Oleh May Wagiman

LAKI-LAKI itu kadang geli sendiri mengapa orang percaya begitu saja dengan apa yang mereka dengar. Apakah mereka percaya karena kisah itu keluar dari mulut seorang berpenampilan necis dengan gaya berbicara yang meyakinkan? Rian mesem-mesem sendiri sambil terus berkutat di depan laptop. Excel pembukuan stok barang masih belum selesai dikerjakan. Ia berharap semuanya cepat beres karena sepertinya hari ini juga akan sepi pembeli. Rian sadar bisnisnya tak akan menarik banyak pemasukan. Namun, ada sesuatu dari laki-laki itu yang membuat orang tertarik untuk membeli.

Suasana toko dibuatnya seartistik dan sesemringah mungkin. Ia tak ingin tamunya membayangkan lapak redup yang berkesan menyeramkan. Dinding dipulas cat berwarna krem terang. Jendela displai tinggi diberi bingkai berwarna emas elegan. Lampu-lampu juga ditempatkan pada posisi strategis. Meskipun demikian, pastinya tak setiap hari orang membeli barang antik.

Matanya lalu memindai barang-barang koleksinya. Sebagian besar barang-barang itu adalah hasil eksplorasi. Ia mencari kreasi-kreasi unik dari berbagai tempat. Beberapa barang didapatkannya secara percuma. Namun, bila tertarik dengan sesuatu yang langka, tak segan ia menawarkan untuk membeli. Area hunting-nya biasanya kota-kota kecil di Pulau Jawa.

Kecuali, guci cokelat yang berdiri di atas meja di tengah ruangan. Guci setinggi 54 sentimeter ini didapatkannya dari seorang sepupu yang tinggal di Kota Singkawang. Rumah kerabat dari sisi ibunya itu dipenuhi guci tua besar dan kecil.

Begitu tahu hobi Rian mengoleksi barang-barang kuno, sepupunya bertanya, “Suke ta kau, Rian?” Logat Melayunya terdengar sangat kental. Sepupunya menunjuk dua buah guci berhiaskan naga.

Riwayat serta asal-usul barang–Rian berpikir–mungkin penting bagi pemilik toko barang antik. Bagi Rian, hal itu bukan prioritasnya. Asalkan suatu barang terlihat kuno dan berdesain unik, itu sudah cukup. Ia dapat menyematkan berbagai macam kisah pada barang-barang tersebut. Ingatannya tertuju pada satu guci yang berhasil dijualnya minggu lalu.

Tamu itu berpenampilan simpel. Rian yang selain teliti dengan penampilan tokonya, juga teliti dengan penampilan tamu-tamunya. Penampilan, cara berbicara, dan pengetahuan mereka tentang barang antik memengaruhi cerita dan harga barang.

Penampilan minimalis sang tamu tak mengecohkannya. Rian dapat melihat kualitas bahan dan potongan pakaian yang klasik. Pasti dibuat oleh penjahit berpengalaman, atau setidaknya dibeli di butik mewah. Kondisi kuku tamunya yang terawat rapi berpulas cat warna elok pun tak lepas dari pengamatan. Pasti orang ini tak harus bersih-bersih di rumah dan punya banyak waktu dan biaya untuk pergi ke salon perawatan.

Namun, saat Rian menyapa, ada sesuatu yang tak sesuai–menurut pengamatan subjektifnya, dengan penampilan luar yang dilihatnya. Apa usia sebenarnya jauh lebih muda di balik pulasan wajah menor itu, renung Rian.

“Siang, Mbak. Mau minum apa, ada kopi atau teh dingin.”

Alis perempuan itu terangkat. “Asyik, ada minuman. Mau, dong. Kopi dingin.”

Sebuah gelas kristal antik diletakkannya di atas tatakan kayu bercorak tradisional Toraja. “Silakan, Mbak.” Tamunya sedang melihat-lihat guci dari Singkawang.

“Mbak suka guci dari dinasti Ming atau guci yang lebih muda umurnya?”

“Hmm, apa aja, sih. Lagi cari hadiah, nih, untuk ulang tahun Mami. Dia koleksi barang antik,” jawab tamunya sambil menyeruput kopi dingin. Perempuan itu diam-diam memperhatikan Rian. Jarang ia melihat pemilik toko yang begitu perhatian dengan penampilan mereka. Pemilik toko ini tak banyak bicara, tetapi seperti ada sesuatu yang memberinya kesan tertentu. Susah untuk dijelaskan, pikirnya.

“Ah, guci Sri Rejeki itu tepat, Mbak. Itu memang bukan dari masa dinasti Ming, tapi estimasinya dibuat di abad ke-19. Glasirnya masih mengilap. Kondisinya juga mulus. Bentuk naganya juga khas era itu. Mbak lihat, ini ada cap keasliannya.” Rian tersenyum meyakinkan sambil menunjuk bagian atas perut guci.

“Oh, gitu. Seru juga,” ujar calon pembelinya. Terdengar jelas tak tertarik.

“Konon pembuatannya juga makan waktu lama. Ornamen, glasir, dan pewarnaan semuanya betul-betul diperhatikan.”

Berapaan?”

“Saya membelinya agak mahal dulu. Tapi karena ini untuk hadiah, sembilan juta saja, Mbak.” Wajah Rian menampakkan ia sudah merugi.

“Hmm ….” Mata perempuan itu memindai barang lain sekilas sebelum melirik jam Chanel di tangan kirinya.

Rian bersiap untuk menawarkan harga yang lebih murah.

“Bisa pakai kartu kredit atau kartu debit, enggak?”

Hoki lagi bagus, katanya dalam hati. Ingatan minggu lalu ditarik kembali ke spreadsheets di depannya. Satu barang menjolok matanya. Barang yang sudah lama tak terjual. Ia langsung menyoroti jam lantai di pojok ruangan.

Meskipun Rian mengakui pembuatan jam itu cukup kokoh, namun objek itu bagaikan gajah di pelupuk mata. Terlalu besar dan mencolok. Dua kata singkat yang terlintas di kepalanya: menyakitkan mata. Bahannya seperti asal comot. Desain murahan. Bandul bulat terpulas warna emas norak. Pastinya bukan asli dari Jerman.

Jam lantai itu tetap ada di toko karena ia berharap suatu hari nanti ada yang tertarik untuk membeli. Rian percaya barang rongsokan untuk satu orang dapat menjadi barang berharga untuk orang lain. Ia mendapatkan jam itu secara cuma-cuma. Rian bukan tipe yang menolak barang gratisan. Seorang kenalan memberi–dengan setengah memaksa–barang peninggalan ayahnya yang sudah lama wafat.

Keinginan untuk secepatnya menyingkirkan–sekaligus mendapatkan keuntungan membuatnya memutuskan untuk menawarkan dengan harga rendah.

Jalan pikiran di kepalanya terganggu oleh bunyi notifikasi yang datang beruntun. Rian mengambil ponselnya.

“Om Rian, gimana kabarnya?”

“Dua minggu lagi, kalau ada waktu, bisa Lia datang?”

Biarpun jarang, di antara semua keponakannya, hanya Dahlia yang masih menyapa. Rian sudah tak banyak kontak dengan sepupu-sepupunya. Ia selalu ingat keponakannya yang satu ini. Selain rajin menyapa, Dahlia tak pelit untuk memberinya buah tangan setiap kali ada kesempatan. Entah saat keponakannya itu pulang dari dinas luar negeri atau sekadar ingin memberi.

“Anak Lia kebetulan juga lagi libur kuliah. Sudah lama enggak ketemu, ya, kita.”

Rian tak bisa membayangkan anak keponakannya itu. Mungkin sudah besar sekarang, pikirnya. Dahlia hampir tak pernah mengirim foto di grup WhatsApp keluarga mereka. Sering terlintas di kepalanya, kecocokannya dengan Dahlia mungkin karena mereka sama-sama tak aktif di media sosial.

Segera disimpannya ponsel di dalam laci begitu terdengar dentingan lonceng kecil. Seorang laki-laki berjalan masuk.

Pakaiannya lumayan rapi. Sepatu Nike-nya bersih. Warna topi cap senada dengan warna sepatu. Rambutnya tak terlalu kelihatan, tetapi ditata cukup menarik. Tas kanvas The North Face putih diselempangkan di dada. Secara keseluruhan resik. Cukup berada, meskipun tak superkaya.

“Siang, Pak!”

“Siang. Silakan lihat-lihat, Mas.”
Rian lalu menawarkan minuman.

“Wah, saya baru tahu ada toko barang antik menawarkan minuman.”

Rian tertawa sopan.

“Kalau begitu, tolong kopi dingin, Pak.”

Cara bicara baik, pikir Rian. Tamunya itu lalu berkeliling melihat-lihat.

“Ada yang suka?” Rian bertanya sambil menyilakan tamunya duduk. Segelas kopi dingin telah siap di atas meja kecil.

“Saya mau cari untuk hadiah. Bingung dengan dua barang itu.” Tamunya menunjuk jam dinding antik kecil dan jam lantai tua.

Rian hampir terlonjak di kursinya, namun berusaha tenang. “Dua pilihan bagus,” tanggapnya ringan. “Banyak orang mencari dua barang itu,” tambahnya menggombal. Untuk memastikan, ia berkata, “Mas, kelihatannya sering hunting barang antik, ya.”

“Wah, enggak sama sekali.” Tamunya tertawa. “Saya cuma suka desainnya. Kelihatan enggak biasa. Eksotik, gitu. Cocok untuk hadiah.”

Rian hampir menggelengkan kepalanya begitu mendengar ada orang yang menyebut desain jam lantai jelek itu eksotik. Namun, ia berhasil menahan diri dengan mengangguk-angguk. “Tahu, enggak, Mas. Jam dinding kecil itu ada riwayatnya. Tapi, kisah jam lantai lebih menarik lagi,” katanya seraya beranjak dari kursinya. Mata tamunya mengikuti langkah sang pemilik toko sampai ke pojok ruangan.

Mendehem, Rian memulai. “Jam lantai ini kaya sejarah. Mas tahu, jam ini dibuat sebelum perang dunia kedua.” Suaranya terdengar bak seorang ahli. “Alkisah, jam ini pernah jadi hiasan berharga di rumah prajurit pasukan sekutu. Prajurit itu menurut riwayatnya, ikut dalam invasi Normandia yang waktu itu dikuasai Jerman.” Jam lantai yang tingginya hampir mendekati tinggi badan Rian seakan terlihat bangga saat sang pemilik toko menceritakan kisah isapan jempol tentang dirinya.

“Jam lantai antik dan langka dicari orang itu, enggak cuma untuk hiasan, tapi juga untuk investasi,” ujar Rian meneruskan. Ia berniat menjelaskan tentang mekanisme jam kuno yang digerakkan dengan pegas. Namun, mengurungkan niatnya, khawatir tamunya ingin mengecek sendiri.

Pemuda di depannya diam sesaat. Rian sempat berpikir apa mungkin ceritanya terlalu berambisi. Ketika pemilik toko itu akan memulai sales pitch cadangan, tamunya berkata.

“Latar belakang cerita unik bikin hadiah lebih berbobot. Saya terus terang belum pernah beli barang antik, Pak. Jadi agak bingung milihnya. Ada keluarga yang suka, soalnya.”

Rian mengangguk.

“Pasti mahal, ya, Pak. Terutama jam lantai itu.”

Keputusannya sudah bulat. Sang pemilik toko memasang wajah simpati terbaiknya. “Kalau untuk hadiah, enggak akan saya beri harga mahal.” Rian memakai taktiknya.

“Itu barang langka. Semurah-murahnya juga, pasti mahal.”

Pura-pura bimbang, Rian akhirnya berkata, “Lima juta saja, Mas. Ini lebih murah daripada jam itu,” katanya menunjuk jam dinding kecil.

Tamunya menimbang-nimbang lama.

“Bisa kurang lagi, kok, Mas.” Rian akhirnya berkata.

“Saya cuma bisa dua juta, Pak.” Tamunya kelihatan tak yakin apa bisa menawar harga di toko barang antik.

Rian yang tak mau melewatkan kesempatan emas itu segera menyahut, “Oke, dua juta.”

Wajah pemuda itu langsung terlihat lega. “Bisa kirim ke alamat rumah teman saya? Kebetulan rumahnya enggak jauh dari sini.”

Rian bersorak dalam hati, tak percaya dengan keberuntungannya. Secepatnya ia membersihkan dan mengatur pengiriman barang.

Tak banyak yang terjadi selama dua minggu berikutnya. Jam tua dengan selamat telah diterima. Rian merasa pemandangan di dalam toko terlihat lebih semringah.

Hari ini, ia memberikan perhatian ekstra dengan penampilannya karena Dahlia dan anaknya akan berkunjung ke rumah. Bercukur, menata rambut dengan rapi, memilih baju dengan hati-hati, membersihkan sepatu. Semua dikerjakan dengan teliti. Menutup toko lebih awal, Rian berjalan pulang. Ia telah siap menerima kedatangan dua tamunya. Laki-laki itu bergegas berjalan menuju pintu depan begitu mendengar deringan suara bel.

Melihat wajah yang dikenalnya, Rian tersenyum lebar. Namun, dahinya mengernyit begitu melihat sosok di samping Dahlia. Wajah muda di hadapannya juga terlihat agak bingung.

“Om, apa kabarnya? Ini anak Lia,” seru keponakannya mendorong pelan punggung pemuda di sampingnya untuk segera memberi salam. “Kayaknya sudah lupa, ya.” Perempuan itu tertawa.

Pikiran Rian bercampur aduk. Apalagi saat pandangannya tertuju pada sesuatu yang berdiri di belakang Dahlia. Mulutnya ternganga. Setengah sempoyongan ia mendekati untuk memastikan, mengabaikan salam sang pemuda.

Barang itu masih terbungkus rapi, namun dari lapisan plastik transparan pembungkus terlihat jelas bahan kayu pasaran yang sangat dikenalnya. Model desain kelas bawah. Bandul penggerak dengan lapisan emas kodian. Betul-betul tak enak dipandang mata. Pastinya bukan asli dari Jerman, katanya otomatis dalam hati. Rian merasa kepalanya pening. Rasa malu perlahan memenuhi dadanya.

“Semoga suka.” Dahlia berkata. “Itu pilihan anak Lia. Konon itu dulu hiasan di rumah prajurit tentara sekutu ….”[]
*
May Wagiman. Penulis cerpen, cerita anak, serta artikel. Karya tulisannya dapat ditemukan di media daring serta media cetak.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: May Wagiman

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan