalam sebuah informasi. Enggan bertanya. Dan puas dengan informasi setengah matang.

Padahal, apatisme literasi itu risikonya besar. Kualitas keputusan menurun. Bisa salah ambil sikap. Salah pilih langkah. Lalu tumbuhlah generasi rapuh. Mudah diombang-ambing isu. Mudah dihasut. Mudah dikendalikan. Jauh dari berpikir kritis.

Sesungguhnya, literasi itu menyehatkan. Literasi itu menerangi. Literasi itu meneguhkan. Orang-orang yang literat tidak gampang diprovokasi. Mereka bisa memilah. Bisa memilih. Bisa pulih. Mereka bisa menimbang. Mereka bisa mengolah.

Kita tidak bisa hanya berharap pada satu pihak. Individu harus sadar. Orang tua harus jadi teladan. Guru harus jadi pemandu. Komunitas harus jadi ruang belajar bersama.

Bagaimana membentuk semua kesadaran itu?

Bisa dimulai dengan Gerakan Membaca 15 Menit Sehari. Hanya 15 menit. Tapi dilakukan terus-menerus. Pekerjaan ringan. Tapi besar dampaknya.

Di rumah juga bisa bikin pojok baca. Adakan diskusi rutin. Libatkan keluarga. Baca bareng anak. Baca bareng adik. Literasi tumbuh di ruang keluarga.

Kalau di komunitas, bikin program kecil. Workshop cek fakta. Pelatihan menulis. Kompetisi membaca puisi. Buat ruang agar orang terbiasa berpendapat. Tapi juga terbiasa mendengar pendapat. Hari ini, banyak orang hanya mau didengar, tapi enggan mendengar.

Zaman sekarang, literasi tidak bisa hanya cetak. Ada literasi media. Ada literasi digital. Informasi datang berlimpah. Kita dituntut lebih sigap. Lebih jeli. Lebih kritis.

Literasi media itu kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Bukan hanya membaca koran. Tapi juga memproses pesan. Di media sosial. Di portal berita. Di televisi. Di grup chat keluarga.

Tanpa literasi media, kita gampang hanyut. Kita gampang baper. Kita gampang marah tanpa tahu fakta. Hoaks merajalela karena kita malas cek. Kita asal share. Tanpa sadar kita jadi penyebar sampah informasi.

Dampaknya? Muncul polusi informasi. Konflik sosial. Polarisasi. Tetangga jadi musuh. Teman jadi lawan. Semua gara-gara info palsu.

Kita harus melatih diri. Latihan verifikasi fakta. Latihan mengenali bias. Latihan berdiskusi dengan data. Gunakan tools cek fakta. Ajak teman-teman. Ajak keluarga.

Buat kebiasaan bertanya. Siapa penulis berita? Apa sumbernya kredibel? Apa ada data pendukung? Jangan puas pada judul bombastis. Jangan langsung percaya.

Anak muda punya peran besar. Mereka produsen konten. Mereka konsumen konten. Mereka agen perubahan.

Bila anak muda melek literasi, hoaks bisa dipangkas. Kalau anak muda melek media, ruang digital jadi sehat.

Sayangnya, ini tantangannya berat. Banyak remaja tak terbiasa membaca panjang. Scroll TikTok lebih menarik. Video singkat lebih seru. Caption panjang dilewati. Jangankan buku, artikel pun malas dituntaskan.

Karena itu, pendampingan penting. Kaum muda butuh mentor. Butuh role model. Butuh lingkungan yang mendukung.

Di mana? Di rumah. Di sekolah. Di komunitas.

Kalau sekolahnya tidak mendukung? Bikin komunitas belajar. Kalau orang tuanya sibuk? Jadilah teladan untuk teman sebaya.

Di kantong-kantong literasi, semisal Taman Bacaan Masyarakat, hadir para relawan. Mereka bikin program Baca Buku Bareng. Anak-anak kecil diajak membaca cerita. Lalu mereka diminta bercerita ulang. Kelihatannya sederhana. Tapi di sanalah tumbuh rasa ingin tahu.

Di beberapa sekolah ada klub baca. Ada mentoring penulisan. Ada pojok diskusi. Ada blog bersama. Ada majalah sekolah. Semua itu kecil. Tapi jadi pupuk bagi literasi.

Saya percaya, kalau kita mau, kita bisa. Kalau kita sepakat, kita kuat. Kalau kita saling mengingatkan, kita tumbuh.

Literasi bukan hanya baca tulis. Literasi itu keterampilan hidup. Literasi itu jalan menjadi warga dunia yang adaptif. Yang bijak. Yang kritis.

Maka, mari lawan apatisme literasi. Mari mulai dari diri sendiri. Membaca, berdiskusi, menulis, memverifikasi. Sekecil apa pun usaha kita, itu sangat berarti. Karena literasi yang luas berarti hidup yang lebih terarah.

Dan saya yakin, kalau kita mau, kita selalu punya harapan. Bahwa generasi literat, kritis, dan bijak bukan sekadar mimpi. Tapi bisa jadi nyata. Ayo, kita bangun mimpi dan mewujudkannya. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan