Bahasa
Bahasa bukan sekadar pelajaran, tapi jati diri dan jalan hidup. Tanpa bahasa, kita kehilangan arah pulang sebagai bangsa.

Oleh Muhammad Subhan
SAYA mengenal bahasa Indonesia sejak kecil. Tidak semata dari ruang kelas dengan guru-guru terbaik, tapi juga dari ibu yang jualan kue di depan sekolah.
Ibu itu ibu saya sendiri!
Dari mulutnya, saya mendengar banyak dongeng menjelang tidur.
Saya sempat malu ibu saya berjualan kue. Malu diledek teman. Malu sering tak punya uang jajan. Mau minta kue kepada Ibu, enggan.
Selain dongeng dari Ibu, saya juga belajar bahasa dari buku cerita anak di perpustakaan yang sunyi, di sekolah saya. Sekolah dasar. Itu pun karena disuruh kepala sekolah yang baik hati.
Saat teman-teman bermain di waktu istirahat, saya duduk diam membaca. Kadang memang karena tak punya uang jajan.
Lebih sering karena tak tahan diledek teman. “Malu, ya, ibumu jualan di depan sekolah?” Lalu saya berlari. Menghilang. Ke perpustakaan.
Tapi ternyata, dari rasa malu itu tumbuh cinta. Cinta pada huruf-huruf yang merangkai makna. Cinta pada kalimat yang menyembuhkan luka.
Di SMP, di mading sekolah, saya menulis puisi. Pelan-pelan, saya mulai yakin: bahasa bukan sekadar pelajaran. Bahasa adalah perlawanan terhadap sunyi.
Ketika SMA, saya ingin masuk jurusan Bahasa. Tapi jurusan itu telah tutup. Mati suri. Tak ada peminat. Tak ada tempat. Yang ada hanya IPA dan IPS.
IPA tampak bergengsi. Anak-anak pintar masuk di sana. Anak-anak kaya juga. Orang berada. Itu anggapan orang. Sementara, saya si anak penjual kue, masuk IPS. Sebab, mau masuk IPA, otak saya tak kuat. Saya mengukur bayang-bayang sendiri.
Tapi saya beruntung. Seorang guru Bahasa Indonesia di SMA saya itu menyelamatkan saya. Ia memberikan sebuah alamat redaksi koran. Ia bilang, “Kirim tulisanmu ke sana.” Dan saya kirim. Banyak.
Lama menunggu, tak dimuat-muat. Nyaris putus asa. Seiring pergantian waktu, akhirnya, satu dua tulisan dimuat. Senangnya bukan main. Ada honor juga. Semangat menulis saya makin menjadi-jadi.
Mau tamat SMA, ayah saya wafat. Berpulang ke Rahmatullah. Karena sakit. Sejak itu, saya putuskan merantau. Ke Padang. Ranah Minang, kampung ibu saya. Saya tinggalkan Aceh, kampung Ayah. Membawa Ibu yang janda dan adik-adik yang masih kecil. Modal saya cuma satu: bahasa.
Di Padang, saya memilih menjadi jurnalis. Lapangan kerja lain yang saya coba masuki, menolak. Dianggapnya saya anak bau kencur, karena baru tamat SMA. Tak punya keahlian.
Saya hampir putus asa. Bakat berbahasa—yang hanya bahasa Indonesia—dan menulis menjadi penyelamat hidup. Kemudian, saya mantap menjadi penulis. Menjadi manusia yang hidup dari kata-kata. Sampai kini. Ternyata bisa hidup juga.
Dan sekarang, pemerintah akan menghidupkan kembali penjurusan: IPA, IPS, Bahasa. Langkah yang perlu disambut hangat. Di zaman sebelumnya, penjurusan itu dihapus. Biasa, ganti menteri, berganti kebijakan. Buah dari politik.
Selama ini, bahasa terkesan dipinggirkan. Didesak oleh angka. Ditenggelamkan oleh logika-logika eksakta.
Bahasa dianggap jurusan kelas dua. Tak menjanjikan masa depan. Katanya, tak menghasilkan uang. Lalu mereka lupakan bahwa tak ada bangsa yang besar tanpa bahasa yang dijaga.
Orang tua lebih suka memasukkan anak-anak mereka ke IPA.
“Biar nanti jadi dokter.”
“Biar bisa kuliah teknik. Jadi insinyur.”
Bahasa?
“Ah, cuma bisa jadi guru.”
“Penulis. Jurnalis. Apa itu?”
Pernyataan yang sempit. Pandangan yang pendek.
Padahal, dari bahasa banyak lahir pemimpin. Orator. Diplomat. Penulis. Dan juga penuntun perubahan.
Di jurusan Bahasa, anak-anak belajar tentang perasaan. Belajar mengungkapkan, memahami, mendengar. Itu sesuatu yang tidak diajarkan di laboratorium.
Mereka belajar menyimak. Berbicara. Membaca. Menulis. Empat keterampilan yang kini makin langka. Keterampilan yang mengandung banyak penguatan karakter di dalamnya.
Kita hidup di zaman ketika orang lebih senang bicara daripada mendengar. Lebih gemar berdebat daripada memahami.
Siapa bilang lulusan Bahasa tak laku?
Lulusan Bahasa dibutuhkan di mana-mana. Di media. Di penerbitan. Di dunia digital. Sebagai jurnalis. Sebagai penulis naskah. Sebagai penata bahasa. Sebagai penerjemah. Sebagai penyuluh budaya.
Tapi, sayangnya, sistem pendidikan sempat menafikannya. Oh. Lalu Bahasa dimarginalkan. Ditinggalkan. Dikucilkan.
Kini, saat wacana penjurusan dihidupkan kembali, saya merasa senang. Turut bahagia. Sebab cita-cita masa remaja saya yang ingin masuk jurusan Bahasa tak tersampaikan.
Walau tak sampai, saya tetap bergelut dengan Bahasa, meski sebatas bahasa Indonesia. Tentu, bahasa asing juga dipelajari di jurusan Bahasa. Kepala saya agak berat kalau belajar bahasa asing. Tapi bahasa asing tetap berguna.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) memiliki slogan Trigatra Bangun Bahasa: Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Slogan ini bagus sekali.
Jadi, mari tetap berikan ruang untuk anak-anak yang cinta kata. Yang ingin memahami dunia melalui diksi dan metafora.
Sebab bangsa ini bukan dibangun hanya oleh rumus dan angka. Bukankah tidak semua anak kelak harus menjadi dokter?
Bangsa ini juga ditopang oleh puisi. Oleh cerita. Oleh bahasa.
Bahasa Indonesia adalah identitas. Adalah warisan. Adalah alat perjuangan.
Bahasa adalah payung yang menaungi seribu suku. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Jangan biarkan anak-anak kita lebih fasih berbahasa Inggris daripada menyusun kalimat dalam bahasa ibunya.
Jangan kita biarkan mereka bangga mengucapkan “sorry”, tapi gagap berkata “maaf”.
Ini bukan soal menolak bahasa asing. Tapi soal tidak melupakan akar. Bahasa asing bisa jadi jendela, tapi bahasa Indonesia tetap harus jadi pintu.
Jurusan Bahasa harus kembali tegak. Agar anak-anak dengan dominasi otak kanan tak merasa asing. Agar yang cinta kata tak dipaksa cinta angka. Agar yang menyukai sastra tak merasa seperti penyintas saja.
Bahasa bukan jurusan buangan. Bahasa adalah tempat pulang.
Mari dukung langkah ini. Mari benahi pemahaman yang salah. Bahasa bukan sekadar tentang profesi, tapi juga tentang eksistensi.
Negara yang meremehkan bahasanya sendiri, sedang menggali liang untuk kehilangan jati dirinya. Sebab ketika bahasa lenyap, kita pun tak lagi dikenali oleh sejarah.
Dan, pada akhirnya, kita hanya akan menjadi gema tanpa suara. Hidup tanpa makna. Ada, tapi dianggap tiada. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah
Selamat datang jurusan bahasa. Aku bangga berbahasa Indonesia.