Bahasa Aceh Terancam Punah, Pakar Dorong Langkah Konkret Revitalisasi

Keberlangsungan bahasa Aceh sebagai identitas budaya lokal semakin mengkhawatirkan dan terancam mengalami kepunahan. Jika tidak ada langkah konkret, bahasa Aceh bisa mengalami kemunduran yang lebih cepat.

BANDA ACEH, Majalahelipsis.id — Keberlangsungan bahasa Aceh sebagai identitas budaya lokal semakin mengkhawatirkan. Hasil riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa bahasa Aceh mengalami ancaman kepunahan.

Fenomena ini tidak hanya ditemukan dalam penelitian BRIN, tetapi juga berbagai studi dari perguruan tinggi di Aceh yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.

Ketua Dewan Kesenian Aceh, Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn., menyoroti bahwa temuan riset tersebut patut menjadi perhatian serius. Ia mencontohkan pengalamannya saat berbelanja di gerai swalayan waralaba di Aceh. Ketika ia menggunakan bahasa Aceh untuk berkomunikasi dengan kasir atau pelayan toko, mereka justru menjawab dalam bahasa Indonesia dengan logat Aceh.

“Ini berbeda dengan pengalaman saya di Sumatra Barat dan Jawa. Ketika saya menggunakan bahasa Indonesia, mereka merespons dengan bahasa daerah mereka. Baru ketika saya mengatakan bahwa saya tidak bisa bahasa daerah, mereka menggunakan bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana bahasa daerah tetap hidup dan digunakan dalam komunikasi sehari-hari,” ungkap Teuku Afifuddin saat dihubungi Majalahelipsis.id melalui ponselnya, Jumat (28/2/2025).

Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn. (Foto: Majalahelipsis.id)

Menurut Teuku Afifuddin, kondisi ini menunjukkan adanya pergeseran pola komunikasi di kalangan masyarakat Aceh, terutama generasi muda, yang makin jarang menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak ada langkah konkret, bahasa Aceh bisa mengalami kemunduran yang lebih cepat.

Ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah Aceh yang belum sepenuhnya berbasis data dalam menyusun program dan kebijakan, termasuk dalam upaya pelestarian bahasa daerah.

Menurutnya, riset yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah dalam merancang program kerja.

“Pemerintah kita belum terbiasa bekerja berdasarkan data. Dengan adanya pemerintahan baru, kita berharap Aceh ke depan dibangun berdasarkan data. Setiap program dari setiap dinas harus berbasis riset. Banyak hasil penelitian yang sudah ada, tetapi belum dimanfaatkan oleh pemerintah,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa tugas pemerintah bukan sekadar menerima laporan hasil riset, melainkan mencari solusi dan mengimplementasikan temuan riset tersebut.

“Pemerintah bertanggung jawab atas kondisi daerah dan masyarakatnya, termasuk dalam menjaga kelangsungan bahasa Aceh,” tambahnya.

Pemerintah Aceh, harap Teuku Afifuddin, dapat mengambil langkah konkret untuk mencegah kepunahan bahasa daerah, misalnya dengan memasukkan bahasa Aceh dalam kurikulum sekolah, mengadakan program berbasis komunitas, serta memanfaatkan media massa dan digital sebagai sarana pelestarian bahasa.

Jika tidak ada langkah nyata, dia mengkhawatirkan dalam beberapa dekade mendatang, bahasa Aceh hanya akan menjadi bahasa pasif yang tidak lagi digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

“Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam upaya menjaga bahasa Aceh tetap hidup di tengah perkembangan zaman,” tutupnya.

Rasyidin, M.Sn. (Foto: Majalahelipsis.id)

Perlu Program Aktivasi Nyata

Kepala Laboratorium Program Studi Seni Teater ISBI Aceh, Rasyidin, M.Sn., berpendapat, bahasa Aceh menghadapi ancaman kepunahan akibat berbagai faktor, termasuk konflik sosial, perkembangan teknologi, serta dominasi bahasa mayoritas.

Rasyidin juga mengungkapkan kegelisahannya terhadap fenomena itu. Ia menegaskan bahwa meskipun data yang dikumpulkan dari beberapa kota di Aceh menunjukkan penurunan penggunaan bahasa Aceh, hal ini belum cukup menjadi dasar kesimpulan bahwa kepunahan sedang terjadi.

“Konflik dan perkembangan teknologi menjadi faktor utama yang memengaruhi eksistensi suatu budaya, termasuk bahasa,” ujarnya.

Rasyidin mengutip teori yang dikemukakan Deswati dalam jurnalnya Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Pembelajaran Bahasa yang Komunikatif. Menurutnya, ketika dua bahasa hidup berdampingan, salah satunya bisa menjadi dominan, sementara bahasa lainnya berisiko terpinggirkan.

Selain Deswati, pendapat lain diperkuat oleh Krauss dalam buku Bahasa Terancam Punah: Fakta, Sebab-Musabab, Gejala, dan Strategi Perawatannya, yang menyebutkan bahwa daya hidup bahasa sangat bergantung pada jumlah penutur serta perhatian yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat.

Tidak menutup mata, sebagai respons terhadap fenomena ini, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan rancangan Qanun Aceh tentang Bahasa Aceh yang mengatur pemakaian, pemeliharaan, pengembangan, dan pembinaan bahasa serta aksara Aceh.

“Regulasi ini diharapkan menjadi payung hukum dalam menjaga keberlanjutan bahasa Aceh sebagai identitas budaya masyarakat setempat,” ujar Rasyidin.

Namun, Rasyidin menilai bahwa sekadar regulasi tidaklah cukup. Ia menekankan pentingnya langkah konkret dalam upaya revitalisasi bahasa daerah.

“Perlu ada program aktivasi yang nyata, seperti dukungan terhadap lembaga adat dan kesenian dalam merumuskan metode pembelajaran bahasa yang lebih inovatif. Selain itu, penyelenggaraan event budaya, pertunjukan seni, serta penguatan muatan lokal di sekolah-sekolah harus menjadi prioritas,” paparnya.

Di samping itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah merancang kegiatan yang menjadikan bahasa Aceh sebagai bagian dari keseharian anak-anak dan remaja, baik melalui permainan edukatif, media digital, maupun kegiatan ekstrakurikuler berbasis budaya lokal.

Rasyidin mengkritisi kecenderungan masyarakat Aceh di dalam negeri yang lebih sering menggunakan bahasa asing atau bahasa Indonesia, sementara diaspora Aceh di luar negeri justru lebih gigih dalam mempertahankan bahasa daerah mereka.

Rasyidin juga mengutip Gufran Ali Ibrahim, seorang pakar linguistik, yang menekankan bahwa program pelestarian bahasa harus memiliki prioritas yang jelas dengan basis evaluasi yang konkret.

“Perlu ada pemetaan ulang terhadap strategi pelestarian bahasa Aceh agar tidak hanya sekadar menjadi wacana di meja diskusi atau obrolan di warung kopi, tetapi benar-benar terealisasi dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Meningkatnya kesadaran dan langkah-langkah konkret dalam pelestarian bahasa Aceh, tambah Rasyidin, diharapkan bahasa ibu masyarakat Aceh dapat tetap bertahan dan berkembang di tengah arus globalisasi.

“Sebab, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga jati diri dan warisan budaya yang harus dijaga dari generasi ke generasi,” ujar aktor teater alumnus ISI Padang Panjang ini.

Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn. (Foto: Majalahelipsis.id)

Pembiasaan Berbahasa Aceh

Sutradara Teater ISI Padang Panjang sekaligus Ketua Umum Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Sumatra Barat, Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn., turut menyoroti pentingnya pemanfaatan hasil riset terkait kondisi bahasa Aceh.

Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya memanfaatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perguruan tinggi, maupun komunitas untuk menelusuri sejauh mana kebenaran ancaman kepunahan bahasa Aceh.

“Jika memang benar bahasa Aceh terancam punah, harus ada tindak lanjut yang jelas. Apa yang harus dilakukan? Pemerintah perlu mengambil langkah konkret serta mendengarkan masukan dari berbagai pihak,” ujar Sulaiman Juned.

Ia juga mempertanyakan apakah benar saat ini makin sedikit penutur bahasa Aceh dan apakah masyarakat Aceh mulai enggan berdialog menggunakan bahasa ibu mereka.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa keluarga besar masyarakat Aceh di perantauan, khususnya di Kota Padang Panjang serta di berbagai kabupaten dan kota di Sumatra Barat, masih berupaya menjaga eksistensi bahasa Aceh.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan pertemuan rutin setiap bulan, di mana dalam setiap pertemuan tersebut mereka tetap menggunakan bahasa Aceh.

“Selain untuk melepas rindu dengan kampung halaman, kami juga menjaga kelestarian bahasa Aceh,” tambahnya.

Di lingkungan keluarga, Sulaiman Juned mengungkapkan bahwa ia masih sering menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu. Hal yang sama juga dilakukan oleh sejumlah akademisi keturunan Aceh yang mengajar di ISI Padang Panjang.

“Meskipun kami merupakan kelompok minoritas, kami tetap bangga menggunakan bahasa Aceh dalam keseharian,” tuturnya.

Dengan kondisi tersebut, Sulaiman Juned berharap pemerintah dapat lebih serius dalam menindaklanjuti riset mengenai bahasa Aceh dan mengambil langkah strategis untuk memastikan bahasa daerah ini tetap lestari di tengah perubahan zaman.

Sementara dilansir dari Antaranews.com pada Rabu, 26 Februari 2025, peneliti BRIN, Iskandar Syahputera, menyebut bahasa Aceh berstatus definitely endangered ‘terancam punah secara pasti’. Menurut skala UNESCO, vitalitasnya berada di level 3 dari 5.

Dalam penelitiannya tahun 2024, ia menemukan bahwa kepunahan ini disebabkan oleh kurangnya transmisi bahasa ke generasi berikutnya.

“Banyak keluarga Aceh yang tidak lagi menggunakan bahasa ibu di rumah, meskipun kedua orang tua beretnis Aceh. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan bahasa daerah tersebut,” ujarnya.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan