Aleeya dan Perang Gaza
Dipta terdiam. Ia seakan kehabisan akal dan kata-kata. Terkadang orang hanya mendengar hatinya, tetapi cinta juga akan menjadi kata-kata yang rumit.

Oleh Vito Prasetyo
SEHARUSNYA Aleeya tak mati. Seorang gadis remaja, yang biasanya berjualan koran dan majalah di salah satu sudut Gaza terkena serpihan peluru. Tembakan yang berhamburan dari pesawat yang tak pernah dilihatnya–pesawat yang sebenarnya melihat Aleeya. Bukankah Aleeya hanya seorang warga sipil yang tidak bersenjata?
Gadis itu seharusnya tumbuh dalam masa-masa bahagia. Masa di saat usianya mulai beranjak dan mengenal persoalan cinta. Hari-hari yang dilewatinya seharusnya penuh impian. Tapi takdir bercerita lain. Hampir setiap waktu, matanya bergelut dengan persoalan-persoalan kemanusiaan. Antara hidup dan mati.
Kisah tragis memang terjadi–babak drama itu nyaris mirip seperti di film-film. Tetapi apa mau dikata, manusia hidup dalam dunia nyata, bukan ilusi seperti dalam animasi film. Kenapa Aleeya harus tumbuh dalam situasi nyata dan mencekam?
Kota menjadi porak poranda. Bangunan luluh-lantak. Langit menjadi kelabu, penuh asap. Orang-orang berlari penuh cemas dan ketakutan. Perang telah membuat mata manusia kehilangan nalar dan logika moral. Perang tidak lagi berpihak kepada keadilan dan kemanusiaan. Seharusnya Aleeya tumbuh dalam masa remaja yang penuh cinta.
Kejadian berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba, tatkala peluru berhamburan dan memborbardir sudut-sudut Gaza. Jika ada pilihan, seharusnya Aleeya tidak berada di sana. Tetapi berita yang dibacanya dari koran setiap hari, seakan membangun naluri kecintaannya kepada bangsa dan tanah airnya. Aleeya harus berbuat sesuatu–demi kemerdekaan tanah Palestina.
Ketika Aleeya berlari untuk menyelamatkan dirinya dari bombardir peluru, secara refleks dia melihat seorang anak kecil terjatuh. Aleeya tak sempat berpikir, dari mana datangnya anak itu. Naluri Aleeya begitu cepat untuk segera menyelamatkan anak kecil itu.
“Allahu Akbar!” Itu yang terdengar dari teriakan Aleeya.
Serpihan peluru pun mengenai tubuh Aleeya. Entah, apakah pesawat yang memberondong dengan peluru, apakah milik militer Israel atau kaum militan Zionis. Langit tiba-tiba redup, pandangan mata Aleeya seakan begitu dekat dengan malaikat. Perang terus berkobar tiada henti. Siang dan malam bagaikan seonggok duka yang mengiringi napas.
Sudut-sudut Gaza mungkin terlalu kecil untuk menceritakan riwayat seorang Aleeya, biarlah sejarah yang mencatatnya. Seharusnya semangat bertahan hidup Aleeya masih ada. Ia terlalu tegar untuk menyerah kalah dalam hidup. Meski perang entah kapan akan berujung, tetapi bagi Aleeya turut berjuang demi kehormatan bangsa, segala-galanya baginya.
Napas Aleeya naik turun, meski matanya tertutup rapat. Mungkin saat ini ia mengalami koma, tidak ada yang tahu. Rumah sakit, tempat di mana Aleeya dirawat seperti lukisan menakutkan. Kondisi ruangan cukup berantakan, semua dalam situasi darurat. Seseorang yang menyelamatkan dan membawa Aleeya ke rumah sakit, berkeyakinan kalau Aleeya masih dapat bertahan hidup. Tubuh Aleeya mengalami banyak pendarahan dan luka-luka.
Aleeya seakan berjuang dengan kondisi kritis, di sebelahnya anak kecil yang ditolongnya justeru tidak terluka. Tatapan anak kecil itu hampa. Ia seperti mengalami trauma. Anak kecil itu tidak menangis, meski mengalami goncangan psikis. Pandangannya menyapu ke semua sudut ruangan. Bertepatan seseorang laki-laki menghampirinya.
“Alhamdulillah, kamu baik-baik saja,” kata lelaki itu.
“Siapa namamu, Nak?” Lanjut lelaki itu bertanya kpada anak kecil itu. Sayangnya, anak kecil itu hanya menatap dan diam membisu. Sejurus kemudian lelaki itu kembali bertanya.
“Apakah kamu kenal dengan perempuan yang berbaring di sebelahmu?” Lelaki itu menunjuk Aleeya.
“Perempuan itu yang menyelamatkanmu, ia mendekap dan melindungimu dari tembakan peluru orang-orang jahat.”
Anak kecil itu menatap Aleeya. Butiran air bening mulai mengalir di pelupuk matanya. Entah, apakah butiran air bening itu mengabadikan rasa empatinya kepada Aleeya, atau mungkin juga dalam benaknya ada ungkapan rasa syukur karena ia masih hidup.
*
ALEEYA mulai bercerita dengan pikirannya sendiri, meski tak seorang pun mampu menerka dan membaca apa yang melintas dalam pikiran Aleeya. Tak seorang pun yang tahu, apakah seorang yang mengalami koma, mampu melihat dan membaca dimensi hidup yang tidak terjangkau manusia. Dimensi di mana menjadi ruang semesta antara manusia dengan Tuhan.
Lelaki itu menyadari, anak kecil itu tentunya tidak mengerti apa yang ditanyakan padanya. Bahasa mereka berbeda, lelaki itu bertanya dengan bahasa Indonesia dan kemudian mengulanginya dengan bahasa Inggris. Tetap saja anak kecil itu tidak paham apa yang ditanyakan lelaki itu. Tatapan anak kecil kelihatan memancar rasa iba. Mungkin ia telah kehilangan kedua orang tuanya.
Dalam pikiran Dipta, perang tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kedua belah pihak yang berseteru, tidak ada kesepakatan tentang keadilan, sekalipun perang untuk memperebutkan sebuah keadilan. Langit malam kian membara merah, kobaran api di mana-mana seakan tersulut menghambur ke langit.
Dipta meninggalkan Aleeya di rumah sakit. Situasi sangat tidak nyaman. Bertahan di rumah sakit juga tidak bisa menjamin keselamatan. Setiap saat bisa jadi sasaran tembakan dan bombardir peluru atau granat. Menjelang pagi, ketika langit masih gelap dan berasap, Dipta membawa anak kecil tersebut untuk diserahkan kepada pemerintah.
Dipta lupa, bahwa ia seorang jurnalis yang melaksanakan tugas untuk peliputan berita. Tapi baginya, rasa kemanusiaan jauh lebih penting. Terkadang Dipta agak menyesal, kenapa ia menerima tugas untuk peliputan berita di Palestina. Ada perasaan takut, karena situasi di wilayah itu begitu mencekam. Korban yang menjadi sasaran tembakan, seakan tidak peduli apakah itu warga sipil atau para pejuang atau militer.
Dipta merasa lega, karena ia berhasil kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi Aleeya. Perlahan, kondisi Aleeya mulai membaik. Gadis itu seakan sadar, ada yang menolong dan melarikannya ke rumah sakit. Meski pandangannya agak kabur, ia berusaha mencari tahu siapa lelaki yang menolongnya.
Mata Aleeya agak berkaca-kaca. Butiran air bening mulai mengalir di pipinya.
“Kenapa Anda mau menolong saya?” Ia bertanya sambil menatap Dipta.
“Tidak ada keadilan dalam perang. Tapi menyelamatkan satu nyawa manusia, mungkin bisa menjadi sebuah keadilan bagi saya,” jawab Dipta.
Rumah sakit Al-Shifa mulai terasa tidak nyaman. Menurut sumber terpercaya, rumah sakit ini menjadi sasaran pengeboman pihak Israel. Situasi semakin panas. Dipta mencari cara bagaimana secepatnya membawa Aleeya dan segera mengungsi, mencari perlindungan.
Tiba-tiba Aleeya berkata pada Dipta, “Sampai kapan kita harus bertahan hidup dengan kondisi semacam ini? Tetapi aku ingin berjuang untuk bangsaku.”
“Iya, kita seakan mati dalam hidup,” jawab Dipta.
Pikiran Dipta terasa buntu, beberapa hari lagi ia kembali ke Indonesia. Ada sesuatu yang berbeda ketika ia menatap Aleeya, entah apakah itu benih-benih cinta yang mulai tumbuh. Selintas Aleeya seperti mendapatkan ide. Bukan sebuah pilihan menjadi militan demi martabat bangsa, tetapi perasaan cinta terkadang menjadi sebuah pilihan.
“Bagaimana kalau saya minta suaka politik di negara Anda? Bukankah bangsa Anda adalah negeri yang cinta damai. Apalagi bahasa Anda sudah menjadi bahasa resmi UNESCO?”
Dipta terdiam. Ia seakan kehabisan akal dan kata-kata. Terkadang orang hanya mendengar hatinya, tetapi cinta juga akan menjadi kata-kata yang rumit. Dan ini bukan waktu yang tepat untuk berbagi perasaan.
Ini memang bukan solusi, sesuatu yang terjadi tanpa pernah direncanakan. Apakah Aleeya juga mulai menyukai Dipta, sesuatu yang teramat sulit untuk diterka. Perasaan yang tidak pernah bisa terlukis, entah apakah itu dendam atau cinta. Tidak seharusnya itu terjadi, karena seribu satu macam perbedaan yang terlalu sulit untuk disatukan. []
Vito Prasetyo dilahirkan di Makassar, Februari 1964. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, peminat bahasa & budaya. Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa telah dimuat puluhan media cetak lokal, nasional, dan Malaysia, antara lain: Koran TEMPO, Media Indonesia, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Republika, Solopos, Majalah Pusat, Suara Merdeka, Majalah Karas, Majalah Panji, Rakyat Sultra, Kompas.id, Sastramedia.com, Utusan Borneo, Harian Ekspres, Batam Pos, Riau Pos, dll. Termaktub dalam puluhan buku antologi, antara lain Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017). Beberapa kali masuk nominasi dan juara, antara lain Juara 3 Lomba Cipta Puisi Grup FB HPI Tahun 2022.
Penulis: Vito Prasetyo
Editor: Ayu K. Ardi