Oleh Uus Hasanah

BEGINI, kali ini aku akan bercerita tanpa tedeng aling-aling. Tak perlulah kiranya untuk mendeskripsikan detail tempat dan suasana. Sebab, jujur saja, aku terlalu muak.
“Muak pada siapa?”
Hah?!
Kamu masih sempat-sempatnya bertanya begitu? Jelas muak pada keadaan ini.
Tahu rasanya menjadi anak dari seorang ibu?
Biar kuperjelas, ya!

Anak yang hanya terlahir dari seorang ibu? Begitulah kira-kira identitasku. Untung saja negara ini punya sedikit keadilan, paling tidak terkait dokumen resmi para penduduknya. Alhasil, aku jadi memiliki akta kelahiran, meskipun terpampang nyata: Telah lahir anak dari seorang ibu…

Aku pun terdaftar di KK, meskipun tanpa nama ayah kandung. Kalau tidak, bisa makin kacau hidupku. Sebab, tanpa akta dan KK, aku tak akan bisa melanjutkan sekolah. Begitu kata guruku waktu SD. Dan kalau tidak bersekolah, mungkin masa depanku akan lebih suram dibanding ibuku yang tidak tamat SMP.

Padahal, seiring berjalannya waktu, pikiranku sedikit berubah. Tidak menutup kemungkinan jikalau aku tidak sekolah, hidupku akan jauh lebih merdeka dan berdaya tanpa sekat-sekat pemikiran dan cara belajar yang menyesuaikan kebijakan penguasa.

Tapi, ya sudahlah. Aku akan sedikit mengungkit dari banyaknya keuntungan-keuntunganku memakan bangku sekolah. Aku pernah menjuarai lomba bertutur jenjang SD pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Kabupaten Indramayu. Aku juga pernah menyabet juara 2 pencak silat kategori Fighter pada ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN). Juga pernah naik podium 1 pada ajang kejuaraan daerah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) kabupaten.

“Perempuan kok belajar silat?”

Iya, dong! Sini, biar kutonjok mukamu yang sok nyinyir dan suka membatasi apa-apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan dalam berekspresi dan berkarier.

Biar kutonjok pula laki-laki yang telah menitipkan benih kepada mamahku, kemudian meninggalkan kami berjuang sendiri.

Sial! Sebab pelariannya, status sosial “anak haram” terpampang besar di jidatku sepanjang hidup.

Memang, sih, sekarang mereka mulai tidak lagi berisik jika ada perempuan yang hamil di luar nikah. Aku kasih tahu, ya, di antara mereka yang mengerti dan teredukasi, lebih banyak dari mereka yang ternyata keluarganya juga mengalami apa yang Mamah dulu rasakan. Tegasnya, sini aku bisikin: “Sudah maklum.” Paham, kan?!

Tapi poinnya bukan itu. Aku ingin bicara soal statusku. Hemhmh!!!

Di sisi lain, aku bersyukur. Kalau saja laki-laki bedebah itu memilih bertanggung jawab, apakah akan menjamin Mamah dan aku akan hidup setenang dan “sebahagia” ini?

Saya pastikan: tidak!

Buktinya, dia lari. Berarti dia brengsek, dong. Nah, kalau Mamah menikah dengan pria brengsek itu, bukankah batin Mamah akan jauh lebih terluka? Mungkin saja akan KDRT. Atau tidak mau menikahi, namun memaksa Mamah menggugurkan kandungannya.

Habis sudah! Aku yang masih rapuh, lalu diracuni jamu, dipatah-patahkan di dalam rahim.

Ih…!! Ngeri sekali.

Atau menggantungkan keputusan sampai akhirnya Mamah melahirkan kemudian  brengsek itu menyuruh mamah membuangku. Aku dibuang di got, di semak-semak, di tempat sampah, dengan ari-ari yang belum terpotong, dengan badan membiru karena kedinginan, dan tubuh yang dikerubuti semut. Atau paling baiknya, ya, ditaruh dalam kardus, diletakkan di depan rumah orang dengan selimut, botol susu, dan secarik kertas.

Atau….

Ah!

Aku tak tega meneruskannya.

Tapi, puji syukur… beruntungnya aku memiliki ibu seperti Mamah. Dia berani memutuskan untuk merawatku, meskipun kehadiranku dalam rahimnya membuatnya menebar aib pada keluarga. Dia berani menantang dunia, memutuskan untuk tetap merawatku. Bahkan dengan rela pontang-panting bekerja dan menyisihkan receh untuk tabungan sekolahku.

Sekali pun, dia tak pernah mengajariku untuk diam tertindas, meskipun kutahu, ia sendiri rapuh.

Aku ingat betul, saat jam olahraga, aku pernah menendang muka kakak kelas laki-laki yang mengejekku tak punya bapak. Sontak saja, hidungnya berdarah dan dilarikan ke klinik terdekat. Meskipun aku masuk ruang guru, jujur saja aku puas. Sebab setelah itu, tak ada lagi yang berani membuliku. Apalagi setelah prestasiku di sekolah patut diperhitungkan guru dan siswa lainnya.

Terima kasih, Mamah….

Wajahnya yang kian menunjukkan tanda keriput dengan KTP yang masih berstatus “belum kawin”, jelas menggambarkan trauma itu tak bisa terselamatkan. Dia memilih sendiri sampai saat ini.

Dan… ah…!!

Dia tak henti-hentinya menangis tergugu dalam pelukanku saat calon besannya menelepon dan membatalkan pertemuan lamaran, setelah sebelumnya aku bilang bahwa wali nikahku nanti oleh wali hakim. Sebab aku tak punya bapak…. Tak henti-hentinya ia katakan, “Maafkan Mamah, Nak. Maafkan Mamah.”

Aku hancur? Ya, tentu saja.

Dan menyaksikan kepiluan Mamah karena rasa bersalahnya, tentu lebih membuat tegarku makin melarat.

*

Mah….

Pengharapan Mamah terhadap baiknya masa depanku begitu besar, ini terbukti dengan kekecewaan mamah terhadap kegagalan rencana pernikahanku yang meluluhlantakkan hari-hari kita belakangan ini. Aku harus keluar dari pergumulan rasa seperti ini.

Mah…. Aku harus kuat, sebab, kata dosen Filsafatku waktu itu, kebahagiaan dan penderitaan adanya di pikiran. Jadi mau bahagia, mau menderita, itu tergantung bagaimana cara berpikir kita.

Lagi pula, apalah yang aku alami ini, meskipun lahir dari seorang ibu, nasibku jelas lebih beruntung dibanding ratusan perempuan (perawan remaja) yang terekam dalam catatan Pram. Banyak di antara mereka merupakan putri dari pejabat atau bangsawan yang memiliki cita-cita mulia untuk bangsa ini, diangkut dari  pelosok negeri dengan propaganda hendak disekolahkan, diberi pendidikan ke Tokyo, namun nyatanya dijadikan budak seks oleh  tentara jepang. Mereka dirudakpaksa, mati dalam kenestapaan, hidup penuh pilu terbuang dari tanah kelahiran.

Mah….

Aku tumbuh dengan sepenuh cintamu. Hidup dalam pelukan aman dan teduh. Pendidikanku kau upayakan dengan halalnya peluh. Maka, biarlah Tuhan saja yang menuntun. Mari kita menari pada jalan yang Tuhan takdirkan.

“fa inna ma‘al-‘usri yusrâ. Inna ma‘al-‘usri yusrâ.”

…..

Malam hendak lepas dari pelukannya, gerimis berdenting syahdu, dia tertidur di meja belajar. Pipinya merebah pada buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer. Musik mengalun tenang dari salah satu jendela di layar laptopnya.

Rela relakanlah
Yang bukan untukmu bukanlah untukmu
Tenang tenangkanlah
Yang harus terjadi pastilah terjadi

….

(Teramini Cipt.Ghea Indrawari)

Sebuah pena yang tergeletak di atas buku harian dengan tulisan yang belum rampung perlahan tergelincir dan jatuh ke lantai. Dan “Ping!” tanda semesta tak pernah menutup mata. Notifikasi email masuk bersamaan di gawai dan laptopnya: Pengumuman hasil seleksi substantif Beasiswa Reguler Jenjang Magister dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).[]

Indramayu, Juni 2025

Uus Hasanah, lahir di Indramayu, 1992. Tengah menekuni dunia kepenulisan dan menjadi anggota Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Uus Hasanah

Editor: Neneng J.K.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan