Oleh Aldi Rijansah

ORANG yang pertama diambil alih tubuhnya adalah Jerry. Makhluk seperti gumpalan lumpur berdaging itu menerkam lalu menelannya bulat-bulat dalam sekejap. Yang lain boleh saja mengelak pura-pura tak terjadi apa-apa dan mengatakan aku salah lihat karena gelap, tapi aku sangat yakin bahwa Jerry sekarang sudah tiada. Dan Jerry yang sekarang sedang bersama kami ini adalah palsu.

“Apa yang kau katakan, tidakkah kau lihat dia baik-baik saja?” Ucap Tom kepadaku sambil menarik-narik pipi Jerry palsu.

Ouch, sakit tahu.”

Dia terlihat tidak mengalami luka apapun. Dan pakaian yang dia kenakan sama seperti sebelumnya. Tidak robek atau terkena darah seperti kena serang.

“Aku sungguhan melihatnya diserang di sana,” kataku. “Makhluk misterius itu menyerang Jerry dari belakang dengan cepat hingga ia tak sempat berteriak! Aku berani sumpah.”

“Alah, pakai sumpah segala. Minggu kemarin kau juga bilang begitu soal kucing Tuan Will yang katamu muntah-muntah mengeluarkan ular, padahal kucing itu sehat-sehat saja.”

Yang lain memandangku dengan ekspresi seolah aku sedang bohong sekarang karena kata-kata Patrick. Mereka pasti masih kesal soal kebohonganku mengenai kucing Tuan Will yang ternyata cuma kena diare kemarin.

“Aku tidak bohong! Aku sedang bicara jujur sekarang, orang ini bukan Jerry teman kita,” tudingku ke muka penipu yang sedari tadi diam saja.

Yang lain menghela napas melihat reaksiku.

“Kalian tidak percaya padaku, ya?! Baik, akan kubuktikan kalau aku bicara jujur,” aku lalu meninju Jerry di rahang dengan keras hingga terjungkal, lalu duduk menindih dadanya sambil terus memukul kiri-kanan wajahnya dengan keras sementara yang lain berusaha memisahkan kami.

Patrick menarikku selagi dirinya menahan bagian belakangku, “Apa yang kau lakukan, apa kau gila?”

“Lepaskan aku, Patrick. Lepaskan!” Teriakku. “Orang ini palsu, dia membunuh Jerry teman kita!”

Masih menahanku, Patrick berkata, “Tenanglah, tidakkah kau lihat Jerry terluka karenamu.”

Dibantu Tom, Jerry palsu berdiri. Sudut bibirnya robek mengeluarkan darah. “Kau tak apa?” tanya Tom.

“Aku baik-baik saja,” balasnya meludahkan darah ke tanah. “Aku cuma tidak menyangka kawan kita ini akan menyerangku tiba-tiba”

“Kau….” Tom memandangku sambil menggeretakkan giginya dengan keras.

“Tidak perlu membalasnya,” kata Jerry palsu. “Dia hanya sedang terlalu bersemangat.”

Si peniru ini benar-benar ahli sekali berbohong. Serta berpura-pura lemah.

“Mau sampai kapan kau menahanku?”

Patrick lalu melepaskanku setelah dirasanya aku telah cukup tenang.

“Kau perlu diobati, mari kita kita pulang,” saran Tom. “Dan tinggalkan saja dia sendiri di sini.”

Mereka berdua lalu pulang bersama dengan si palsu itu. Sementara aku melihat mereka menjauh.

Ditinggalkan sendirian, aku pilih tak langsung pulang. Tapi jalan ke tempat di mana terakhir kali kulihat Jerry diterkam. Mencari bukti bahwa temanku itu sekarang sudah mati. Nihil. Aku tidak menemukan sisa jejak apa pun akan kawanku itu. Makhluk misterius mirip gumpalan daging itu seolah melenyapkan Jerry dalam sekejap.

Kucoba lebih teliti memeriksa sekitar. Ada jejak sesuatu yang besar dan berat di permukaan lantai hutan menyeret dirinya. Suatu jejak yang juga meninggalkan lendir. Aku tak berani menginjak atau menyentuhnya, jadi kugunakan ranting untuk mengorek-ngorek cairan tak dikenal itu. Warnanya hijau muda, hampir menyerupai ingus, kecuali yang ini warnanya hampir bening transparan dengan tekstur lebih cair. Dan baunya… tak ada bau. Kucoba cium beberapa kali karena ragu. Ya, lendir misterius ini tak memiliki bau apa pun. Karena cairan aneh ini pasti berasal dari makhluk misterius itu, kukira baunya akan asam atau busuk atau jenis bau tak menyenangkan lain, tapi ternyata….

Sial, aku tak menemukan suatu bukti penting yang akan membuat mereka percaya padaku, mereka hanya akan menganggap cairan lengket ini sekadar getah yang kuambil secara sembarangan dari pohon di sekitar.

*

Walaupun telah kupukul di hutan tempo hari, makhluk peniru itu tak pernah menghindar setiap kali kami bertemu di sekolah. Dia malahan selalu menyapa serta memberi senyum. Senyum hangat yang kini terasa menjijikan karena mengingatkanku pada Jerry yang telah tiada. Dia pasti menganggapku sebagai sebuah ancaman yang suatu hari akan membongkar kedoknya, makanya menyiksaku melalui wajah kawanku itu. Aku sungguh marah sekali!

Kucoba memberitahu para orang dewasa kebenaran mengenai makhluk yang menyusup di antara kami itu. Bu Jenni, wali kelasku, menyuruhku untuk berhenti berkhayal selama dia mengajar di kelas serta lebih fokus mendengarkan materi yang disampaikan. Ayah Jerry bukannya mendengarkan, malah menceritakan bahwa semasa kecil dulu dia juga pernah menganggap pak tua penyendiri beberapa blok dari rumah orang tuanya sebagai seorang alien yang sedang menyamar. Sementara kedua orang tuaku mendengarkan ceritaku selagi kami duduk bersama menonton TV, jadi tak jelas apakah fokus mereka lebih padaku atau ke tayangan komedi yang tengah mereka tonton. Orang dewasa ternyata sulit dibuat percaya.

Aku lalu bertindak sendiri. Menghimbau Tom dan Patrick untuk jangan terlalu dekat-dekat dengan Jerry, karena dia bukan teman kami dan karena dia tentu saja palsu. Sayangnya, mereka juga menolak mendengarkan. Menyuruhku menghentikan cerita konyol mengenai Jerry yang dimakan oleh monster ketika kami iseng jalan-jalan ke hutan kemarin, karena hal itu basi dan menyebalkan untuk didengar terus-menerus.

“Jika kau terus mengatakan hal ini, kami akan berhenti berteman dengamu,” kata Tom kesal.

“Tapi aku sungguhan tidak bohong.”

“Ini lagi. Ini mulai melelahkan untuk terus didengar,” kata Patrick.

Percuma. Mereka sudah dikelabui dengan sempurna oleh Jerry palsu.

Demi keselamatan teman-temanku, kumulai membuntuti Jerry palsu kemanapun pergi. Di samping meneliti cairan lendir misterius yang kutemukan dan mencari bahan riset ke perpustakaan.

Aku takut dia akan makan korban lainnya, lalu menggantinya dengan yang palsu juga. Karena dia tidak berusaha menjauhiku, ini lebih mudah jadinya. Tapi sepertinya makhluk peniru itu masih suka berlindung di balik kedok. Dia melakukan semua kebiasaan yang sering dilakukan Jerry semasa hidup. Seperti sering menggunakan tangan kirinya yang lebih dominan. Menyisakan sayur brokoli yang dibencinya ketika makan siang di kantin, serta mengunyah permen karet setiap jam istirahat kelas. Aku hanya akan mengamati dulu untuk sementara ini.

Sementara untuk cairan misterius itu sendiri, menggunakan lensa molekuler di ruang laboratorium kelas biologi, aku menemukan bahwa itu memang bukan cairan biasa, tapi organisme hidup yang sel-selnya masih aktif serta terus membelah diri. Kucoba melakukan pengujian sederhana seperti meneteskan darah hamster untuk melihat reaksi yang terjadi, dan ternyata di luar yang kuharapkan. Sel-sel asing itu menyerang lalu mengasimilasi sel-sel si hamster. Sifat peniruannya benar-benar hebat hingga tidak terjadi penggumpalan penolakan. Ini membuatku ngeri, tapi kuputuskan untuk terus menelitinya lebih lanjut.

Selain sifatnya yang agresif serta menjajah dengan mudah sel makhluk lain, organisme cairan misterius ini ternyata tak tahan suhu tinggi. Ia akan segera mati ketika kudekatkan sebuah jarum panas padanya. Jadi kelemahan makhluk ini sama saja dengan kelemahan dasar setiap makhluk lain di Bumi: pembakaran.

Aku lalu mengunjungi perpustakaan untuk mencari referensi tentang suatu makhluk peniru yang mencuri wujud manusia. Aku menemukan banyak artikel menarik. Ada Doppelganger yang akan terlihat di hadapan seseorang yang akan mati, troll yang menukar anaknya dengan anak manusia, serta mengenai jin korin di cerita rakyat Arab. Sumber-sumber ini bicara mengenai makhluk non-manusia yang meniru wujud manusia. Tapi karena pembahasannya banyak menyerempet dari sisi mitologi, jadi kubaca cepat dan pilih untuk melewatkannya saja.

Kemudian aku menemukan buku “The Threats From Alien Civilizations to Our Planet,” karangan Heinrich Rudolf Vandermann. Buku ini bicara mengenai Bumi punya peluang besar diserang ras alien dari planet lain, dan caranya tidak akan konvensional seperti menyerang dengan pesawat antariksa penjelajah luar angkasa atau sepasukan alien bersenjata senapan laser macam yang terdapat di film-film fiksi ilmiah, tetapi melalui metode siluman yang membuat manusia tidak akan sadar telah disusupi.

Aku membaca buku ini dengan bersemangat. Di bagian belakang tertulis bahwa penulisnya merupakan seorang profesor Astrobiologi yang sering menerbitkan jurnal serta buku yang membahas mengenai adanya kehidupan makhluk lain di planet asing. Juga beberapa buku sains fiksi. Aku ingat bahwa hutan tempat Jerry menghilang memang dulu sering dirumorkan terjadi penampakan piring terbang. Atau Wendigo atau manusia serigala. Aku merasa telah menemukan setitik cahaya terang dalam sebuah kegelapan.

*

Karena sampai sekarang tak ada yang percaya, jadi kuyakin tak ada yang mau bantu juga. Maka kuambil tindakan sendiri. Aku harus cepat bertindak. Kubeli tali tambang, sarung tangan karet, lakban hitam, dan Mentos di supermarket. Petugas kasir yang memeriksa belanjaanku sempat bertanya untuk apa semua ini dan siapa yang suruh.

“Ayah yang suruh. Dia mau bikin ayunan sederhana buat adik perempuanku. Tapi dia sedang sibuk sekarang, jadi menyuruhku untuk beli perlengkapan,” kataku. “Kami sendiri sudah punya papan kayu yang bagus sebagai tempat duduk ayunan.”

Dia ber-OK. Lalu tak tanya apa pun lagi.

Barang-barang itu kutaruh di belakang lemari tua di gudang. Aku tak ingin ada orang rumah yang bertanya seperti petugas kasir tadi. Beberapa hari setelahnya kuterus buntuti Jerry palsu kemana pun pergi. Kuperhatikan segala gerak-geriknya.

“Aku punya sesuatu benda menarik yang ingin kutunjukkan padamu,” kataku suatu hari selama jam istirahat sekolah.

“Apa itu”

“Komik Batman edisi terbaru,” kataku. “Kau suka superhero kan, jadi mari baca bersama. Tapi kau tak boleh ajak Tom dan Patrick, cukup kita berdua saja.”

“Kenapa tak boleh mengajak mereka?”

“Aku sedang berantem dengan mereka, juga aku ingin baca edisi terbaru ini denganmu seorang.”

Si palsu ini kelihatan berpikir keras. Tapi setelah kupaksa lebih lanjut dia mau.

*

Dari belakang kuhantam kepalanya, kuikat kedua tangannya menggunakan tali tambang, serta kututup mulutnya gunakan lakban. Tak berhenti di sana, aku juga membungkus kepalanya dengan karung goni untuk jaga-jaga. Baru kali ini kubuat seseorang pingsan dengan tongkat bisbol.

Sengaja kubuat dia bungkam dengan lakban, karena aku tak butuh jawaban apa pun. Yang kutahu adalah aku hanya perlu membuatnya lenyap. Walau cara ini sungguh terlalu frontal buatku. Selagi menunggunya sadar, aku duduk di lantai bobrok rumah tua itu. Ini adalah rumah yang sering jadi tempat mereka bersantai kalau sedang malas berada di rumah. Tempat biasanya mereka baca komik, buku cerita, main monopoli, ular tangga, serta aktivitas menyenangkan lainnya.

Kulihat sosok musuh yang kubenci akhirnya sadar. Tak perlu ada kata-kata terakhir di antara kami, jadi kusiram dia serta seluruh ruangan dengan jerigen bensin (gasoline) lalu kunyalakan korek api. Ruangan segera jadi berwarna merah jingga.

AAAAHHHH!

Dia meraung dengan keras dalam kobaran api yang membakarnya serta rumah itu sementara aku di luar berganti muka, sekarang aku adalah seorang yang baru setelah kedokku terbongkar.[]

Tapir, Juni-Juli 2024

Aldi Rijansah. Menulis beberapa cerita pendek yang terbit di media cetak maupun digital.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Aldi Rijansah.

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan