Bahasa dan Kebudayaan, Bagaimana Nasib Bahasa Aceh?
Bahasa Aceh diharapkan dapat terus dilestarikan dalam percakapan sehari-hari.

Oleh Nab Bahany Ahmad
PARA ahli kebudayaan umumnya sepakat, bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Baik dalam bentuk kesukuan maupun dalam skala kebangsaan. Bahkan dalam bentuk lebih besar lagi yang disebut Lingua Franca, yaitu bahasa yang digunakan itu melintasi beberapa negara serumpun, dengan dialek dan penuturan yang berbeda-beda menurut negara atau wilayahnya masing-masing, yang memengaruhi sebuah kebudayaan atau peradaban manusia.
Karena itu, bahasa menunjukkan identitas sebuah suku atau bangsa di nama pun mereka berada. Maka dalam banyak tiori disebutkan, bila kita hendak mengetahui kebudayaan sebuah suku bangsa, pelajarilah lebih dulu bahasanya atau keususastraannya. Karena dari bahasa dan sastranya akan diketahui seluk-beluk kebudayaan sebuah suku bangsa tersebut. Apalagi bila dapat menyelami bentuk-bentuk kesusastraannya, maka akan semakin dalam kita memahami sifat, watak, dan karakter, serta perilaku-perilaku dari suku bangsa itu sendiri.
Aceh sebagai sebuah suku bangsa yang memiliki bahasanya tersendiri, sebagai bagian dari kebudayaannya. Di mana unsur kebudayaan Aceh hampir tak terpisahkan dari nilai-nilai ajaran Islam. Sebagaimana termaktub dalam hadih maja-nya: “Hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut” (hukum dengan adat bagai zat dengan sifat). Yang dimaksudnya, segala aktivitas adat dan budaya masyarakat Aceh harus selaras dengan nilai-nilai agama Islam. Karena keduanya adalah satu kesatuan bagai sisi mata uang yang tak terpisahkan satu sama lain.
Itulah landasan dari kebudayaan Aceh yang membentuk semua unsur-unsur kebudayaannya. Baik keseniannya, bahasanya, maupun aktivitas-aktivitas sosial budaya lainnya. Lalu bagaimana landasan keagamaan ini memengaruhi atau membentuk bahasa Aceh? Ini dapat ditemukan dalam kosakata-kosakata yang digunakan orang Aceh dalam penuturan sehari-hari.
Ada kosakata yang sopan, dan ada kosakata bahasa Aceh yang dinggap kasar, tidak beretika. Misalnya, seseorang menyebut dirinya dengan menggunakan kata “kee”, ini dianggap kosakata yang tidak sopan, dibandingkan dengan menyebut dirinya “lon” atau “lon tuwan”. Penggunaan kosakata “lon” atau “lon tuwan” dipandang lebih lembut dan terhormat dalam penuturan pegaulan sehari-hari bagi orang Aceh. Oleh karenanya, orang Aceh dulu sering menasehati anak-anaknya, “atee tapeugah haba bek meukah kee, hana sopan”.
Baca juga: Bahasa Daerah di Ambang Kepunahan?
Bahasa Aceh dalam sejarah perkembangannya telah berperan besar memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Baik dalam bidang agama Islam, sejarah, kesusastraan, maupun bidang-bidang ilmu lainnya. Hal ini dapat dilihat dari berapa banyak hikayat-hikayat yang ditulis dalam bahasa Aceh dengan menggunakan ejaan Arab Jawi. Kalau diteliti, hikayat Aceh tersebut membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia. Ini adalah suatu kekayaan intelektual yang luar biasa yang pernah dimiliki orang Aceh.
Meskipun saat ini ribuan hikayat Aceh tersebut tidak lagi ditemukan dalam peredarannya. Maklum, hikayat-hikayat Aceh yang ditulis ratusan tahun silam, selain sudah ditelan zaman (tidak terselamatkan), juga banyak yang telah diangkut ke luar negeri, terutama ke negeri Belanda saat mereka menjajah Aceh.
Semua hikayat Aceh yang diproduksi zaman dulu, terutama hikayat-hikayat yang ditulis pada abad 18 hingga abad 19, itu semuanya masih mengunakan bahasa Aceh orisinil. Sehingga dalam hikayat-hikayat tersebut, bentuk bahasa Aceh yang digunakan sangat kaya dengan keaslian kosakata bahasa Acehnya, yang hari ini kosakata-kosakata bahasa Aceh itu tidak lagi ditemukan dalam penuturan orang Aceh sehari-hari.
Baca juga: Bahasa Aceh Terancam Punah, Pakar Dorong Langkah Konkret Revitalisasi
Ini adalah problem yang harus menjadi perhatian kita orang Aceh, bagaimana membudayakan untuk mengaktifkan kembali kosakata-kosakata bahasa Aceh orisinil dalam penuturan pergaulan sehari-hari. Sehingga kosakata-kosakata bahasa Aceh ini tidak terus tergerus dan akhirnya punah ditelan zaman.
Dalam budaya orang Aceh, selain ada bentuk penyampaian informasi secara tertulis, seperti dalam bentuk hikayat, juga kita temukan budaya penyampaian dalam berntuk lisan, dengan menggunakan kosakata-kosakata bahasa Aceh yang masih kental dan asli. Seperti dalam bentuk folklor-folklor yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Folklor ini biasanya diungkapkan masyarakat dalam merespons sesuatu kondisi atau gejala yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam tradisi orang Aceh di kampung-kampung dulu, mereka dalam merespons sesuatu terhadap perkembangan kondisi sosial yang terjadi, selain ditanggapi secara serius, juga tak jarang mereka respons dalam bentuk satire-satire dengan mengunakan kosakata bahasa Aceh bersayap. Misalnya, saat terjadi dialog antar sesama warga di warung kopi yang ada di kampung-kampung di Aceh. Dalam dialog itu, mereka sering mengunakan metafor-metafor dalam menyatirkan sesuatu keadaan, yang kemudian metafor satire-satire berkembang menjadi sebuah folklor yang sangat digemari masyarakat.
Baca juga: “Beton Sakti”, Film Kolaborasi Jerman-Aceh Diputar Perdana di ISBI Aceh
Bahkan, dulu dalam hampir semua kampung di Aceh, ada satu dua orang dari warga yang dikenal masyarakat sebagai orang yang mahir mentamsilkan suatu kondisi sosial dalam bentuk satire-satire yang jenaka. Sehingga, orang seperti itu kadang tak jarang dirindukan oleh orang kampung untuk diajak bicara (berdiskusi) dengannya. Karena selain akan menjadi hiburan bagi orang kampung dengan kelakar bahasa Aceh-nya yang penuh satire, tokoh ini juga dianggap cerdas merespons lawan bicaranya secara spontan.
Orang seperti itu dalam bahasa Aceh disebut; kamupue tapeugah kamue’oh dijaweub (apa yang kita bilang spontan saja ia memberikan jawabannya tanpa harus berpikir lama untuk meresponsnya). Yang kadang kala apa yang diresponskan itu sangat berkenaan dengan isu-isu kondisi sosial masyarakat yang sedang terjadi di lingkungannya.
Baik isu politik, ekonomi, dan isu-isu sasial budaya lainnya, dapat dengan spontan direspons dalam bentuk satire-satirenya. Atau dalam bahasa Aceh disebut “haba meugeunyie” (perkataan sindiran) terhadap sesuatu keadaan sosial yang tengah berlangsung dalam masyarakat.
Baca juga: Sambut Ramadan, Forum Keluarga Aceh Pabasko Gelar Wirid Bulanan
Lalu bagaimana nasib bahasa Aceh ke depan?
Sepertinya kita sedang berada dalam sebuah kondisi antara kerisauan dan harapan. Di satu sisi kita mengingikan dengan makin tergusurnya kosakata-kosakata bahasa Aceh akibat munculnya bentuk budaya-budaya baru, yang memengaruhi pergantian sebutan nama tarhadap sesuatu yang kita gunakan. Seperti geulibeh misalnya, hari ini umumnya kita orang Aceh telah menyebut sendok, dan seterusnya.
Sementara di sisi lain, kita berharap agar bahasa Aceh ini dapat terus dilestarikan dalam percakapan sehari-hari. Ini memperlihatkan bagaimana antara harapan dan kenyataan dalam mempertahankan bahasa Aceh dalam kebidupan kita sehari-hari.
Saya belum punya data valid mengenai persentase penggunaan bahasa Aceh pada usia anak didik Aceh saat ini. Mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Baik di perkotaan maupun di kampung-kampung pedesaan di Aceh.
Apakah mereka masih dominan menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa komunikasi dalam pergaulan sehari-hari. Atau mereka sudah lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia, baik di lingkungan sekolah atau di lingkungan pergaulan sehari-hari, dalam bahkan di dalam keluarga sendiri. Seberapa persenkah anak didik di Aceh masih menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi sekarang ini?
Di kabupaten/kota misalnya, meskipun belum ada data persentasennya, namun secara hipotesis, dapat diduga bahwa usia anak didik Aceh di perkotaan sekarang lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi mereka dalam pergaulan sehari-hari. Bila asumsi ini benar, berarti, ini tantangan besar bagi penyelamatan bahasa Aceh ke depan ini.
Mungkin itu sebabnya, Teuku Mansoer Leupueng dulu dalam bukunya Sanggamara (1962) mengingatkan; “Tameututo ngen basa droe, basa nanggroe nyang biasa, basa laen bek tapakoe, beuthat ragoe bak beurkata”. []
Nab Bahany Ahmad, budayawan, tinggal di Banda Aceh. Email: nabbahanyas@yahoo.co.id.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Nab Bahany Ahmad
Editor: Muhammad Subhan