Bahasa Daerah di Ambang Kepunahan?

Masa depan bahasa daerah ada di tangan kita, dan langkah kecil hari ini dapat menjadi pijakan bagi keberlanjutan jati diri sebuah bangsa di masa mendatang.

Oleh Muhammad Subhan

SUATU hari, saya pulang ke Aceh, kampung halaman almarhum ayah saya, dengan harapan bisa bernostalgia dan merasakan kembali nuansa masa kecil yang lekat dengan bahasa dan budaya Aceh. Namun, pertemuan dengan seorang kawan lama justru mengungkap perubahan yang mencolok—meski saya berbicara dalam bahasa Aceh, ia tetap menjawab dalam bahasa Indonesia, seolah lidahnya telah kehilangan keakraban dengan bahasa ibu kami.

Fenomena serupa saya temui di kalangan remaja Aceh; mereka lebih fasih dan nyaman menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah mereka sendiri. Sebuah ironi yang menggelitik pikiran saya—di tanah tempat bahasa Aceh seharusnya berakar kuat, justru bahasa lain yang makin mendominasi, meski bahasa Indonesia bahasa persatuan.

Tentu, hal sama juga ditemui di daerah-daerah lainnya—didukung berbagai hasil penelitian lembaga terkait maupun perguruan tinggi. Bahasa daerah, yang dahulu menjadi nyawa komunikasi, kini seakan termarginalisasi di tanah kelahirannya sendiri. Generasi muda lebih nyaman berbicara dalam bahasa nasional atau bahasa asing, meninggalkan bahasa ibu mereka dalam sunyi yang perlahan menjurus pada kepunahan.

Fenomena ini diperparah oleh urbanisasi, globalisasi, dan perubahan pola pendidikan yang lebih mengutamakan bahasa yang dianggap lebih berdaya saing di kancah global. Teknologi, yang semula dianggap sebagai sarana pemersatu, justru semakin menambah jurang antara bahasa daerah dan para pewarisnya.

Di era digital ini, kebudayaan ditransmisikan melalui layar. Film, media sosial, dan platform daring lebih banyak menyajikan konten dalam bahasa yang lebih universal. Penggunaan bahasa daerah di lingkungan keluarga pun makin menurun. Orang tua lebih sering berkomunikasi dengan anak-anak mereka menggunakan bahasa yang lebih umum, agar lebih mudah dipahami dan tidak dianggap kuno oleh lingkungan sekitar.

Padahal, kehilangan bahasa bukan sekadar kehilangan kata-kata, tetapi juga hilangnya nilai, filosofi, dan identitas sebuah bangsa.

Namun, apakah ini berarti bahasa daerah harus pasrah pada takdirnya?

Tidak!

Justru di era digital inilah peluang pelestarian bahasa daerah dapat lebih dioptimalkan. Teknologi yang selama ini menjadi ancaman bagi eksistensi bahasa daerah juga bisa menjadi jembatan bagi kelangsungannya.

Inovasi dalam dunia digital dapat dijadikan alat untuk menghidupkan kembali bahasa daerah yang nyaris tergerus zaman.

Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam dunia digital melalui media sosial dan konten kreatif. Para kreator muda dapat menjadi ujung tombak dalam membuat konten berbahasa daerah yang menarik dan relevan bagi generasi mereka. Video pendek, podcast, meme, hingga musik dapat dikembangkan dengan sentuhan bahasa daerah agar lebih dekat dengan keseharian anak muda.

Selain itu, aplikasi pembelajaran berbasis bahasa daerah juga dapat dikembangkan untuk membantu generasi muda belajar dengan cara yang lebih interaktif. Aplikasi ini dapat memanfaatkan kecerdasan buatan untuk membangun fitur percakapan dalam bahasa daerah, memberikan kuis, serta mengajarkan struktur bahasa dengan metode yang lebih menarik. Sebagaimana aplikasi pembelajaran bahasa asing yang telah populer, bahasa daerah pun dapat mengambil langkah yang sama untuk tetap lestari.

Pendidikan formal juga harus memainkan peran aktif dalam pelestarian bahasa daerah. Kurikulum sekolah dapat diadaptasi dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah sebagai bagian dari pembelajaran wajib. Tak hanya sebatas teori, tetapi juga praktik dalam keseharian. Guru dan siswa dapat berinteraksi dalam bahasa daerah, menulis cerita rakyat dalam bahasa ibu mereka, atau bahkan mengadakan pentas seni yang menggunakan bahasa daerah sebagai media ekspresi.

Peran keluarga dalam melestarikan bahasa daerah juga tak boleh diabaikan. Keluarga adalah benteng terakhir dari warisan budaya yang tak ternilai. Orang tua harus mulai membiasakan diri berkomunikasi dengan anak-anak mereka menggunakan bahasa daerah sejak dini. Jika sejak kecil anak-anak sudah terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa ibu mereka, maka peluang bahasa tersebut bertahan di masa depan akan makin besar.

Di sisi lain, pemerintah dan lembaga kebudayaan juga harus mengambil peran strategis dalam pelestarian ini. Kampanye untuk mendorong penggunaan bahasa daerah di ruang publik, serta insentif bagi kreator konten yang menggunakan bahasa daerah, bisa menjadi langkah konkret dalam membangun kembali kecintaan terhadap bahasa sendiri. Selain itu, perlu ada dokumentasi digital yang luas mengenai bahasa daerah yang masih tersisa. Arsip digital berupa kamus daring, ebook, atau ensiklopedia bahasa daerah dapat menjadi referensi bagi generasi mendatang.

Pelestarian bahasa daerah bukan sekadar upaya mempertahankan kata-kata, tetapi juga menjaga akar budaya agar tetap kokoh. Jika teknologi yang dulu dituding sebagai penyebab kemunduran bahasa daerah kini dapat dimanfaatkan sebagai sarana kebangkitan, tidak ada alasan untuk menyerah.

Masa depan bahasa daerah ada di tangan kita, dan langkah kecil hari ini dapat menjadi pijakan bagi keberlanjutan jati diri sebuah bangsa di masa mendatang. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir kota Padang Panjang.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan