1926
Bencana memang tak bisa dicegah, tapi dampaknya bisa dikurangi. Kuncinya ada pada ilmu, kesiapsiagaan, dan kebersamaan.

Oleh Muhammad Subhan
1926 bukan sekadar angka. Ia adalah tahun duka. Langit Padang Panjang menyimpan tangisnya dalam debu dan reruntuhan.
Bumi berguncang pada pagi itu—28 Juni. Jam sepuluh belum lewat lama. Orang-orang sedang menyusun hari, menanak harapan.
Tiba-tiba tanah bergetar. Seperti marah. Seperti menumpahkan diam yang dipendam berabad-abad silam.
Gempa itu berkekuatan 7,6 skala Richter. Di pagi yang beranjak. Siangnya, gempa kedua menyusul, lebih besar: 7,8 skala Richter. Ia merobohkan sekolah dan surau, rumah-rumah, gedung pemerintahan kolonial, dan kantor pos. Ia menyobek tanah, menjungkir tiang telegraf, dan menggelegakkan Danau Singkarak.
Padang Panjang lunglai. Bukittinggi ikut limbung. Sungai Puar hingga Baso dan daerah sekitarnya menangis dalam diam.
Ratusan nyawa terenggut. Ribuan rumah rebah ke bumi. Kereta api berhenti di rel yang patah. Surat tak sampai karena tukang Pos tak lagi mampu bekerja seperti biasa.
Orang-orang tua mencatat dan mengingatnya dengan sebutan: “Aku lahir waktu gampo Padang Panjang.” Begitu perih, sampai sejarah menjadi tanda waktu.
Sebab peristiwa yang ngeri itu, inyiak Dr. Abdul Karim Amrullah pun harus pulang ke kampung halamannya di Maninjau. Rumahnya di Padang Panjang, lenyap ditelan tanah yang retak. Hamka, anaknya, menulis kepiluan itu dalam buku Ajahku. Sebuah biografi yang juga elegi.
Dan, itu belum akhir.
Ranah Minang bukan hanya kampung adat, tapi juga gugusan gempa. Patahan Sumatra mengiris tubuhnya dari Tandikek, Padang Panjang, hingga Singkarak. Di bawah tanah, energi terus dikumpulkan. Suatu waktu ia bisa lepas. Tidak tahu kapan.
Lalu datang 2007. Maret yang gelisah. Batusangkar terguncang. Puluhan orang meninggal. Ribuan rumah tak bisa lagi disebut rumah. Pemerintah, rakyat, dan langit pun muram.
Belum juga sembuh luka itu, September 2009 menyerang. Lindu lagi-lagi mengguncang. Lebih dahsyat. Tak ada yang siap, meski sudah pernah mengalami. 1.117 nyawa tak kembali. Ribuan terluka, ratusan ribu rumah ambruk.
Angka tak mampu menampung perih yang meleleh dari mata anak-anak yang kehilangan orang tuanya.
Setelah 1926, 2007, 2009, gempa-gempa berikutnya, meski dalam intensitas guncangan yang lebih kecil, terus datang, mengetuk pintu.
Selain gempa, gunung api yang menjadi pasak bumi tak tidur sepenuhnya. Marapi. Ia mulai sering mengepulkan amarah. Menumpahkan lahar dingin. Mengirim abu ke langit. Menggetarkan bumi. Membuat ibu-ibu menjerit dalam doa. Mengingatkan bahwa tanah ini bukan sekadar warisan, tapi juga ujian.
Namun, Padang Panjang dan seluruh Ranah Minang tetap di sini. Tanah yang subur, tapi juga rawan. Tanah yang memberi hidup dan harapan, sekaligus bisa menjadi bencana jika tidak dihadapi dengan bijaksana.
Apa yang dapat dilakukan sebagai upaya mitigasi?
Bencana tidak bisa ditolak. Namun, ilmu dan kesiapsiagaan adalah senjata utama.
Untuk itu, pembangunan daerah harus dilaksanakan dengan memerhatikan kondisi geologis. Pemetaan patahan dan jalur rawan bencana adalah hal yang harus terus dilakukan, terutama di wilayah yang sering diguncang gempa seperti Sumatra Barat.
Masyarakat harus lebih teredukasi tentang prosedur mitigasi bencana. Setiap rumah harus diberi informasi tentang bagaimana cara menghindari bahaya jika gempa terjadi.
Sekolah-sekolah wajib mengadakan pelatihan evakuasi rutin, baik untuk siswa maupun tenaga pendidik. Dengan pemahaman yang baik, meskipun bencana datang mendekat, ada persiapan yang matang untuk bertahan hidup.
Teknologi modern dapat dimanfaatkan untuk memberi peringatan dini. Pemasangan alat deteksi gempa dan sistem informasi bencana yang dapat memberi tanda sebelum guncangan besar terjadi adalah langkah maju yang dapat membantu menyelamatkan banyak nyawa.
Pemerintah harus terus memperkuat regulasi bangunan tahan gempa. Setiap bangunan baru harus memenuhi standar keselamatan yang sesuai dengan ancaman gempa. Infrastruktur seperti jembatan, jalan, dan fasilitas umum harus dirancang khusus agar mampu bertahan dalam guncangan yang besar.
Masyarakat pun dapat berperan aktif dalam menjaga lingkungan dan mendidik generasi mendatang tentang pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Setiap warga, baik di perkotaan maupun pedesaan, harus tahu langkah-langkah evakuasi yang benar.
Gempa dan bencana alam lain akan selalu ada, sebagai siklus alamiah di bumi. Namun, dengan pengetahuan, persiapan, dan kerja sama, banyak nyawa yang bisa diselamatkan. Setiap langkah kecil yang diambil hari ini akan menentukan keselamatan di masa depan.
Pada saat-saat seperti ini, komunitas perlu bergerak bersama. Tidak hanya pemerintah atau lembaga tertentu yang bertanggung jawab, tetapi setiap individu memiliki peran. Membangun kesadaran adalah pekerjaan tak mudah. Namun, dengan tekad dan kebersamaan, semua bisa dilalui.
Satu hal yang harus selalu diingat: Bencana adalah ujian. Namun, melalui persiapan dan kerja sama, ujian itu bisa dilalui dengan lebih baik.
1926 bukan sekadar kenangan. Ia adalah pelajaran.
Alam tak bisa dilawan. Tapi bisa dihadapi dengan bijak. Bukan dengan takut, tapi dengan siap. Dari reruntuhan, kita bisa bangkit. Lebih kuat. Lebih sadar. Lebih peduli.
Ranah ini pernah tumbang. Tapi selalu berdiri lagi. Kesiapsiagaan adalah kunci. Pengetahuan adalah pelindung. Kebersamaan adalah kekuatan.
Bencana akan datang lagi. Tidak tahu kapan. Tapi kita bisa lebih siap, lebih siaga. Dan yang paling lebih dari segala-galanya, kita punya Tuhan. Doa-doa kepada-Nya akan menuntun, menenangkan, dan menjaga kita dari marabahaya dan bencana. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.
Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah