Oleh Chie Setiawati

“KAPAN kamu akan menentukan sikap?” tanyanya, suatu hari di saat panas sedang melanda dan haus menggelitik tekak. Aku berusaha memalingkan wajah, namun lengannya mencengkeram lenganku dengan kuat.

“Nanti, jika saya sudah yakin.” Akhirnya aku berani menjawab meski dengan suara tersekat di tenggorokan.

Wajahnya serius menghadap ke arahku. Hidung kami hanya berjarak satu jengkal. Bahkan embus napasnya terasa begitu kuat. Sorot mata itu lebih tajam dari setiap ucapannya. Aroma kemarahan sudah dapat aku rasakan.

“Masih belum yakin, atau tidak berani mengambil keputusan?” usutnya lagi.

Kutarik wajah menjauh dari hadapannya setelah cengkeraman lengannya melemah. Membetulkan letak duduk, sambil menghitung ruas jari. Sudah berkali-kali pertanyaan itu dia ajukan dengan ekspresi yang nyaris sama.

Kuhirup napas dalam-dalam sebelum mengembuskan ke udara dengan gamang. Ini bukan perkara mudah, menentukan sikap, mengikuti maunya, sungguh sesuatu yang sulit. Sementara pilihan hatiku berlawanan dengan pilihannya.

Apakah aku tak punya hak bersuara? Meski dia beri kebebasan, tapi sorot matanya memaksaku mengikuti kehendaknya. Terlebih, kalimat yang dia lontarkan selalu bernada sama, mengejek dan merendahkan.

“Bagaimana? Masih belum yakin?” ulangnya lagi.

Diam kembali, kubiarkan dia dengan pikirannya dan aku menenangkan pikiran sebelum menjawab “Andai” diam sesaat “Saya punya pilihan sendiri?” Akhirnya, kalimat itu pun pecah juga.

Sorot mata itu semakin tajam menatapku. Dia berdiri lalu pergi sembari mengentakkan kakinya dengan kesal. Sementara aku merasa terlepas dari beban yang selama ini menindih.

Aku ingin menangis, tapi rasanya terlalu cengeng. Toh, ini sudah keputusanku memilih pilihan yang berbeda darinya dengan konsekuensi berani menandatangani surat talak.

Semenjak beberapa bulan lalu, saat Burhan sahabat baiknya mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan kampanye mulai digaungkan, dia, Kang Paijo, suamiku, ikut sibuk dengan berbagai kegiatan kampanye. Bahkan ikut juga menyumbang segepok uang tabungannya.

Aku sebagai istri sahnya tentu merasa kecewa atas sikap berlebihannya. Apalagi uang tabungan itu sudah dicadangkan untuk biaya pendidikan putri kami satu-satunya. Uang yang kami tabung sedikit demi sedikit, begitu saja Kang Paijo berikan kepada Burhan untuk kampanye. Saat itu aku protes keras, namun, apa daya aku hanya wanita biasa, istri yang tidak punya penghasilan tambahan.

“Kamu tak perlu risau, nanti kalau Burhan terpilih sebagai kepada daerah, uang kita akan kembali. Percaya!” ucapnya dengan yakin.

Aku memalingkan wajah dengan gusar. Hati kecilku sangat berlawanan dengan harapannya. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Kang Paijo terlalu berkuasa dalam rumah ini. Tak ada yang dapat menentang semua perkataannya. Tak ada yang berani menolak setiap keinginannya.

“Pokoknya Ayah harus tanggung jawab, Wulan mau kuliah. Titik!” Ancaman Wulan, putri kami, seperti mata panah yang sedang diasah dan siap meluncur menuju jantung.

Aku sendiri sangat tidak yakin akan keputusan Kang Paijo. Bagaimana dia bisa begitu yakin dan pasti bahwa Burhan akan terpilih sebagai kepala daerah? Sementara kinerjanya saja tak terlihat. Tak ada bukti akurat atas keberhasilannya dalam memimpin, selain ijazah sebuah universitas terkenal di Amerika sana.

Apakah ijazah saja sudah cukup mendukung dan jaminan atas kerjanya nanti? Aku merasa seperti orang bodoh jika ikut memilihnya. Hatiku benar-benar tidak yakin akan keputusan sembrono Kang Paijo.

Begitu berpengaruhnyakah Burhan, hingga Kang Paijo mempertaruhkan masa depan Wulan, putri kami satu-satunya? Hanya demi sebuah jabatan yang masih dalam angan-angan. Sungguh tidak rasional sekali pemikirannya. Lalu aku bisa apa? Protes pun percuma.

Memang, selama ini aku hanya mengandalkan Kang Paijo dalam mencari nafkah. Tugasku hanya mengurus anak dan suami. Menjaga hartanya dengan baik, sekaligus tunduk pada semua peraturan rumah tangga.

Aku tahu kewajibanku, tapi aku pun punya hak bersuara. Sementara, hakku telah dirampas sepenuhnya oleh Kang Paijo hanya demi sebuah proyek bergengsi yang direncanakan olehnya, itu pun jika nanti Burhan terpilih dan Kang Paijo akan mendapat proyek besar pembangunan sebuah pasar modern di wilayah kekuasaan daerah. Akan tetapi, jika Burhan tidak terpilih? Bagiku ini seperti perjudian kasino.

Aku terhenyak, kenapa, ada apa dengan pemikiran Kang Paijo? Apakah pekerjaannya selama ini kurang cukup menjanjikan masa depan? Atau kurang bergengsi? Kurang dihormati? Kurang mendapatkan pujian? Aku merasa kami sudah lebih dari berkecukupan. Bisnis Kang Paijo lumayan besar, buktinya kami bisa membeli mobil, rumah, dan perabotan modern. Aku bisa memiliki perhiasan, pakaian bagus, begitu pun Wulan. Semua kebutuhan primer dan sekunder kami terpenuhi dengan baik. Lalu mau beli apa lagi?

“Aku mau menggadaikan rumah ini!” ucapnya saat itu.

Mendengar ide gila tersebut, mendadak sekujur tubuhku lemas. Lidahku kelu, pandanganku tiba-tiba buram. Aku hanya mampu terdiam, bersandar dengan separuh jiwaku kosong.

“Rencana apa lagi ini?” ucapku pelan.

“Kamu perempuan tahu apa? Lebih baik dukung suamimu ini, jangan banyak protes!” Suara Kang Paijo begitu keras membuat aku semakin lemas.

“Kalau Burhan terpilih, aku akan mendapat proyek besar. Kamu juga yang senang. Aku lakukan demi masa depan kita, Nis. Camkan itu!” ujarnya dengan berapi-api. Sorot mata Kang Paijo lebih tajam dari rencana gilanya.

“Lalu kita akan tinggal di mana?”

Kang Paijo terdiam, matanya menerawang ke langit-langit kamar. Jarinya mengusap-usap dagunya dengan pelan. Aku tahu, Kang Paijo sedang berpikir dan aku berharap pikirannya berubah lalu melupakan rencananya untuk menggadaikan rumah.

“Nanti kita tebus, setelah Burhan dilantik!” Nadanya masih sangat yakin.

“Kalau gagal?”

Tiba-tiba Kang Paijo menatapku seperti hendak menerkamku. Hatiku menciut, aku hafal betul, Kang Paijo pasti marah mendengar perkataanku.

“Istri macam apa kamu! Bukan mendukung suami, malah berpikir yang tidak-tidak. Keputusanku sudah bulat, rumah ini akan aku gadaikan, dengan atau tanpa izinmu!”

Suaranya menggelegar ke seisi kamar. Di balik pintu yang tak tertutup rapat, aku melihat Wulan berdiri risau. Pundaknya turun naik menahan isak. Aku dapat merasakan kegundahannya, sama seperti yang aku rasa.

“Kang! Saya mohon, pikirkan lagi, kang. Kasihan Wulan!”

“Baiklah, sekarang kamu tentukan pilihan, mendukungku atau kita bercerai!”

Bagai petir menggelegar, menyambar hatiku yang sejak tadi sudah gemetaran.

Astaghfirullah, Kang. Istigfar, Kang!” Aku tak dapat lagi menahan tangis.

“Sudah aku pikirkan baik-baik. Kamu perempuan tak berguna, tidak mendukung suami. Coba kau lihat istrinya Burhan, dia mendukung suaminya. Tidak seperti kau!” Mendengar ucapannya yang berapi-api membuatku semakin takut.

Jika pada akhirnya aku setuju untuk bercerai dengan talak satu, itu semata hanya untuk menyadarkannya dari kekhilafan dan kebutaan dunia. Aku memang tak berani mengambil risiko kehilangan, aku takut melihat Wulan menderita. Sementara Kang Paijo begitu berambisi berada di kulminasi atas dalam kehidupan.

Melihat pemberitaan tentang politik, membuat aku tak dapat tidur nyenyak, belum lagi menghadapi Kang Paijo yang begitu menggebu mendukung Burhan. Dia belum sadar, dalam politik tak ada sahabat, tak ada saudara, semua adalah musuh dalam selimut. Kelicikan, kecurangan, saling menjatuhkan dengan halus, saling sikut yang penting bisa mencapai tampuk kekuasaan tertinggi.

Bagaimana jika nanti Burhan terpilih menjadi kepala daerah lalu melupakan pengorbanan Kang Paijo? Hal itu bukan mustahil terjadi. Apa pun akan dilakukan politikus, asal tujuannya tercapai.

Membayangkan itu, aku sangat takut. Takut kang Paijo jatuh, takut Kang Paijo silau lalu melakukan kecurangan-kecurangan seperti berita-berita yang ramai disorot publik, yaitu korupsi. Meski aku berharap hal itu tak terjadi, tapi tidak mustahil hal itu bisa terjadi juga. Dan aku, hanya ingin yang terbaik untuk keluargaku, agamaku, dan bangsaku.

*

Sudah hampir dua bulan aku dan Kang Paijo berpisah. Tak ada komunikasi apa pun, bahkan untuk urusan anak, Kang Paijo tak merespons pesan-pesanku.

Wulan putriku pun tak menanyakan keberadaan ayahnya. Dia terlalu sibuk mempersiapkan ujian akhir sekolah. Dan aku pun tak ingin mengusik konsentrasinya belajar dengan mengajaknya berdiskusi tentang masalahku dengan Kang Paijo. Biarkan Wulan mempersiapkan masa depannya tanpa harus ikut terlibat urusan orang tua.

Udara siang ini begitu sejuknya. Semilir angin menerobos masuk lewat celah ventilasi dan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Suara gesekan daun bambu seperti instrumen musik penghantar tidur. Rasa kantuk mengelus mata, sejenak aku pun terlelap di atas sajadah setelah menunaikan salat Zuhur.

Menjelang sore, sebuah tepukan lembut membangunkanku dari lelapnya tidur siang. Seraut wajah teduh dengan senyum penyejuk jiwa milik ibuku berada tepat di depanku. Sorot matanya penuh cinta kasih, genggaman jemarinya begitu lembut namun menguatkanku.

“Bangun, Nak! Ada yang ingin Ibu katakan!” Suara lembut Ibu terdengar seperti menyimpan sebuah cerita yang begitu berat untuk diungkap.

Aku mengambil posisi duduk menghadap ke arahnya. Kami pun duduk berhadapan sambil bertatapan. Jemari Ibu meraih lenganku, lalu menggenggamnya dengan sangat erat.

“Kamu harus kuat mendengarnya!” Sejenak mata Ibu menatap mataku dengan tajam. Aku mengangguk sambil membalas genggaman lengannya.

“Suamimu .…” Ibu kembali terdiam, ada rasa gelisah yang tiba-tiba hadir.

“Ibu …!” ucapku lirih.

“Suamimu, Nak, dengan Burhan!” Ibu kembali terdiam. “Tadi, polisi menangkap mereka di rumah perjudian!”

Mendengar kata-kata Ibu yang begitu pelan namun seperti petir yang menggelegar, membuat hatiku terasa tersambar. “Mana mungkin Kang Paijo berjudi,” gumamku.

Ibu menarik kepalaku ke dalam pelukannya. Tanpa terasa air mataku tumpah di dada Ibu.

Aku kenal Kang Paijo sebagai suami yang bertanggung jawab, taat beribadah, rajin menghadiri pengajian, lalu bagai mana mungkin dia bisa berada di rumah perjudian itu?

“Ibu!”

“Temui suamimu di kantor polisi. Beri dukungan. Dia hanya khilaf. Yah!” ujar Ibu pelan.

Ibu, aku tak bisa sepertimu. Selama ini aku melarikan diri dari tanggung jawab sebagai istri hanya karena sebuah pilihan yang berbeda dari suamiku.

“Mau Ibu temani?”

Aku tak dapat berkata apa-apa lagi selain mengangguk. []

Chie Setiawati. Bergabung dengan komunitas Penyair Perempuan Indonesia (PPI). Karyanya telah dimuat di beberapa surat kabar online dan cetak. Masuk dalam antologi Rainy Day Banjarbaru (2018). Almunus Munsi (2018), Pertemuan Sastrawan Nusantara (2022), dan Jambore Sastra Asia Tenggara (2024).

Gambar ilustrasi diolah tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Chie Setiawati

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan