AI, Orisinalitas, dan Alasan Naskah Ditolak di Majalahelipsis.id

Menulis bukan sekadar merangkai kata, tetapi tentang kejujuran dan pengalaman manusia. AI bisa membantu, tetapi jika berlebihan, di mana letak orisinalitas seorang penulis?

Oleh Ayu K. Ardi

SEORANG penulis menggerutu setelah naskahnya ditolak oleh redaksi Majalahelipsis.id. Redaktur menganggap karyanya terindikasi menggunakan kecerdasan buatan (AI) di beberapa bagian.

Si penulis membela diriโ€”ia merasa telah menulis sepenuhnya dengan pikirannya sendiri, tanpa bantuan AI.

Ia mencurigai redaktur sebagai seorang AI mania, yang terlalu obsesif menakar keaslian karya melalui detektor otomatis. Karena tak terima, ia pun mengungkapkan kekecewaannya di media sosial.

Setiap hari, Majalahelipsis.id menerima puluhan naskah dari berbagai genre: puisi, cerpen, esai, resensi buku, hingga reportase lepas.

Kami berusaha memberi apresiasi pada setiap naskah yang layak, meski hanya cerpen yang lolos kurasi di rubrik Gelanggang yang mendapat honorarium. Itu pun jumlah nominalnya tidak besar.

Sementara naskah lainnya tetap diberi ruang publikasi, tanpa honor, sebagai bentuk penghargaan terhadap kerja kreatif.

Namun, dengan banyaknya kiriman yang masuk, redaksi harus menjalankan proses kurasi yang ketat.

Kerapian naskah, indikasi pemuatan ganda, unsur plagiat, hingga deteksi penggunaan AI lebih dari 50 persen menjadi faktor penting dalam seleksi.

Kami menggunakan berbagai alat deteksi, sebagaimana dosen di perguruan tinggi menggunakannya untuk mengidentifikasi plagiat dalam tugas mahasiswa.

Tujuannya bukan untuk mempersulit, melainkan memastikan bahwa yang diterbitkan benar-benar lahir dari kreativitas manusia.

Perdebatan tentang AI dalam dunia kepenulisan bukanlah hal baru. Teknologi ini makin canggih, mampu meniru pola bahasa manusia dengan baik.

Dengan hanya beberapa perintah, AI bisa menghasilkan esai yang tampak lugas, cerpen dengan alur menarik, maupun puisi yang seolah-olah penuh emosi.

Lalu, di mana batas antara karya manusia dan buatan mesin?

Sebagai platform media massa yang menjunjung kreativitas, Majalahelipsis.id ingin tetap memberikan ruang bagi orisinalitas.

Baca juga: Jangan Asal Kirim, Nanti Naskahmu Senyap di Antara Riuhnya Email Redaksi

Penggunaan AI dalam jumlah terbatas bisa dimaklumi, misalnya untuk mencari inspirasi atau sekadar menyusun struktur awal tulisan.

Namun, ketika AI digunakan secara berlebihan hingga lebih dari separuh karya, pertanyaannya adalah di mana letak keunikan seorang penulis jika ia hanya menyalin hasil kerja mesin?

Alasan lain adalah adanya perbedaan antara kreativitas manusia dan kecerdasan buatan. Mesin memang dapat menyusun kata-kata dengan baik, tetapi ia tidak mengalami penderitaan, tidak merasakan jatuh cinta, tidak pernah kehilangan, dan tidak mengenal kehangatan nostalgiaโ€”di titik ini seorang redaktur mencari dan mendeteksi temuan-temuan bacaan menggunakan pikiran dan hatinya.

Kata-kata yang dihasilkan AI, betapapun indahnya, sering kali terasa datar, tanpa jiwa.

Seorang penulis sejati memahami bahwa menulis bukan hanya soal menyusun kata, tetapi juga soal menuangkan pengalaman dan pemikiran dengan kejujuran.

Baca juga: Di Balik Meja Redaktur: Bagaimana Sebuah Karya Dinilai?

Kami memahami bahwa AI adalah alat (tools), bukan musuh. Kami juga tidak menutup mata bahwa dunia kepenulisan telah berubah.

Oleh karena itu, kami masih menoleransi penggunaan AI dalam jumlah kecil, tidak lebih dari lima persen dalam sebuah karya.

Misalnya, jika seorang penulis menggunakannya untuk merangkum ide atau mencari referensi, itu masih bisa diterima.

Namun, naskah yang sepenuhnya atau sebagian besar ditulis oleh AI akan ditolak.

Sebagian mungkin akan bertanya, mengapa harus ada batasan?

Bukankah teknologi ini adalah bagian dari kemajuan zaman?

Betul, tetapi menulis adalah seni. Ia lebih dari sekadar menyusun informasi; ia adalah tentang sentuhan pribadi, tentang bagaimana seorang penulis menuangkan emosi dan pikirannya dengan jujur.

Jika AI yang melakukannya, maka kita akan kehilangan esensi dari seni menulis itu sendiri.

Bagi kami, setiap naskah adalah cerminan dari si penulis. Kami ingin melihat suara yang unik, bukan sekadar susunan kata yang dihasilkan oleh algoritma.

Kami ingin membaca kisah yang ditulis dengan hati, bukan sekadar laporan data yang diproses dengan kecepatan kilat.

Kami di Majalahelipsis.id tetap membuka ruang bagi siapa pun yang ingin berkarya. Kami ingin menjadi wadah bagi tulisan-tulisan yang autentik, yang lahir dari pengalaman dan imajinasi manusia.

Kami tidak antiteknologi, tetapi kami tetap berpegang pada prinsip bahwa menulis adalah proses kreatif yang harus melibatkan kesadaran dan usaha seorang individu.

Bagi yang ingin mengirimkan naskah, kami menyambut dengan tangan terbuka.

Silakan kirimkan karya terbaik Anda ke surel redaksi kami: majalahelipsis@gmail.com.

Tulislah dengan sepenuh hati, karena tulisan yang baik adalah yang lahir dari kejujuran seorang penulis.

Dan, seperti kata banyak penulis, tulisan yang ditulis dari hati, akan sampai ke hati. Tabik! []

Ayu K. Ardi, Pemimpin Redaksi Majalahelipsis.id, menetap di Kota Payakumbuh.

Penulis: Ayu K. Ardi

Editor: Muhammad Subhan

Komentar

3 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan