Babi
Manusia yang hidup dalam kerakusan dan keserakahan dapat lebih hina daripada babi, sebab babi hanyalah hewan tanpa akal, sedangkan manusia memiliki pilihan untuk berubah.

Oleh Muhammad Subhan
HEWAN babi lahir dan tumbuh di lumpur, belantara, di tepi rawa, di sudut-sudut kandang yang bau. Leluhurnya hidup di hutan liar, bertahan dengan moncong yang rakus, mengaduk-aduk tanah mencari umbi dan bangkai.
Kata babi berasal dari bahasa Sanskerta: vavī. Di berbagai negeri, ia punya nama sendiri.
Pig dalam bahasa Inggris. Schwein di Jerman. Di tanah Jawa, orang menyebutnya celeng jika liar, bagong jika menjadi kisah pewayangan.
Namun, di mana pun, ia tetaplah babi—hewan yang dipuja sekaligus dijauhi.
Babi rakus. Moncongnya tak pernah puas. Ia makan apa saja, dari biji-bijian hingga kotorannya sendiri.
Ia tak mengenal jijik. Lumpur adalah tempat tidurnya, sampah adalah pestanya.
Ia hidup dalam siklus yang menjijikkan, tetapi tetap tumbuh gemuk, montok, dan siap disajikan di meja makan bagi yang menghendakinya.
Umat Muslim mengharamkan babi. Haram disentuh, haram dimakan. Ayat suci melarangnya dengan tegas.
Tapi di luar Islam, babi adalah hidangan lezat. Ia dipanggang dengan bumbu yang meresap, kulitnya garing, lemaknya meleleh.
Orang-orang yang memakannya berujar, “Daging babi yang terbaik adalah yang paling berlemak.”
Namun, di balik kelezatannya, babi menyimpan bahaya. Cacing pita bersarang di tubuhnya.
Penyakit beranak-pinak di dagingnya. Ia tak bisa berkeringat, maka semua kotoran tetap dalam tubuhnya.
Manusia yang lalai bisa jatuh sakit karena menyantapnya.
Tapi tetap saja, pasar menjualnya, dapur mengolahnya, meja makan menyajikannya.
Lalu, mengapa babi diciptakan?
Babi ada bukan tanpa alasan. Mungkin Tuhan menjadikannya sebagai ujian: siapa yang patuh, siapa yang lalai.
Atau mungkin ia adalah cermin. Sebab, dalam diri manusia, seringkali ada sifat babi yang bersembunyi.
Manusia yang rakus, makan tanpa peduli halal-haram. Manusia yang tak mengenal malu, terjerembap dalam lumpur dosa, tapi merasa nyaman di sana.
Manusia yang serakah, yang tak pernah cukup dengan apa yang ada.
Ia menimbun harta seperti babi menimbun lemak, sementara yang lain kelaparan.
Ada manusia yang hidup hanya untuk perutnya, untuk kesenangannya, tanpa peduli dampaknya.
Kita melihat babi di mana-mana. Dalam politik yang korup, dalam penguasa yang memakan hak rakyat, dalam pemimpin yang lupa batasan, lupa aturan.
Kita melihat babi dalam mereka yang hidup dalam syahwat, mengejar kesenangan tanpa peduli kehormatan.
Kita melihat babi dalam mereka yang rakus pujian, yang gila sanjungan, yang menenggelamkan dirinya dalam lumpur puja-puji.
Namun, babi tetap babi. Ia tak mengenal dosa, karena ia tak punya akal.
Yang lebih buruk dari babi adalah manusia yang berakal, tapi tetap memilih jalan babi. Ia tahu yang haram, tapi melahapnya juga. Ia tahu yang salah, tapi mengulanginya terus. Ia tahu yang kotor, tapi menelannya bulat-bulat.
Pada akhirnya, babi tak pernah berubah. Ia tetap hewan dengan moncong yang rakus.
Yang harus berubah adalah manusia. Sebab jika manusia terus hidup dalam kerakusan dan kehinaan, mungkin suatu hari ia akan lebih buruk dari babi itu sendiri.
Dan saat itu terjadi, Tuhan mungkin akan membiarkannya tinggal dalam lumpur, bersama sifat-sifat ke-babi-an yang tak lagi bisa dibedakan darinya. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah