Oleh Muhammad Jamil Labai Sampono

PUSAKO di Minangkabau terbagi dua, pertama harato dan kedua sako.

Harato juga terbagi dua:

  • Harato Pusako Tinggi (HPT), yaitu harta yang diterima dari ninik dan diwariskan kepada kemenakan berdasarkan garis keturunan matrilineal.
  • Harato Pusako Randah (HPR), yaitu harta hasil pencarian dalam pernikahan.

Baik harato pusako maupun sako memiliki sifat:

  • Biriak-biriak tabang ka samak, dari samak tabang ka halaman, dari ninik turun ka mamak, dari mamak turun ka kamanakan.”
  • Dalam kepemilikan HPT, harta tersebut adalah milik komunal kaum atau milik bersama. Dengan kata lain, Harato Pusako Tinggi (HPT) adalah hak milik bersama (basamo).

Oleh karena itu, kaum melalui kepala waris (yang wajib menjaga harta) menetapkan bahwa HPT diperuntukkan untuk dipakai oleh perempuan, bukan sebagai hak milik perempuan.

Perempuan hanya memiliki hak pakai, sesuai adat Minangkabau yang berlaku sejak dulu hingga kini.

Hak Laki-laki dalam HPT

Laki-laki berperan sebagai pemegang kuasa di bawah penghulu kaum. Penghulu adalah pemimpin yang memutuskan segala persoalan dalam kaum.

Rumus HPT:

Hak milik: Kaum
Hak pakai: Perempuan
Hak kuasa: Laki-laki

Karena HPT adalah milik bersama dalam kaum, otomatis laki-laki juga memiliki hak dalam HPT. Namun, bagaimana cara pembagian hak tersebut bagi laki-laki di Minangkabau?

Kurangnya pendidikan adat mengenai HPT dan HPR menyebabkan banyak pihak mengklaim bahwa kedua harta ini adalah milik perempuan. Akibatnya, tidak sedikit perempuan yang menjadi penguasa atas kedua jenis harta tersebut. Hal ini adalah kesalahan besar.

Solusi Adat untuk Hak Laki-laki dalam HPT dan HPR

  • Peran laki-laki sebagai mamak dan tungganai.
  • Laki-laki bertugas menjaga dan memelihara kaum serta harta milik kaum.
  • Jika terjadi persoalan terkait harta, laki-laki (mamak) yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Dalam rumah tangga Minangkabau, keberadaan laki-laki sangat penting terutama dalam pewarisan sako (gelar datuk). Seperti pepatah adat: “Ijuak lai basaga, tando lasuang lai baayam gadang.”

Ketika seorang laki-laki mendapat gelar datuk, ia diberikan sawah panggadangan atau sawah abuahan.

Kemenakan perempuan harus memahami bahwa setiap hasil dari HPT, seperti hasil ladang atau usaha lainnya, sebagian harus diberikan kepada mamak atau dibagikan sebagai nafkah.

Sayangnya, praktik ini mulai berkurang di zaman sekarang. Banyak hasil HPT hanya dinikmati oleh perempuan.

Hak mamak tidak hanya dari sawah atau ladang. Setiap ada rezeki, kemenakan perempuan seharusnya tetap memberi bagian kepada mamak, minimal untuk sekadar membeli rokok atau keperluan lainnya.

Perempuan dan kemenakan harus membantu ekonomi mamaknya sebagai bentuk penghormatan terhadap haknya.

Ibu (bundo kanduang) harus mengingatkan anak-anaknya untuk sering membantu mamak karena mamak tidak memiliki hak pakai atas HPT.

Tradisi Kunjungan ke Rumah Mamak

Dahulu, orang tua perempuan sering membawa anak-anak mereka untuk manjalang (berkunjung) ke rumah mamak atau bako.

Dalam kunjungan ini, mereka juga membawa makanan atau sedikit uang dari hasil sawah dan ladang.

Terkait HPR, pembagian dilakukan berdasarkan hukum faraid.

Kompensasi hak mamak laki-laki dalam HPT harus dilakukan dengan membantu dan membagi hasil dari sawah dan ladang yang digunakan oleh perempuan. Jika tidak dilakukan, berarti telah memakan hak orang lain dan menzalimi hak anak-anaknya, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

Perlu perumusan pembagian hak dalam adat terhadap harta komunal atau milik bersama dalam nagari.

Pentingnya pemahaman fikih HPT, agar kehalalan harta yang digunakan semakin jelas.

Di Minangkabau, ada lembaga adat yang disebut Malin serta Urang Jinih Nan Ampek (Imam, Khatib, Bilal, dan Kasi) yang bertugas memberi penerangan agama. Mereka tidak hanya sekadar tukang mambaco doa saat pesta pernikahan atau kematian.

Mulai saat ini, masyarakat Minangkabau harus memahami bahwa HPT dan HPR bukan milik perempuan semata, tetapi milik kaum. Harta ini juga bukan milik datuk seorang, sehingga tidak boleh dikuasai seenaknya saja. Kesadaran ini penting untuk menjaga keseimbangan dalam sistem adat Minangkabau. []

Muhammad Jamil Labai Sampono, Praktisi Adat Minangkabau, menetap di Kota Padang Panjang.

Penulis: Muhammad Jamil Labai Sampono

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan