Antropologi Digital di Sela-Sela Kehidupan Manusia
Antropologi digital adalah suatu “Istilah” yang merujuk pada teknologi digital serta aktivitas dengan manusia.

Oleh Atthoriq Chairul Hakim
MANUSIA merupakan salah satu makhluk yang memiliki hakikat sebagai pemiliki kebudayaan. Salah satu hal yang manusia sendiri miliki yaitu kewenangan dalam menyusun wujud-wujud kebudayaannya sendiri. Berbagai macam unsur dan wujud yang diciptakannya memiliki unsur dari yang bersifat tradisional hingga mengalami perubahan yang bersifat regresif ataupun progresif. Bentuk-bentuk kebudayaan yang dijalankan untuk mempermudah terjalinnya identitas sosial, komunikasi, dan informasi.
Istilah wadah yang disebut untuk memudahkan integrasi, dan terjalinnya komunikasi, yaitu media digital dalam kehidupan manusia. Kehidupan digital sudah merebak luas dimulai dari digitalisasi hal-hal yang sederhana hingga menuju kepada hal yang paling detail pada kehidupan manusia. Digitalisasi dalam kehidupan umat manusia tidak akan terlepas dan menjadi bagian kehidupan yang melekat erat. Seiring perkembangan zaman dan pola pikir, maka hal tersebut merujuk kepada hal-hal yang praktis dan mempermudah aktivitas manusia dalam berkebudayaan. Secara realitas sosial, ini tidaklah dapat dipungkiri dalam hubungan keberlanjutan hidup manusia, namun oleh karena itu digitalisasi tidak sepenuhnya berdampak positif, namun juga begitu harus diperhatikan sisi negatif dari digitalisasi yang terjadi sampai saat ini.
Perlu diperhatikan, semua budaya termasuk digitalisasi memang memudahkan interaksi, dan mobilisasi, namun beberapa dari dampak negatif yang dari kecil dampaknya akan menjadi besar. Hal-hal yang perlu diperhatikan alah bentuk sosialisasi yang perlu dilakukan dalam menerima digitalisasi sebagai budaya baru, dan menanamkan kehati-hatian untuk menggunakan media digital dalam berkehidupan. Lalu bagaimana seharusnya media digital digunakan oleh manusia, dan dampak yang timbul terhadap manusia yang berbudaya. Tidak lain untuk mendeskripsikan hal itu, perlu dikaitkan dengan konsep antropologi digital, untuk membedah dan menarasikan kehidupan manusia dengan digital, serta aktivitas dengan menggunakan media digital.
Antropologi digital sendiri didefenisikan sebagai suatu sub-ilmu dari antropologi yang berusaha membahas hubungan manusia dan era digital. Juga, mempelajari perkembangan manusia dari proses tradisional hingga menuju kekontemporeran termasuk media digital di dalamnya. Oleh karena itu antropologi digital ingin mendeksripsikan perkembangan digital saat ini, beserta fenomena-fenomena yang terjadi dari segi kultural, juga holistik (Reynaldi Syaifullah: 2023).
Khususnya di Indonesia, antropologi digital merupakan yang tergolong masih muda, bahkan untuk pengkajian bidang ini hanya beberapa tempat di berbagai belahan dunia melakukan penelitian yang mendalam salah satunya seperti di Amerika Serikat, melakukan pengembangan metode antropologi digital dalam hubungannya dengan manusia. Oleh karena itu akan dipaparkan di sini mengenai defenisi, konsep-konsep, metode, dan bentuk fenomena dari antropologi digital, sehingga mudah dipahami sebagai dasar untuk menuju ke dalam antropologi digital itu sendiri.
Antropologi digital merupakan terobosan baru dari keilmuan antropologi (kontemporer), yang berusaha memahami digitalisasi beserta kaitannya dengan kehidupan manusia. Sampai saat sekarang pun telah banyak dilakukan untuk pengembangan keilmuan antropologi digital, sehingga bisa menghasilkan analisis deskripsi mendetail atas kehidupan manusia dengan teknologi digital yang menggerogotinya.
Defenisi Ontologis Antropologi Digital
Antropologi digital adalah suatu “Istilah” yang merujuk pada teknologi digital serta aktivitas dengan manusia. Keilmuan ini adalah konsekuensi atas munculnya teknologi digital akibat perkembangan budaya global. Salah satu pendekatan antropologi digital adalah yang diinput dari studi budaya material, hal ini menjelaskan hal-hal membuat orang, selayaknya manusia menciptakan sesuatu. Dipahami bahwa budaya tersebut dinamis, terdapat pembaharuan di setiap sisinya, termasuk menghasilkan budaya materi dalam sub inti kebudayaan. Salah satu cara yang membuat budaya itu lebih bervariasi (ekspansif) adalah dengan membentuk ledakan produk material yang dikaitkan dengan budaya konsumen (anthroencyclopedia: 2018).
Budaya digital termasuk material, namun memang sedikit berbeda dilihat dari sisi realitas sosial budaya di lingkungan masyarakat. Digitalisasi mempunyai sisi materialnya sendiri seperti komputer, meme, platform, fotografi, dan uang digital. Ia memiliki sisi material empiris yang lebih halus dari pada budaya material pada umunya yang kita alami.
Digital bukanlah budaya yang abstrak, melainkan suatu penciptaan sejumlah yang besar dalam bentuk dan proses pada suatu populasi masyarakat yang bersifat kongkret. Lain hal juga ditemui konteks dan konsekuensi tertentu yang berarti mereka menjadi subjek dari diferensiasi budaya. Studi media sosial yang merujuk pada berbagai lapisan masyarakat dilihat dari konteks penggunaan, seperti di Cina, internet dan media digital digunakan untuk memberikan layanan instan gratis pada masyarakatnya, dan juga di Brazil, perkembangan teknologi digital dalam penggunaanya di masyarakat yaitu untuk mengkritisi sistem perpolitikan serta kekerasan berbasis gender.
Fenomena lain, beberapa wilayah selalu terjadi bagaimana esensi dari penggunaan internet (digital) dan penggunaannya sehari, dalam bentuk lain perlu dipahami masa sekarang bagaimana pengunaan dari budaya digital untuk mengkritisi dan melakukan pembelaan terhadap hak-hak yang dipasung dan memobilitas protes feminim dengan menggunakan media digital. Hendaknya penggunaan budaya ini dapat mencegah kemanusiaan dari cultural lag (kerusakan), bukan menjadi manusia dengan data yang siap dipanen.
Perlu diperhatikan penggunaan peran dari budaya digital di tengah kehidupan manusia, bahwa di samping aspek fungsi rekreasi, digital bisa digunakan untuk membantu keberlanjutan hidup manusia. Bahkan jika gagal paham akan pemanfaatan media digital dalam aspek kehidupan manusia, maka akan menyebabkan “kematian” pada diri sendiri seperti kebodohan, atau ketidakterbukaan.
Metodologi Antropologi Digital dalam Keseharian
Memahami manusia dan digitalisasi perlu melakukan observasi dan mengalami kejadian digital bersama. Terutama adalah ketika melakukan riset awal media digital ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, untuk mendapatkan data dan deskripsi yang mendalam terkait objek-objek digitalisasi. Riset antropologi digital tidaklah begitu sama dengan riset-riset ilmu sains dan teknologi yang mendapatkan hakikat pasti dari data objek penelitian.
Ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam melakukan penelitian dan riset teknologi digital untuk menghasilkan data yang kongkret dalam menelaah kasus keterhubungan manusia dengan digitalisasi.
Netnografi. Merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan informasi dan data yang tersedia di dunia maya. Prosedur yang digunakan dalam netnografi juga tak terlepas dari realitas sosial yang ada, namun penggunaanya selalu timbal balik untuk mendapatkan deskripsi fenomena digital yang mendalam.
Eksplorasi Komunitas Digital. Pengamatan perlu dilakukan dalam memahami gejala-gejala digital yang terjadi di tengah masyarakat, seperti interaksi, bahasa, dan proses terbentuknya identitas budaya dalam sebuah komunitas online. Tujuan ini untuk mendapatkan informasi dasar pengunaan digital oleh komunitas online yang berorientasi pada dunia nyata.
Studi Kasus Fenomena Viral. Gagasan ini memandang bahwa memahami fenomena digital dan manusia, seperti mana komunitas-komunitas online yang berasal dari dunia nyata berinteraksi dan memaknai fenomena tersebut (viral).
Beberapa metode antropologi digital di atas dapat digunakan dalam riset dan penelitian, serta dapat dikolaborasikan secara holisitik dalam memperkuat data deskriptif kongkret. Tidak lupa bahwa menggunakan metode antropologi digital berbasis online, namun juga mengaitkan dengan realitas pada kehidupan budaya digital manusia. Pengaruh-pengaruh digitalisasi terhadap perkembangan manusia beserta kebudayaanya, termasuk unsur dan wujudnya. Baik itu dalam aspek-aspek budaya tradisional, ataupun perubahan digital masa sekarang ini. Termasuk dampak yang paling cepat sekarang adalah proses mobilitas informasi berupa data, dapat diakses berbagai penjuru dunia, lalu memiliki jaringan koneksi yang luas.
Pemanfaatan keilmuan antropologi digital perlu dikembangkan secara mendalam, untuk memuat kefleksibelan mamahami fenomena-fenomena digital, dengan menggunakan dasar-dasar dan metode yang runtut.
Kesehari-harian dalam Antropologi Digital
Seiring perkembangan zaman dengan manusia sebagai posisi aktor dalam kebudayaan, tentu memiliki dinamika yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah proses penerimaan terhadap suatu peradaban, di mana di dalamnya terdapat aspek-aspek yang bergesar dari kehidupan manusia, seperti cara manusia berpikir dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pola pikir yang menuntut untuk menghasilkan sesuatu yang praktis, dan mempermudah pekerjaan, dan menghasilkan sesuatu dengan maksimal.
Seperti masa sekarang, begitupun perkembangan zaman yang pesat tidak dapat dihindari, oleh karena itu perlu adaptasi secara perlahan, juga memahami bagaimana pengunaan budaya pada era kontemporer sekarang. Salah satu yang berperan penting di masa sekarang adalah teknologi digital, peralatan budaya ini terikat dengan manusia sebagai pengguna. Perlu diperhatikan bagaimana pengunaan teknologi (media) digital oleh manusia, agar tidak merugikan atau bahkan menggantikan kehidupan manusia secara utuh. Penting dipahami, bahwa memandang perspektif hubungan manusia dengan digital sangatlah penting, dipandangannya keterhubungan ini haruslah bersifat objektif, serta bertahap. Oleh karena itu perlunya disiplin ilmu antropologi digital untuk menelisik bagaimana hubungan-hubungan manusia dengan teknologi digital, proses-proses, serta perubahan yang terjadi padanya.
Dijelaskan, meskipun antropologi digital merupakan sub-ilmu dari antropologi yang terbilang baru, yang mencoba memahami hubungan manusia dengan teknologi digital. Hal ini dilatarbelakangi juga, karena perkembangan teknologi dan kemanusiaan, perkembangan ini menimbulkan era baru yang belum pernah dialami oleh manusia. Karena itu para ahli antropologi digital ingin melakukan kajian berkelanjutan mengenai hubungan manusia dengan digitalisasi yang masih bersifat progresif relatif pada setiap kebudayaan umat manusia (Miller dalam Reynaldi: 2023).
Masa sekarang perkembangan teknologi digital hampir menjadi tidak terkontrol, adanya perubahan baru yang disebabkan oleh digitalisasi sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang sangat baru di tengah masyarakat, melainkan pembaharuan yang timbul akibat budaya yang telah ada sebelumnya. Perkembangan sosial budaya yang terjadi di era digitalisasi ini memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia, positifnya seperti dekomersialisasi dan munculnya kebebasan pada setiap orang untuk berkreatifitas, serta mudahnya mobilitas dan akses informasi. Dampak digitalisasi juga dapat membuka cakrawala, serta pengembangan diri melalui media digital. Lain hal, digitalisasi jika tidak difilter dengan optimal, maka akan berdampak buruk pada manusia, seperti penipuan digital, semacam transaksi jual beli dengan menggunakan uang digital.
Contoh lainnya adalah ketika seseorang memahami penggunaan digitalisasi, seperti media cyber, data sains, dan pengelolaan data pada website dapat mengambil keuntungan di tengah-tengah adaptasi masyarakat terhadap new digital era, di mana masyarakat mengalami kebingungan terhadap penyesuaian hal-hal baru, dalam proses penyesuaian sehingga mereka bisa menggunakan atau memainkan peran dalam budaya digitalisasi. Pemahaman yang cukup cepat terhadap budaya-budaya digital, perlu diakulturasikan dengan tepat dan tanggap, untuk menghindari disfungsi digital yang dilakukan oleh oknum. Maka perlu dipelajari bersama peran digital, tak lain untuk mengimbanginya melalui media digital itu sendiri.
Digitalisasi yang terjadi pada umat manusia memiliki dampak positif dan negatif. Keilmuan antropologi digital masih memandang dampak digitalisasi dari kedua perspektif tersebut, dan menolak menggeneralisir, jika hanyak satu pandangan negatif dalam menganalisasi perkembangan digitalisasi pada manusia. Antropologi digital juga ingin mengungkap apa esensi dan makna dari manusia dengan pergolakan digitalnya. Antropologi dalam konteks ini juga tetap melihat fenomena-fenomena digital secara holistik, juga menggunakan konsep relativis, yang mana fenomena tersebut tidak bisa dianggap universal, karena setiap gejala digital memiliki konteks dan komunitas-komunitas tertentu di dalamnya.
Menurut Miller et al. (2012:1–30) ada enam prinsip dasar yang menjadi dasar antropologi digital: Enam prinsip mendasar ini menjadikan studi antropologi tentang fenomena sosial budaya unik di dunia digital, menawarkan perspektif baru kepada masyarakat umum dan komunitas akademis tentang fenomena sosial budaya yang ada.
Perkembangan Digital Telah Memperkuat dan Mengitensifkan Dialektika Alamiah Budaya
Antropologi sendiri dalam melihat fenomena-fenomena digital yang terjadi di tengah masyarakat, memiliki spektrum yang generalis dan partikular, memiliki arah yang dialektika yang sama. Oleh karena itu antopologi digital tidak bisa serta merta mengikuti aliran digitalisasi yang universal, namun juga melihat lingkungan partikular, dimana kelompok kecil pengunaa budaya digital. Bukan berarti juga antropologi digital melupakan dampak negatif dari digitalisasi, namun menjadi komparasi dalam mendeskripsikan hubungan manusia dengan budaya digital.
Manusia Tidak Sedikitpun Menjadi Lebih Termediasi oleh Gencarnya Perkembangan Budaya
Prinsip ini menekankan bahwa dengan adanya budaya digital secara universal bahwa manusia tidak otentik lagi, karena anggapan bahwa media digital telah memberi jarak terhadap manusia sebagai mahluk berbudaya. Streotip seperti itu hanya mematikan dialektika digital dengan manusia. Namun lain hal perlu ditelisik, bahwa yang perlu dipertanyakan, bukan seberapa streotip terhadap negatif positifnya budaya digital terhadap umat manusia, tetap mengapa hadirnya digitalisasi untuk memediasi hubungan antar manusia. Dapat dicontohkan, seperti orang-orang perkotaan yang lebih termediasi oleh digitalisasi dibanding orang-orang suku pedalaman, bukan beerarti mereka tidak berbudaya. Bahkan dapat diduga, orang suku pedalaman tersebut dapat lebih bijak dalam menanggapi merebaknya digitalisasi.
Pendekatan Antropologis dengan Etnografi Berfokus pada Kerangka Proyek Tertentu, Tetapi juga Lebih Luas dari Kerangka Tersebut
Hal ini juga terkait dengan pendekatan antropologis yang holistik, dalam melihat fenomena-fenomena digital dalam perspektif sosial budaya tidaklah bisa dalam satu sudut pandang. Misalkan ketika ingin meneliti fenomena pada media sosial, tentunya untuk mendapatkan keholisitikan, serta komparasi yang bervariasi, tidak hanya melihat dari satu media, namun juga dari berbagai sudut pandang media secara relaitivis.
Digital Anthropology Menegaskan Pentingnya Kembali Kepada Relativisme Kebudayaan dan Sifat Global Perjumpaan dengan Digital
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam memandang fenomena digital, masyarakat tidak bisa menggeneralisir (Homogenisasi) budaya digital yang berdampak terhadap masyarakat. Namun pada masyarakat tertentu seperti termarginalkan, bahwa dengan adanya digitalisasi dapat membuka kebebasan oleh mereka. Antropologi memandang bahwa tindakan homogenisasi digital merupakan bentuk menggeneralisir budaya digital, yang hanya melihat dengan cara eurosentrisme.
Meningkatnya Ambiguias Keterbukaan dan Penutup Terhadap Budaya Digital
Muncul digitalisasi dianggap sebagai era keterbukaan manusia terhadap era kemudahan dalam mengakses data dan informasi, serta mempermudah pekerjaan manusia. Dampak lain yang dirasakan adalah ketika informasi yang didapat melimpah ruah, dan manusia sebagai pengguna di dalamnya. Ketika dengan melimpahnya informasi tersebut, manusia tidak bisa lagi menyaring dengan baik, maka akan berdampak terhadap keberlangsungan hidup manusia, seperti gagalnya keterhubungan antar manusia yang termediasi oleh media digital.
Mengakui Materialitas Budaya Digital Tidak Lebih dan Kurang Dari Dunia Nyata
Prinsip ini antropologi digital tidak menanggap bahwa dunia digital bukanlah hal yang immaterial, namun juga melihat beberapa sisi material dari budaya digitalisasi. Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan sisi material dunia digital, di antaranya; materialitas dari infrakstruktur dan teknologi digital, konten digital, dan materialitas konteks digital. Ketiga pertimbangan tadi menjadi produk-produk digital, sehingga wujud dari digitalisasi menjadi lebih nyata. []
Penulis: Atthoriq Chairul Hakim
Editor: Muhammad Subhan