Anak

Anak adalah anugerah yang harus dibimbing dengan cinta, keteladanan, dan pemahaman zaman.

Oleh Muhammad Subhan

ANAK adalah anugerah. Anak adalah amanah. Anak adalah titipan.

Saat belum sukses, anak sering dikejar-kejar harapan. Pun orang tua. Kadang, segala cara ditempuh untuk membanggakannya. Membawa kepada puncak kejayaan.

Anak-anak zaman ini lahir dalam kenyamanan. Kondisi mereka jauh dari kerasnya masa lalu. Mandi air keran, tidur di kamar berpendingin. Gadget ada di genggaman sejak usia dini.

Dulu, di zaman orang tuanya, air harus ditimba dari sumur. Sekolah ditempuh dengan jalan kaki berkilo-kilo. Untuk sekadar jajan, harus menjual kue, barangkali. Mandi di sungai menjadi pengalaman keseharian. Semua itu membentuk mental yang kuat.

Pemadaman listrik di masa lalu adalah hal biasa. Malam diterangi lampu teplok atau lilin. Belajar di bawah cahaya remang bukan masalah. Meski lubang hidung menghitam karena terhirup asap dari lampu teplok itu.

Bulan dan bintang menjadi teman berbincang di malam hari. Kunang-kunang memeriahkan gelap tanpa keluh.

Anak-anak hari ini mudah terganggu oleh hal kecil. Listrik padam satu jam saja, amarah meluap. Sinyal internet lemot, stres melanda. Ketergantungan pada teknologi membentuk mental yang rapuh.

Namun, potensi generasi hari ini luar biasa. Mereka berpikir lebih cepat. Mampu melakukan tugas ganda. Mereka lebih mahir dalam teknologi. Tapi daya tahan emosi dan kesehatan mental menjadi tantangan.

Dunia anak-anak masa kini berbeda. Benar, tidak adil membandingkan langsung dengan generasi sebelumnya. Pendekatan yang dipakai harus menyesuaikan zamannya.

Gen Z hidup berdasarkan passion. Jika mereka tidak suka, sesuatu akan ditinggalkan. Kepedulian lebih besar pada rasa suka, bukan kewajiban. Generasi Alpha bergerak lebih jauh. Gaya hidup menjadi identitas. Makin banyak gaya, makin bahagia.

Karakter Gen Z dan anak Alpha, segala aktivitas diabadikan dan dibagikan. Makan di kafe, foto dan share. Berwisata, foto dan share. Makanan Korea dan Jepang menjadi tren. Identitas dibentuk dari apa yang terlihat di media sosial.

Memahami psikologi dan perilaku anak menjadi kebutuhan utama. Perbedaan zaman menuntut adaptasi. Mengikuti arus zaman, tanpa hanyut di dalamnya.

Tahun 2045 akan menjadi zaman Gen Z dan Alpha. Jika karakter tidak dibentuk dari sekarang, bukan generasi emas yang akan muncul, melainkan generasi cemas. Seperti dikhawatirkan banyak orang.

Atmosfer positif perlu diciptakan sejak dini. Mendorong anak menemukan passion yang tepat. Membangun suasana rumah yang ramah terhadap literasi. Pun di sekolah. Anak-anak harus digiring pada pendidikan seni—selain pada bidang studi utama—salah satunya menulis. Tapi mendorong kebiasaan membaca dan menulis itu tanpa paksaan. Harus muncul kesukaan.

Orang tua dan guru menjadi teman perjalanan anak. Pendekatan preventif lebih efektif daripada pemaksaan. Dialog lebih bermakna daripada ceramah panjang. Etika tetap menjadi batas yang jelas dalam kedekatan.

Pembentukan mental anak bermula di rumah. Pengetahuan bisa diperkaya di sekolah atau kursus. Tetapi karakter tumbuh di lingkungan pertama: keluarga.

Seiring peralihan waktu, pergantian generasi selalu membawa keluhan.

Dulu, kakek nenek mengeluhkan orang tua. Orang tua mengeluhkan anak-anak mereka. Hari ini, keluhan masih berulang. Tantangannya adalah memahami, bukan menghakimi.

Agama tetap menjadi fondasi utama. Ilmu dan seni menjadi tiang dan dindingnya. Karakter dan iman adalah warisan terbesar bagi anak.

Pendidikan anak bukan hanya tentang prestasi akademik. Hidup sehat, stabil emosi, dan pikiran bersih menjadi kunci. Moral dan spiritualitas harus berjalan beriringan.

Kisah Lukmanul Hakim mengajarkan pentingnya nasihat lembut. Bukan kemarahan yang membentuk anak, melainkan keteladanan yang tulus.

Kesehatan jasmani menentukan kekuatan rohani. Stabilitas emosi anak terbangun dari ketenangan orang tua. Kata-kata lembut lebih berpengaruh daripada seribu nasihat keras.

Ucapan maaf, terima kasih, dan tolong menjadi dasar etika sederhana. Kata-kata itu harus diajarkan sejak kecil. Karakter anak ibarat tunas. Jika dipatahkan terlalu keras, akan rusak selamanya.

Cara pandang anak terhadap hidup penting diperhatikan. Ada kalanya orang dewasa salah memahami dunia anak. Kesadaran anak akan terbentuk pada waktunya sendiri.

Albert Einstein pernah berkata, “Jika ingin anak-anak cerdas, bacakan dongeng. Jika ingin mereka lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng.”

Nelson Mandela menegaskan, “Anak-anak adalah harta terbesar. Mereka yang menyalahgunakannya, menghancurkan masa depan bangsa.”

Billy Graham mengingatkan, “Warisan terbaik adalah karakter dan iman, bukan materi.”

Oscar Wilde menulis, “Cara terbaik membuat anak-anak menjadi baik adalah dengan membuat mereka bahagia.”

Johann Wolfgang von Goethe menuturkan, “Anak-anak harus diterima dan dicintai apa adanya.”

Paulo Coelho menambahkan, “Anak-anak mengajarkan bahagia tanpa alasan, selalu sibuk, dan tahu apa yang diinginkan.”

Pun Jawaharlal Nehru berkata, “Anak-anak adalah tunas bangsa, harus dirawat dengan penuh kasih.”

Pablo Picasso memperingatkan, “Setiap anak adalah seniman. Tantangannya adalah menjaga jiwa seni itu tetap hidup ketika mereka dewasa.”

Anak adalah masa depan. Anak adalah cahaya. Anak adalah harapan. Mereka butuh cinta, bimbingan, dan ruang untuk tumbuh menjadi diri mereka sendiri. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan