Baca

Membaca membuka jalan keluar dari kemiskinan menuju kebijaksanaan. Dari buku, lahir harapan, kekuatan, dan arah hidup.

Oleh Muhammad Subhan

KALAU bisa memilih, saya ingin lahir dari keluarga kaya. Duit banyak. Bisa beli buku sepuasnya. Rak buku penuh. Bau kertas baru di mana-mana.

Tapi takdir berkata lain. Saya lahir dari keluarga miskin. Sangat miskin. Duit untuk makan saja pas-pasan. Apalagi beli buku.

Toko buku terasa seperti surga. Tapi surga itu tidak gratis. Baca di tempat sering diusir. Mata karyawan sinis. Saya malu. Tapi tetap datang. Diam-diam baca satu-dua halaman. Setiap huruf, saya kunyah pelan-pelan.

Perpustakaan kota? Jauh. Uang untuk naik angkot? Tak ada. Solusinya? Perpustakaan sekolah. Itulah rumah kedua saya.

Buku-buku di situ sudah habis saya baca. Bosan? Tidak. Saya baca ulang. Bacaan lama, makna baru.

Karena miskin, saya jadi gigih. Karena miskin, saya jadi tahan banting. Karena miskin, saya tahu caranya menghargai ilmu.

Di kemudian hari, di SMP, saya masuk Pramuka. Melatih mental. Fisik juga. Latih disiplin.

Di Pramuka, saya diajak membaca. Pembina saya bilang, “Orang pintar itu kuat. Tapi orang berilmu lebih kuat.”

Saya mulai menulis. Sebab dari membaca, muncul ide. Dari ide, muncul tulisan.

Saya tulis apa saja. Puisi, cerita, catatan harian. Pokoknya, apa yang diingat, tulis.

Ternyata menulis itu asyik dan menyenangkan. Saya bisa bercerita. Saya bisa menyalurkan rasa. Saya bisa mengubah luka jadi makna.

Setelah lepas pendidikan, saya memilih jadi penulis ketika pintu lapangan kerja lain tertutup. Hidup sepenuhnya dari menulis, sampai kini.

Karena menulis, saya bisa pergi ke mana-mana. Saya diundang berbicara. Saya dibayar dari ide-ide saya. Saya bersyukur. Alhamdulillah. Semua berawal dari membaca.

Membaca itu menyehatkan, kata Duta Baca Indonesia, Gol A Gong. Mata yang aktif bergerak, melatih fokus pada setiap teks yang dibaca. Bukan hanya itu. Fokus ke apa saja. Otak yang bekerja keras, mencegah pikun.

Hati yang tersentuh, melatih empati. Membaca membuat tubuh diam, tapi jiwa kita menjelajah jagat raya.

Membaca itu spiritual. Wahyu pertama adalah “Iqra.” Bacalah. Bukan salatlah, zakatlah, berhajilah. Tapi: bacalah!

Membaca adalah awal dari segalanya. Bacalah dengan nama Tuhanmu.

Ayat itu bukan cuma ajakan. Itu misi besar. Membaca alam. Membaca sejarah. Membaca diri. Membaca zaman.

Membaca itu budaya. Negeri maju dibentuk dari budaya membaca. Peradaban besar tumbuh dari lembar-lembar buku. Buku adalah cermin peradaban. Buku adalah warisan.

Hamka bilang, “Membaca buku-buku yang baik, berarti memberi makanan rohani yang baik.”

Najwa Shihab bilang, “Perlu satu buku saja untuk jatuh cinta pada membaca.”

Membaca itu ekonomi. Pengetahuan adalah modal. Buku adalah investasi. Dengan membaca, saya bisa menulis. Dengan menulis, saya bisa hidup. Dengan hidup dari tulisan, saya bebas secara ekonomi.

Membaca itu filsafat. Buku mengajak berpikir. Menggugat. Membuka keraguan. Dari keraguan, lahir pertanyaan. Dari pertanyaan, lahir pemahaman. Dari pemahaman, lahir kebijaksanaan.

Membaca itu jihad. Jihad melawan kebodohan. Jihad melawan hoaks. Jihad melawan kemalasan berpikir.

Banyak orang miskin karena malas membaca. Banyak orang tersesat karena tak membaca. Banyak orang sombong karena tak cukup membaca.

Orang tua harus mulai membaca. Ayah dan ibu harus memberi contoh. Anak tidak bisa disuruh membaca, kalau tak pernah melihat orang tuanya membaca.

Rumah harus punya buku. Buku harus dibuka. Dan dibaca.

Saya percaya, buku bisa mengubah nasib. Buku bisa menyelamatkan hidup. Buku bisa membentuk kepribadian.

Tan Malaka pernah bilang, “Kalau perlu, pakaian dan makanan dikurangi. Asal bisa beli buku.”

Mohammad Hatta rela dipenjara, asal bersama buku.

Saya pun rela hidup sederhana, asal bisa membaca.

Karena membaca, saya mengerti banyak hal. Mengerti kesedihan orang lain. Mengerti cara bangkit. Mengerti kenapa saya harus bersyukur.

Kini, saya masih membaca. Setiap hari. Sekalipun hanya satu halaman. Karena saya tahu, setiap kata bisa jadi lentera.

Setiap buku, bisa menjadi jalan pulang.

Dan, setiap yang jatuh cinta pada membaca, tidak akan pernah benar-benar kesepian.

Akhirnya… kalau hari ini saya kembali menjadi bayi, saya tak akan minta lahir dari orang kaya. Cukuplah lahir dari orang tua miskin, asal mereka mengenalkan satu hal paling penting: baca. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

2 Komentar
    1. Dengan Membaca membuat daya ingat lebih kiat
      Membuat impian jadi nyata
      Membuat tambahan teman jadi banyak
      Dan dengan membaca jadi tahu dimana peluang menambah penghasilan jadi dapat
      Semangat membaca walau usia sudah mulai senja

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan